TASAWUF
MUTIARA
YANG HILANG
(Oleh : A. Saebani Himawan Al Jawahiry)
A. MELURUSKAN KEMBALI PEMAHAMAN
Tasawuf maupun thareqat
dalam dunia Islam bukan sesuatu yang asing di telinga. Dari berbagai pengertian
secara etimology maupun terminology, tasawuf mengarah pada sebuah usaha riil
yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Tentunya
melalui proses yang panjang lahir dan batin. Berbicara tentang tasawuf tidak
lepas dari perselisihan yang terjadi sejak lama, namun dalam bagian ini,
penulis bermaksud menarik benang merah dari pemahaman tasawuf dan thariqat yang
selama ini (bagi sebagian kalangan muslim) lekat dengan stigma negative dengan berbagai perspektifnya. Penulis ingin
menggarisbawahi bahwa stigma-stigma yang ada tidaklah semuanya
benar, dan tidak semua thariqat termasuk di dalamnya.
Dalam tulisan ini pun
penulis tidak membahas aspek riatual-ritual dalam thareqat, seperti macam-macam
bacaan wiridannya, jumlah hitungannya, dan lainnya. Penulis juga sengaja tidak
mengekspos secara terbuka kecaman atau pun pembelaan terhadap tasawuf, walaupun
telah diketahui bersama bahwa pertentangan itu telah lama terjadi dan
masing-masing memberikan argummen yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Intinya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju adalah para ulama besar dan
ternama dan semoga Allah swt merahmati mereka semua, amin. Ingat pesan baginda
nabi Muhammad saw bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat[1].
Maka yang penting adalah bagaimana mensikapi perbedaan pendapat tersebut dan
dapat menjadikannya rahmat, bukan sebaliknya.
Terlepas dari
permasalahan pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf maupun thariqat, baik dari
segi sumber pengambilan asal kata tasawuf, tujuan thariqat, dan ajarannya yang
cenderung esoteric ataupun yang eksoteris,
yang cenderung falsafi atau yang tidak,
serta teori-teorinya yang selama ini menjadi pertentangan, maka sesungguhnya
tasawuf dan thariqat sudah ada dan menjadi salah satu bagian penting dalam
peradaban Islam hingga saat ini dan (apabila benar asumsi bahwa tasawuf dan
atau thariqat itu sesat) menghilangkannya adalah sesuatu yang nisbi, begitu
juga untuk menjaga dan memelihara serta melestarikannya pun merupakan sebuah
tantangan yang berat bagi generasi muda Islam.
Tasawuf atau sufisme
adalah sebagai dimensi batiniah ajaran Islam adalah lurus, dan ia tidak dapat
dikesampingkan begitu saja, dan sufi adalah seorang muslim yang paling taat,
tapi (memang) bukan berarti tawasuf tidak dapat diselewengkan. Sufisme tetap
dapat dikatakan lurus sebab ia eksis bersama dan bergantung kepada kerangka
kerja eksoterisme, sekalipun pada akhirnya ia melampaui eksoterisme. Dan hal
ini juga tidak mudah dipahami oleh pemikir teologi murni.
Jika kita mau secara
terbuka dan terbebas dari permasalah dan pertentangan yang ada, dan mau melihat
realita, maka secara jujur diakui bahwa hakekat tujuan tasawuf maupun ikut
dalam sebuah thariqat adalah mendekatkan diri kepada Allah adalah sesuatu yang
mulia dan sesuai/ selaras dengan ajaran Islam, yang jadi permasalahan adalah
pada sisi kaifiyah (tata cara)nya,
dan tidak ada yang mempermasalahkan pada aspek tujuan. Aspek kaifiyah mencakup kajian ilmu fiqh yang
bersumber dari hukum Islam yaitu Al Qur’an dengan berbagai piranti ilmunya[2]
untuk menghasilkan pemahaman/penafsiran yangn sesuai, Al Hadits dengan pemahaman[3]
akan tingkatan keabsahan/keshahihan matan
hadits dan sanad yang mutawatir tentunya. Begitu juga dengan
fatwa-fatwa ulama yang terangkai dalam Ijma dan pengolahan permasalahan melalui
metode qiyas sehingga dapat
menghasilkan produk hukum.
Ketika kita dapat
mengetahui hal-hal tersebut, maka secara umum bisa dilakukan tiga hal sebelum
kita memutuskan dan meyakinkan hati untuk dapat menerima atau menolak
berthariqat, yang pertama mari kita melihat dan memahami tujuannya, kedua
melihat kaifiyahnya apakah sesuai
atau tidak sesuai?, ketiga mencermati ajarannya, apakah bertentangan atau
selaras? Setidaknya dengan melihat hal tersebut maka akan semakin mantap hati.
Menurut Ny. Su’udiana Aziz, dalam bukunya Titian
jilid 16, sebelum mendalami tasawuf agar terlebih dahulu;
1. banyak
belajar dan membaca Al Qur’an agar mendapat “kecerdasan”,
2. membiasakan
membuka pintu hati agar informasi dapat masuk kemudian mencermatinya,
3. jangan
mudah berpuas diri dengan yang sudah dicapai,
4. segera
“hijrah” dari keterpurukan sifat manusiawi menuju kemulyaan sifat Tuhan,
5. dan
membersihkan jiwa dari berbagai kotoran kekafiran, kemunafikan, serta kebodohan[4].
Namun bagaimana dengan orang awam yang tidak banyak tahu
atau sama sekali tidak mengerti tentang hal tersebut?
Pertanyaan yang lumrah muncul, maka apabila memang
begitu keadaanya maka sudah semestinya untuk mempunyai seorang panutan baik itu
seorang guru ngaji, ustadz, kyai, dan atau mursyid dalam sebuah thariqat.
Jangan sampai blank tanpa ada panutan
yang mengarahkan/ membimbing. Rusaknya amal
ibadah seorang hamba lebih seringnya karena tidak ada guru yang
membina/membimbing sehingga cenderung asal beribadah, asal jalan, dan bahkan
akan tercampur aduk dengan pemahaman yang lain (misal Islam sinkretis) sehingga
menjadikan dikenal dengan istilah Islam abangan. Ketika dalam posisi seperti
ini maka tidak ada alasan untuk tidak bergabung dalam sebuah thariqat yang akan membawanya pada ibadah dan
mendekatkan diri kepada Allah swt dibawah bimbingan mursyid/guru.
Lantas bagaimana bagi
orang yang mempunyai pengetahuan tentang
beberapa hal tersebut di atas, apakah harus ikut berthariqat? Jika dikembalikan pada maksud tujuan tasawuf
ataupun thariqat, maka pada hakekatnya usaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt adalah kewajiban setiap muslim
secara individual dan masing-masing akan mempertanggung- jawabkannya[5].
Langkah konkret untuk menggapai itu
semua tentunya setiap pribadi mempunyai perbedaan sesuai dengan kemampuan dan
pemahamannya. Ketika seseorang mempunyai pemahaman yang luas yang tidak
diragukan lagi, orang tersebut dapat masuk kategori mujtahid yang pemahaman dan pendapatnya dapat dijadikan hujjah dalam sebuah hukum. Tentunya
setelah menggali dan menangkap esensi dari sebuah tanda (ayat), baik kauniyah maupun qauliyah.
Apapun hasil akhir dari setiap pengembaraan intelektual dan batin seseorang
adalah sah bagi kekayaan dirinya. Tidak ada otoritas bagi siapapun untuk
menghakimi dan mengklaim bahwa seseorang telah “sesat”. Karena tidak semua
orang dapat menangkap esensi dari sebuah produk, dan tidak pula semua orang
dapat bersikap bijak. Mengapa? Karena setiap orang diselimuti oleh berbagai
kepentingan tertentu[6]
yang apa bila kepentingan tersebut terganggu oleh sebuah produk (hasil
pemikiran) tertentu, yang bersangkutan bisa saja “marah”dan kemudian menghakimi
orang lain. Hasil pemikiran / produk hukum
yang baginya benar, maka belum tentu dianggap benar dan diterima oleh
orang lain. Yang paling tidak benar adalah menganggap paham kita sajalah yang
paling benar, dan paham orang lain semuanya sesat, serta calon penghuni neraka[7].
Kesimpulannya adalah,
ketika seseorang mempunyai ilmu pengetahuan tentang hal di atas, maka tidak perlu
dikhawatirkan akan tersesat[8],
sehingga tidak mesti harus ikut berthariqat dalam bertasawuf, karena
(menggingat) tujuan dari tasawuf adalah pendekatan diri dengan sedekat-dekatnya
kepada Allah swt, dan dengan mengamalkan ajaran Islam sesaui dengan kaidah/
aturan ilmu fiqh sama halnya dengan bertawasuf, karena tasawuf dan fiqh tidak
dapat dipisahkan[9],
karena sebelum bertasawuf hendaklah paham akan fiqh terlebih dahulu, namun
sebatas menguasai fiqh saja tidak bisa menjadi jaminan[10],
sebab fiqh terbatas pada aspek dhahir, yaitu seputar; halal-haram,
sah-batal, makruh-mubah, sunat-wajib, syarat-rukun[11].
Contoh kecil; diantara
syarat sah shalat adalah menutup aurat.
Adapun aurat laki-laki dalam ilmu fiqh adalah dari pusar hingga lutut. Maka
jika seorang muslim bershalat berjamaah di masjid hanya dengan menggunakan
celana ukuran tiga per empat tanpa menggunakan baju apa lagi sarung dan peci,
bagaimana menurut anada? Dalam fiqh, shalatnya tetap sah. Tapi bagaimana dalam
perspektif akhlak/ tasawuf? Atau ketika sedang shalat didepannya ada sebuah
tulisan “saat khutbah matikan HP” dan
membacanya lalu teringat HP di saku belum disilent/dimatikan,
walau dalam hati. Dan yang lebih parah lagi (sebagaimana dicontohkan Tengku
Zulkarnain) ketika shalat mendengar anjing menggonggong, kemudian terlintas dalam
benaknya bahwa itu adalah anjing tetangga yang galak, warnanya jelek, bahkan
Nampak jelas terlihat bentuk giginya, ukurannya, dan lain-lain, padahal ia
sedang shalat menyembah Tuhan Yang Maha Agung, tapi orang itu justru
menghadirkan dalam pikirannya sebuah HP dan bahkan seekor anjing.
Contoh yang lebih
besar; beberapa waktu yang lalu Indonesia dibuat miris oleh pemberitaan dihukumnya nenek carna mencuri 3 buah
coklat, atau kasus yang menghukum pemungut buah randu (kapas) yang jatuh, atau
Cuma gara-gara ngarit (mencari rumput) kemudian berhadapan dengan
hukum dan dipenjarakan. Berapa harga coklat, randu, dan rumput sih ? Mengapa tidak bisa dibebaskan/ditebus? Dan
mengapa Hakim mengetuk palu vonis walau sang Hakim meneteskan air mata?
Mengapa? Dan mengapa?. (Pertanyaan adalah), apa bila menggunakan hukum Islam -mencuri
dipotong tangan- apakah juga akan tetap dilaksanakan hanya gara-gara pencurian
itu? Lantas bagaimana dengan koruptor milyaran bahkan trilyunan? Atau yang
memperjualbelikan palu vonis, maklar kasus, dll.? Pertanyaan itu lebih
membutuhkan pemikiran yang tidak bisa asal jawab. Tidak seperti pertanyaan
dihukum/tidak seorang pemerkosa, yang hanya dijawab tidak perlu dihukum berat
karena baik yang memperkosa maupun yang diperkosa sama-sama merasa “enak”.
Kembali, dalam kajian
fiqh shalat tersebut tetap sah. Karena secara dhahir telah memenuhi syarat dan rukunnya, namun dari aspek
batiniyah bagaimana? Apa yang anda rasakan apa bila itu terjadi pada diri anda
sendiri? Disinilah bidang garapan tasawuf[12].
Sesuatu yang (kelihatannya) sepele, namun justru sangat berpengaruh dalam
kualitas ibadah. Karena mestinya setelah terpenuhi syarat rukun suatu ibadah,
dilanjutkan dengan fokus/memperhatikan essensi ibadah itu sendiri sehingga
ibadah lebih bermakna, berkualitas dan tidak terasa gersang.
Atau sebaliknya,
berusaha untuk membersihkan hati / jiwa (bertasawauf) tapi tidak dengan syariat
(fiqh) maka yang terjadi adalah membuat ajaran dan ritual baru sesuai dengan
keinginan dan kebutuhannya yang justru sangat jauh dari Islam, yang akhirnya
muncul gerakan sempalan atau aliran-aliran, kepercayaan dan kebatinan yang
mengaku Islam tapi sebenarnya sesat. Dan hampir semua gerakan (batin) mereka terdapat unsur-unsur
tasawuf yang lebih sering menyimpang.
Namun pada dasarnya mempunyai kesamaan tujuan yaitu ingin memperbaiki sisi
batin manusia, mencari kedamaian, keadilan, kebahagian, dan menghilangkan
kegelisahan jiwa. Namun banyak juga yang azas dan tujuannya tidak jelas.
Selengkapnya dapat dibaca dalam bagian akhir bukunya Abu Bakar Atjeh yang
berjudul pengantar sejarah sufi dan
tasawuf dan atau bukunya Ranhip M.BA dengan pembahasan yang mengupas
lengkap dari azas, tujuan, pemimpin, kitab, ajaran, dan ritualnya disertai
bantahannya menurut Islam, yang berjudul Aliran kebatinan dan Kepercayaan dalam sorotan.
B. MENGGALI MUTIARA YANG HILANG
Di sini penulis ingin
mengungkapakan bahwa tasawuf dalam Islam ibarat mutiara yang hilang, (yang)
walaupun ia terkubur dalam lumpur yang
kotor nan pekat yang hampir semua orang enggan masuk dalam kubangan lumpur itu,
namun mutiara tetaplah mutiara yang tidak akan berubah menjadi besi berkarat,
dan bila kita angkat dan kita bersihkan niscaya akan memancarkan sinar yang
mengagumkan bagi yang melihatnya dan menjadi hiasan yang indah bagi
pemilik/pemakainya.
Penulis tidak bermaksud
membela secara fanatic atau malah menghindarinya, tetap, penulis ingin
mengungkapkan realita yang ada. Penulis juga mengakui bahwa sebagian dari
aliran-aliran thariqat yang ada memang sudah bisa dikatakan melenceng, namun
penulis juga mengakui bahwa masih banyak aliran-aliran thariqat yang sesuai.
Tasawuf dan atau thariqat adalah bagian penting dalam sejarah perjalan
peradaban Islam hingga saat ini dan tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Dihilangkan juga tidak bisa, dipelihara juga membutuhkan tenaga ekstra. Mengapa
demikian? Bisa dikatakan bahwa akhir-akhir ini generasi muda Islam mengalami
kemerosotan dalam minat memperdalam Islam[13],
hal ini seiring dengan perkembangan era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin merambah ke seluruh lapisan
masyarakat[14].
Maka ibarat menggenggam bara api, dilepaskan padam namun jika tetap dipegang
panas yang dirasa.
Orientasi tasawuf
adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kualitas ibadah, yang menjadikan nilai
lebih dalam ibadah. Apa jadinya bila pelaksanaan ibadah hanya sebatas ritual
tanpa makna? Hanya sekedar memenuhi syarat-rukun dan sekedar menggugurkan kewajiban?
Maka kesalehan seorang muslim hanya sebatas kesalehan ritual semata sedangkan
nilai spiritualnya nol.
Apa salahnya mengambil
kaidah ﺃﻟﻣﺤﺎﻓﻇﺔ
ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻗﺪﻴﻢ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻮﺍﻷﺧﺬ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﺠﺪﻴﺪ ﺍﻷﺼﻟﺢ (menjaga sesuatu yang lama dan baik, mengambil sesuatu yang
baru yang lebih baik). Jika memang tasawuf itu bukan sesuatu yang baik, maka
mari kita perbaiki, pada sisi mana yang kurang sesuai maka kita selaraskan
dengan bijak, bukan membuangnya dan memusuhinya. Islam bukan sesuatu yang baru
datang dan menghilangkan atau tidak mengakui risalah-risalah sebelumnya secara
frontal. Tetapi Islam datang untuk memperbaiki/ menyempurnakan dan tetap
mengakui adanya risalah-risalah terdahulu. Islam dapat diterima oleh semua
lapisan masyarakat dan dapat masuk ke seluruh negeri karena Islam tidak
destruktif, tetapi konstruktif. Tidak apatis, tetapi dinamis. Tidak
konservatif, tidak kaku, tetapi fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu Islam
dapat dengan cepat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Islam dengan Al Qur’an
dan As Sunnah adalah sholihun fi kulli
machallin wa murtachallin[15].
Begitu
juga di Indonesia, mengapa Islam masuk ke Indonesia begitu cepat diterima
masyarakat? Sebelum kebudayaan India datang ke Indonesia, kebudayaan asli
Indonesia dapat dikatakan mempunyai cara berpikir yang kompleks, yaitu bersifat
keseluruhan dan emosional, yaitu amat dikuasai oleh perasaan (intuisi). Aspek intuisi dalam kebudayaan
asli Indonesia lebih dominan daripada aspek nalar atau logika. Jika penelaahan
terhadap tasawuf dilihat dari budaya Indonesia, maka ada aspek kimiawi yang sama antara tasawuf dengan
budaya Indonesia asli yaitu dominannya aspek intuisi dibandingkan aspek nalar. Hal inilah yang menjelaskan
mengapa masyarakat Indonesia ketika Islam datang dapat dengan mudah menerima
agama Islam. Dengan kata lain, jika tasawuf dilihat dalam perspektif budaya,
maka ada sinergitas anatar nilai-nilai tasawuf yang intuitif dengan budaya asli
Indonesia yang juga intuitif[16].
Kritikan memang sangat
diperlukan guna mendapatkan sesuatu yang lebih baik, namun tendensi yang
desktruktif kurang tepat. Tawa shau bil
haqq wa tawa shau bis shabr (saling menasehati dalam kebaikan dan
kesabaran) adalah sesuatu contoh perintah meraih kebaikan, bukan saling hujat
dan hantam. Hasil ijtihad seseorang apa bila benar maka akan mendapat
dua pahala, dan apabila salah mendapat satu pahala. Artinya, Allah swt tetap
memberikan penghargaan atas usaha si mujahid
tersebut. Kebenaran mutlak adalah
milik Allah swt. namun Rasul saw telah memberikan pusaka yaitu Al Qur’an dan As
Sunnah yang dapat dikaji dan dijadikan parameter untuk mengukur
kebenaran/keabsahan suatu hasil pemikiran/hasil ijtihad.
Kembali lagi ke tema,
bahwa tasawuf bisa dikatakan mutiara-mutiara akhlak kehidupan seorang muslim,
baik yang berkaitan dengan akhlak terhadap sesama manusia, manusia dengan alam
sekitar/ lingkungan, dan manusia dengan sang Khaliq (hablun minan nas wa hablun minallah). Perilaku yang dicontohkan
Rasul saw adalah adalah perilaku implementasi dari Al Qur’an yang disebut
sebagai akhlakul karimah sebagai suri tauladan bagi pengikutnya. Banyak sekali
garis-garis besar haluan hidup manusia agar mencapai kebahagian dunia dan
akherat yang terkandung dalam Al Qur’an yang harus digali, dan dilaksanakan.
Sedangkan seluruh rangkaian perilaku Nabi Muhammad saw dapat digali melalui sunah-sunah
beliau.
Jika dalam tasawuf
mengajarkan akhlak (dalam pengertian penataan hati dan perilaku hidup yang baik
dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat) dan cara-cara untuk
berakhlakul karimah sesuai dengan Ajaran Islam seperti ; taubat, (menyesali atas kesalahan-kesalahannya), taqwa, (takut/melaksanakan perinntah dan
menjauhi larangan), hazan, (berduka
cita), dzikir, (ingat kepada Allah), doa, (memohon kepada Allah), mujahadah, (bersungguh-sungguh dalam
beribadat), wara’, (menjauhkan diri
dari maksiat dan hal-hal yang syubhat/samar), zuhud, (anti keduniaan yang berlebih-lebihan), khauf, (takut akan siksa/adzab Allah), raja’, (mengharap rahmat Allah), tarkus syahwat, (meninggalkan
syahwat/nafsu), khusyu’, (tenang
hati/serius), tawadlu’, (rendah hati),
qona’ah, (mencukupkan yang ada), tawakkal, (berserah diri kepada Allah), syukur, (berterimakasih kepada Allah), sabar, (tahan menderita), yakin, (mantap hati), muraqabah,
(mendekat dan berharap kepada Allah), istiqomah,
(tetuh/tetap pendirian), ikhlas, (merelakan
karena Allah), shiddiq, (benar), haya’(malu), dan lain-lain[17],
apa itu salah? Bukankah itu semua juga ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah? Hal-hal
tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk menggapai tujuan,
diantaranya; Selalu ingat kepada Allah swt., Selalu bersyukur dan membesarkan
Allah swt., Mencintai Allah dan dicintai oleh Allah dan sesama manusia,
Memperoleh ketentraman, Memperoleh pertolongan Allah, Mendapat kemulian dari
Allah, Mulia hati, Terjauh dari kesusahan dunia, Mudah terkabul do’anya,Tidak
takut dan dimudahkan menghadapi sakaratul maut, dan lain-lain[18]Apakah
tujuan semacam itu salah? Apakah harapan-harapan itu akan sirna begitu saja?
Bukankah setiap orang mengharapkan semacam itu dalam do’anya? Sebuah syair berbahasa
Jawa dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) patut kita simak dan renungkan lebih
dalam maknanya, berikut penulis petikkan;
…..
“Duh bala kanca pria wanita, aja mung ngaji syaringat blaka
Kur pinter ndongeng nulis lan maca, tembe mburine bakal sangsara
Akeh kanga apal Quran Haditse seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke yen isih kotor ati akale
Gampang kabujuk nafsu angkara ing pepaese gebyare dunya
Iri lan meri sugihe tangga, mula atine peteng lan nista”
…..
“Kang aran shaleh bagus atine, krana mapan sari ngelmune
Laku tareqat lan makrifate uga hakekat manjing rasane”
…..
(wahai teman semua,
pria dan wanita, jangan hanya belajar syariat saja
Hanya pandai bicara,
menulis dan membaca, pada akhirnya akan sengsara
Banyak yang hapal
Qur’an dan Hadits, tetapi senang mengkafirkan yang lain
Sementara kafirnya
sendiri tidak diperhatikan, jika masih kotor hati dan pikirannya
Mudah terbujuk nafsu
angkara oleh gemerlapnya dunia
Iri dan dengki akan
kekayaan tetangga, maka gelap hati dan jadi nista
…..
Shaleh itu adalah bagus
hatinya, karena merasap ilmunya
Perilaku thariqat dan
makrifat, juga hakekat masuk dalam rasa)
Jika diperhatikan
secara mendalam syair ini dari awal hingga akhir secara lengkap adalah sebuah
tuntunan hidup di dunia dan akherat dengan menerapkan tasawuf secara kaffah sehingga tujuan hidup akan
tercapai, kebahagian dunia dan akherat juga tercapai, tidak saja urusan
pribadi, tetapi juga bermasyarakat dan bertetangga (hubungan horizontal dan
vertical), dapat penulis simpulkan bahwa syair tersebut merupakan intisari kehidupan tasawuf, secara
tekstual merupakan ungkapan dari tasawuf dalam kitab minhajul ‘abidin (imam Ghazali) yang akan mengantarkan setahap demi
setahap kepada Allah swt. melalui 40
tahapan.
Sayangnya, syair nan
indah dan penuh petuah tersebut hanya sebatas dilantunkan dalam puji-pujian
menjelang shalat fardu di masjid/mushala, yang terkadang dilantunkan oleh
anak-anak yang belum baligh[19].
Sungguh apabila direnungi adalah suatu petunjuk ringkas hidup bahagia dunia dan
akherat, dan alangkah indahnya apabila dapat melaksanakannya, maka realiasasi
masyarakat madani yang saling
menghormati, menghargai di antara perbedaan, saling mengasihi dan menyayangi,
saling tolong menolong dalam kemajemukan (plural) -tentunya idaman- baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (gemah
ripah loh jinawi kertata rahardja nir ing sambe kala-Jawa) akan dapat tercapai[20].
C. MEMATOK PERBATASAN
Skeptisme dan kritikan
tajam sebagian masyarakat Islam terhadap tasawuf maupun thariqot adalah bukan
hal baru, dalam dunia Islam, dan bukan pula tidak dengan dasar. Mereka begitu,
lantaran memang melihat realita ritual penghayat tasawuf/thareqat sebagain ada
yang telah melampaui batas kewajaran. Hal itu terjadi seiring dengan penyebaran
wilayah Islam ke berbagai penjuru dalam waktu yang panjang dan bersinggungan
dengan berbagai budaya, kepercayaan dan agama setempat, dan juga pemahaman
penganutnya. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat dan memasang kembali
“patok/batas” yang pernah dipasang oleh para Ulama terdahulu yang kini telah
kabur, bergeser, atau bahkan hilang.
Dalam hal ini
diperlukan media sebagai parameter untuk mengetahui apakah ajaran dalam suatu
thareqat itu jauh menyimpang dan bahkan bertentangan dengan Islam, ataukah
ajaran suatu thareqat itu tidak menyimpang dan selaras dengan Islam. Media
tersebut tentunya yang paling utama adalah Al Qur’an dan As Sunah. Pemahaman
terhadap maqosidus syari’ah al Qur’an dan As Sunah tentunya akan
membuahkan ilmu fiqh yang sesuai.
Pelaksanaan fiqh yang tidak hanya sekedar menggugurkakn kewajiban (baro_atu al dzimma’) yang akan berakibat
gersang[21],
tetapi lebih pada pelaksanaan fiqh dengan sepenuh jiwa dengan didasari
keikhlasan dan kecintaan yang tinggi tentunya akan terimplementasikan pada
citra akhlakul karimah.
Berkembangnya dunia
Islam ke seluruh penjuru dunia tentunya akan bersinggungan dengan kultur,
kepercayaan, agama di daerah yang disinggahi oleh Islam seiring dengan kemajuan
pengetahuan dan cara berfikir di tiap generasi Islam. Belum lagi adanya unsur perpolitikan dengan
berbagai kepentingannya, - yang diakuai atau tidak diakui- telah turut andil
besar dalam sejarah peradaban Islam. Maka tidak heran apabila dalam perjalan
Islam dan seluk beluk yang ada di dalamnya (dan sampai saat ini) terdapat
persamaan dengan agama lain[22]
atau bahkan tercampur aduk dengan pemahan-pemahaman yang sebenarnya di luar
Islam itu sendiri, sehingga menimbulkan label bid’ah dan bahkan sesat.
Maka apabila kita
kembalikan pada dua sumber utama yaitu Al Qur’an dan As Sunah kiranya hal
tersebut dapat menjadi media pengukur sesuai atau tidaknya suatu ajaran
thariqat tersebut. Sebagaimana di dunia Arab, di Indonesia pun telah ada
lembaga yang memberikan penilaian dan pengukuruan terhadap suatu thariqat yang
dipelopori oleh Nahdlatul Ulama. JATMAN
(Ahli Thariqah Al Mu'tabarah An Nadhliyyah) telah mengambil langkah konkrit
dalam hal ini, sehingga telah menetapkan dua kategori thariqat, yaitu mu’tabarah dan ghairu
mu’tabarah.
Oleh karena itu (dalam
hal tujuan) thareqat, yaitu; Menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah
Tuhan, Mendampingi guru dan teman sethareqat untuk meneladani, Meninggalkan
keentengan dan ta’wil untuk kesungguhan, Mengisi semua waktu dengan doa dan
wirid, Menggekangi hawa nafsu untuk keselamatan[23]
Ulama-ulama tasawuf pun
telah memberi garis perbatasan, diantaranya Imam Abu Yazid Busthami mengatakan
“kalau kamu melihat seseorang yang diberi
karamah sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali
kalau ia melakukan perintah agama dan meninggalkan larangannya”. Dzun Nun
Al Mishri juga berkata “Ciri-ciri orang
yang mencintai Allah ialah siapa yang mengikuti kekasih Allah, yaitu nabi
Muhammad saw dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnahnya”. Begitu juga
Al Junaidy berkata “jalan-jalan semuanya
tertutup bagi makhluk terkecuali bagi orang-orang yang mengikuti sunnah rasul
saw” dan juga beliau berkata “madzhab
kita ini (ilmu tasawuf) dipautkkan kepada Quran dan hadits”[24].
Secara
umum dapat ditarik patok perbatasan, yaitu; pertama, Ajaran dan konsep-konsep
serta pandangannya sesuai dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunah,
kedua, Mempunyai silsilah yang mutawatir.
Dan secara khusus dapat dikatakan bahwa ajarannya bukan tentang ; Wihdatul wujud, Hulul, Ittihad, Sukr, Fana’,
Reinkarnasi /tanasukh, Menyakiti badan sendiri.
Hamka
merinci beberapa hal sebagai berikut: Tasawuf menjadi negatif, bahkan sangat
negatif kalau tasawuf: pertama, dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang
tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, kedua, dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap
pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.
Tasawuf
akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf: pertama, dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan
yang telah dirumuskan sendiri oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, kedua, dilaksanakan
dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam
arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” tentang kemiskinan
ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas[25].
Dalam bukunya, Hamka
menyatakan, jika ada tasawuf menyimpang dari syari’at, maka tasawuf yang
demikian tidaklah berasal dari ajaran Islam. Zuhud yang melemahkan itu bukanlah
bawaan Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang, semangat berkorban,
bekerja, bukan semangat malas, lemah-paruh dan melempem. Hamka ingin
membersihkan berbagai penyimpangan yang ada pada tasawuf. Hamka juga mengajak
kita menegakan kembali maksud /tujuan dari tasawuf sebagaimana pada awal
mulanya, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggikan derajat budi;
menekan segala kelobaan dan
kerakusan, memerangi syahwat yang berlebih[26].
Mengingat kaum
sufi maupun thariqat adalah sebuah realita, maka eksistensinya pun tidak bisa
dinafikan begitu saja. Maka menjadi tugas kita semua untuk mengembalikan ajaran
tasawuf pada jalan yang benar. Seorang sufi yang baik bukan hanya makhluk
spiritual melainkan sekaligus sosial, yang mementingkan amal-amal saleh
yaitu amal-amal untuk memperbaiki kwalitas lingkungan hidup kita. Secara sosial
seorang sufi adalah orang yang punya concern
atau keprihatinan sosial yang amat tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afiin.
Ia sadar bahwa semua ‘ibadah mahdhah
– akan tak berarti apa-apa, jika tidak memperhatikan dan memberikan makan orang
miskin[27].
Seorang sufi yang benar sama sekali tidak menyangkal kehidupan dunia melainkan
justru menjadikannya wahana untuk bertemu dengan Allah SWT. Jika diperlakukan
dengan benar dunia adalah wahana bagi orang beriman untuk mendapatkan kejayaan
di akhirat dan bukan sebaliknya, menjadi sumber keburukan.
Seorang sufi yang
individualistis, cuma berzikir tanpa mengurusi masyarakat dilingkungannya,
sesungguhnya bukan seorang sufi. Sufi yang baik, bisa ditemui diperusahaan-perusahaan,
bahkan mungkin ia adalah eksekutif di sebuah perusahaan besar. Kita mungkin
tidak tahu bahwa ia mendapatkan gaji besar dan menggunakan sebagian besar
gajinya untuk menolong orang-orang yang tidak mampu. Orang seperti ini, adalah
seorang sufi yang baik.
Bukan tasawuf
yang akhirnya menyebabkan kaum muslim mundur, menjadi antidunia, menjadi
orang-orang miskin, anti rasionalisme, anti sains, tidak mengurusi masyarakat
dan hanya menyibukan dirinya dengan berzikir, berwirid di pojok-pojok masjid
tanpa memedulikan keadaan sekelilingnya. Seorang sufi tentu menekankan zikir,
seperti Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka dikatakan sebagai rahib di malam
hari. Tapi, di siang hari, mereka menjadi ksatria-ksatria, pejuang-pejuang sosial
yang melakukan reformasi, untuk memperbaiki kwalitas masyarakatnya. Bahkan,
seperti Rasulullah, kalau perlu berperang demi membela diri atau membebaskan
kaum tertindas.
Initinya,
tasawuf diaplikasikan, diaktualisasikan dalam realita kehidupan sehari-hari.
Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi dan bahkan keadaan/posisi tidur.
Misal; bagaimana menjaga lisan, bertutur kata yang baik, sopan, lembut, tidak
banyak bicara yang tidak bermanfaat (bercanda), sesuai dengan situasi dan
kondisi, (cekak aos, pas empan papan-
Jawa), atau bahkan memilih diam. Dengan sikap aplikasi tasawuf ini, maka
eksistensi tasawuf tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Tua maupun muda dapat
mengaktualisasikannya dalam keseharian diamanapun dan kapanpun. Tidak harus
dalam jamaah dalam masjid, majlis ta’lim, dan juga tidak harus masuk dalam
barisan yang dibai’at terlebih dahulu, dan juga tidak menunggu komando memulai
dan berhenti dzikir, dan tidak terikat dengan jumlah bilangan dzikir pada biji
tasbih, dan tidak masuk atau terjebak pada perselisihan dalam tasawuf/thareqat.
Benarlah
kiranya jika semua permasalahan dan perselisihan dikembalikan pada Al Qur’an
dan As Sunnah, baik dalam konteks pengertian sebagai alam, hukum dan manusia,
maupun sebagai kitab suci penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Bagaimanapun
seorang muslim harus merujuk pada dua sumber utama hukum Islam[28].
Al Qur’an memang tidak akan habis untuk dikaji, diteliti, dan akan sesuai
/ relevan pada setiap saat dan tempat
karena tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
[1] ﺇﺨﺗﻼﻒ ﺃﻤﺗﻰ ﺭﺣﻤﺔ
[2]
Diantaranya menguasai ilmu alat (Nahwu, Sharf, Balaghah), Asbabun nuzul, Nasikh wa mansukh, ulumul quran, berbagai
tafsir dari para ulama.
[3]
Memahami ilmu musthalah al hadits baik dirayah maupun riwayah, asbabul wurud,
jarh wa ta’dil
[4]
Su’udiana Aziz, 2006, Titian jilid 16,
Surabaya, Yayasan At Tawadhu’, hal. 21-22
[5]
Setiap individu bertanggungjawab atas dirinya dan tidak menanggung beban orang
lain.
[6]
Seperti ; social, ekonomi, politik, harga diri, eksistensi.
[7] Tengku
Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit
Umat islam Masa Kini Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi),
yayasan Al Hakim, Jakarta, hal. 186
[8] Tengku
Zulkarnain, ibid, hal. 37
[9] ﺃﻟﺷﺮﻴﻌﺔ ﺒﻼ ﺤﻘﻴﻘﺔ
ﻋﺎﻄﻟﺔ ﻭﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺒﻼ ﺷﺮﻴﻌﺔ ﺒﺎﻄﻟﺔ
[10] ﻗﺎﻞ ﺍﻟﻐﺯﺍﻟﻰ ﴿ ﻤﻦ
ﺗﻔﻘﻪ ﻮﻟﻢ ﻴﺗﺼﻮﻒ ﻔﻘﺪ ﺗﻔﺴﻖ ﻮﻤﻦ ﺗﺼﻮﻒ ﻮﻟﻢ ﻴﺗﻔﻘﻪ ﻔﻘﺪ ﺗﺯﻨﺪﻖ ﻮﻤﻦ ﺗﻔﻘﻪ ﻮﺗﺼﻮﻒ ﻔﻘﺪ ﺗﺤﻘﻖ ﴾
[11]
Ibid. hal.44
[12]
Ibid. hal 45
[13]
Zakiyah Daradjat, 1991, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta,
Bulan Bintang, hal. 131-134
[14]
Animo masyarakat untuk mendidik anak dengan ilmu agam cenderung pudar, apalagi
memasukkan kedalam pesantren, dan lebih mengutamakan mengejar pendidikan formal
karena takut tidak lulus UAN belum lagi jadwal les privat yang padat. Tanpa
disadari serangan terhadap umat Islam melalui teknologi, maupun lifestyle (food, fashion & fun)
sungguh sangat signifikan. Bisa dilihat, sekarang banyak anak TK pandai
menggunakan HP (walau sekedar untuk multimedia) dan anak SD sudah terbiasa
browshing di internet dan memiliki akun Facebook, tweeter. Gaya pakaian/bicara
mereka yang cenderung mengikuti trend artis, makanan yang serba instan,
hiburan. Mereka pandai, tetapi tidak bisa baca Al Qur’an, terkadang tidak
beretika, dan bahkan jauh dari nilai religious.
[15] M.
Jandra, 2003, Islam dalam konteks budaya
dan tradisi plural, dalam agama dan
pluralitas budaya local, editor Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan,
Surakarta, Univ Muhamadiyah Surakarta, hal. 74
[17]
Selengkapnya dalam Risalah Qusyairiyah
[18]
Selengkapnya dalam minhajul ‘abidin imam
Ghazali
[19]
Makasudnya; tidak ada penghayatan, apalagi pengamalan.
[20] M.
Jandra, ibid, hal 75-76
[21] hal. 34-44
[22]
Adanya persamaan dengan agama samawy lain adalah wajar, karena datangnya dari
Allah swt. yang mengajarkan tauhid dan kebajikan.
[23]
Abu Bakar Atjeh, 1984, Pengantar sejarah
sufi dan tasawuf, Solo, Cv. Ramadhani,hal. 361
[24] Tengku Zulkarnain, Ibid, Hal. 89-92
[26]
HAMKA, 1987, Tasawuf Modern, Jakarta, Pustaka Panjimas, hal 17
[27]
Tidak dianggap beriman seseorang yang tidur dengan kekenyangan sementara
tetangganya tidak bisa tidur karena kelaparan.
[28] ﻓﺈﻦ ﺘﻨﺎﺯﻋﺘﻢ ﻓﻰ ﺷﺊ
ﻓﺮﺪﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﷲ ﻮﺮﺴﻮﻟﻪ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar