Selasa, 09 Juli 2013

tasawuf


TASAWUF
MUTIARA YANG HILANG
(Oleh : A. Saebani Himawan Al Jawahiry)

A.      MELURUSKAN KEMBALI PEMAHAMAN
Tasawuf maupun thareqat dalam dunia Islam bukan sesuatu yang asing di telinga. Dari berbagai pengertian secara etimology maupun terminology, tasawuf mengarah pada sebuah usaha riil yaitu mendekatkan diri kepada Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Tentunya melalui proses yang panjang lahir dan batin. Berbicara tentang tasawuf tidak lepas dari perselisihan yang terjadi sejak lama, namun dalam bagian ini, penulis bermaksud menarik benang merah dari pemahaman tasawuf dan thariqat yang selama ini (bagi sebagian kalangan muslim) lekat dengan stigma negative dengan berbagai perspektifnya. Penulis ingin menggarisbawahi  bahwa stigma-stigma yang ada tidaklah semuanya benar, dan tidak semua thariqat termasuk di dalamnya.
Dalam tulisan ini pun penulis tidak membahas aspek riatual-ritual dalam thareqat, seperti macam-macam bacaan wiridannya, jumlah hitungannya, dan lainnya. Penulis juga sengaja tidak mengekspos secara terbuka kecaman atau pun pembelaan terhadap tasawuf, walaupun telah diketahui bersama bahwa pertentangan itu telah lama terjadi dan masing-masing memberikan argummen yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Intinya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju adalah para ulama besar dan ternama dan semoga Allah swt merahmati mereka semua, amin. Ingat pesan baginda nabi Muhammad saw bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat[1]. Maka yang penting adalah bagaimana mensikapi perbedaan pendapat tersebut dan dapat menjadikannya rahmat, bukan sebaliknya.
Terlepas dari permasalahan pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf maupun thariqat, baik dari segi sumber pengambilan asal kata tasawuf, tujuan thariqat, dan ajarannya yang cenderung esoteric ataupun yang eksoteris, yang cenderung falsafi atau yang tidak, serta teori-teorinya yang selama ini menjadi pertentangan, maka sesungguhnya tasawuf dan thariqat sudah ada dan menjadi salah satu bagian penting dalam peradaban Islam hingga saat ini dan (apabila benar asumsi bahwa tasawuf dan atau thariqat itu sesat) menghilangkannya adalah sesuatu yang nisbi, begitu juga untuk menjaga dan memelihara serta melestarikannya pun merupakan sebuah tantangan yang berat bagi generasi muda Islam.
Tasawuf atau sufisme adalah sebagai dimensi batiniah ajaran Islam adalah lurus, dan ia tidak dapat dikesampingkan begitu saja, dan sufi adalah seorang muslim yang paling taat, tapi (memang) bukan berarti tawasuf tidak dapat diselewengkan. Sufisme tetap dapat dikatakan lurus sebab ia eksis bersama dan bergantung kepada kerangka kerja eksoterisme, sekalipun pada akhirnya ia melampaui eksoterisme. Dan hal ini juga tidak mudah dipahami oleh pemikir teologi murni.
Jika kita mau secara terbuka dan terbebas dari permasalah dan pertentangan yang ada, dan mau melihat realita, maka secara jujur diakui bahwa hakekat tujuan tasawuf maupun ikut dalam sebuah thariqat adalah mendekatkan diri kepada Allah adalah sesuatu yang mulia dan sesuai/ selaras dengan ajaran Islam, yang jadi permasalahan adalah pada sisi kaifiyah (tata cara)nya, dan tidak ada yang mempermasalahkan pada aspek tujuan. Aspek kaifiyah mencakup kajian ilmu fiqh yang bersumber dari hukum Islam yaitu Al Qur’an dengan berbagai piranti ilmunya[2] untuk menghasilkan pemahaman/penafsiran yangn sesuai, Al Hadits dengan pemahaman[3] akan tingkatan keabsahan/keshahihan matan hadits dan sanad yang mutawatir tentunya. Begitu juga dengan fatwa-fatwa ulama yang  terangkai dalam Ijma dan pengolahan permasalahan melalui metode qiyas sehingga dapat menghasilkan produk hukum.
Ketika kita dapat mengetahui hal-hal tersebut, maka secara umum bisa dilakukan tiga hal sebelum kita memutuskan dan meyakinkan hati untuk dapat menerima atau menolak berthariqat, yang pertama mari kita melihat dan memahami tujuannya, kedua melihat kaifiyahnya apakah sesuai atau tidak sesuai?, ketiga mencermati ajarannya, apakah bertentangan atau selaras? Setidaknya dengan melihat hal tersebut maka akan semakin mantap hati.
Menurut  Ny. Su’udiana Aziz, dalam bukunya Titian jilid 16, sebelum mendalami tasawuf agar terlebih dahulu;
1.       banyak belajar dan membaca Al Qur’an agar mendapat “kecerdasan”,
2.       membiasakan membuka pintu hati agar informasi dapat masuk kemudian mencermatinya,
3.       jangan mudah berpuas diri dengan yang sudah dicapai,
4.       segera “hijrah” dari keterpurukan sifat manusiawi menuju kemulyaan sifat Tuhan,
5.       dan membersihkan jiwa dari berbagai kotoran kekafiran, kemunafikan, serta kebodohan[4].
Namun bagaimana dengan orang awam yang tidak banyak tahu atau sama sekali tidak mengerti tentang hal tersebut?
Pertanyaan yang lumrah muncul, maka apabila memang begitu keadaanya maka sudah semestinya untuk mempunyai seorang panutan baik itu seorang guru ngaji, ustadz, kyai, dan atau mursyid dalam sebuah thariqat. Jangan sampai blank tanpa ada panutan yang mengarahkan/ membimbing. Rusaknya  amal ibadah seorang hamba lebih seringnya karena tidak ada guru yang membina/membimbing sehingga cenderung asal beribadah, asal jalan, dan bahkan akan tercampur aduk dengan pemahaman yang lain (misal Islam sinkretis) sehingga menjadikan dikenal dengan istilah Islam abangan. Ketika dalam posisi seperti ini maka tidak ada alasan untuk tidak bergabung dalam sebuah thariqat  yang akan membawanya pada ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt dibawah bimbingan mursyid/guru.
Lantas bagaimana bagi orang  yang mempunyai pengetahuan tentang beberapa hal tersebut di atas, apakah harus ikut berthariqat?  Jika dikembalikan pada maksud tujuan tasawuf ataupun thariqat, maka pada hakekatnya usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt adalah kewajiban  setiap muslim secara individual dan masing-masing akan mempertanggung- jawabkannya[5].  Langkah konkret untuk menggapai itu semua tentunya setiap pribadi mempunyai perbedaan sesuai dengan kemampuan dan pemahamannya. Ketika seseorang mempunyai pemahaman yang luas yang tidak diragukan lagi, orang tersebut dapat masuk kategori mujtahid yang pemahaman dan pendapatnya dapat dijadikan hujjah dalam sebuah hukum. Tentunya setelah menggali dan menangkap esensi dari sebuah tanda (ayat), baik kauniyah  maupun qauliyah. Apapun hasil akhir dari setiap pengembaraan intelektual dan batin seseorang adalah sah bagi kekayaan dirinya. Tidak ada otoritas bagi siapapun untuk menghakimi dan mengklaim bahwa seseorang telah “sesat”. Karena tidak semua orang dapat menangkap esensi dari sebuah produk, dan tidak pula semua orang dapat bersikap bijak. Mengapa? Karena setiap orang diselimuti oleh berbagai kepentingan tertentu[6] yang apa bila kepentingan tersebut terganggu oleh sebuah produk (hasil pemikiran) tertentu, yang bersangkutan bisa saja “marah”dan kemudian menghakimi orang lain. Hasil pemikiran / produk hukum  yang baginya benar, maka belum tentu dianggap benar dan diterima oleh orang lain. Yang paling tidak benar adalah menganggap paham kita sajalah yang paling benar, dan paham orang lain semuanya sesat, serta calon penghuni neraka[7].
Kesimpulannya adalah, ketika seseorang mempunyai ilmu pengetahuan tentang hal di atas, maka tidak perlu dikhawatirkan akan tersesat[8], sehingga tidak mesti harus ikut berthariqat dalam bertasawuf, karena (menggingat) tujuan dari tasawuf adalah pendekatan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Allah swt, dan dengan mengamalkan ajaran Islam sesaui dengan kaidah/ aturan ilmu fiqh sama halnya dengan bertawasuf, karena tasawuf dan fiqh tidak dapat dipisahkan[9], karena sebelum bertasawuf hendaklah paham akan fiqh terlebih dahulu, namun sebatas menguasai fiqh saja tidak bisa menjadi jaminan[10],  sebab fiqh terbatas pada aspek dhahir, yaitu seputar; halal-haram, sah-batal, makruh-mubah, sunat-wajib, syarat-rukun[11].
Contoh kecil; diantara syarat  sah shalat adalah menutup aurat. Adapun aurat laki-laki dalam ilmu fiqh adalah dari pusar hingga lutut. Maka jika seorang muslim bershalat berjamaah di masjid hanya dengan menggunakan celana ukuran tiga per empat tanpa menggunakan baju apa lagi sarung dan peci, bagaimana menurut anada? Dalam fiqh, shalatnya tetap sah. Tapi bagaimana dalam perspektif akhlak/ tasawuf? Atau ketika sedang shalat didepannya ada sebuah tulisan “saat khutbah matikan HP” dan membacanya lalu teringat HP di saku belum disilent/dimatikan, walau dalam hati. Dan yang lebih parah lagi (sebagaimana dicontohkan Tengku Zulkarnain) ketika shalat mendengar anjing menggonggong, kemudian terlintas dalam benaknya bahwa itu adalah anjing tetangga yang galak, warnanya jelek, bahkan Nampak jelas terlihat bentuk giginya, ukurannya, dan lain-lain, padahal ia sedang shalat menyembah Tuhan Yang Maha Agung, tapi orang itu justru menghadirkan dalam pikirannya sebuah HP dan bahkan seekor anjing.
Contoh yang lebih besar; beberapa waktu yang lalu Indonesia dibuat miris oleh pemberitaan dihukumnya nenek carna mencuri 3 buah coklat, atau kasus yang menghukum pemungut buah randu (kapas) yang jatuh, atau Cuma gara-gara ngarit  (mencari rumput) kemudian berhadapan dengan hukum dan dipenjarakan. Berapa harga coklat, randu, dan rumput sih ?  Mengapa tidak bisa dibebaskan/ditebus? Dan mengapa Hakim mengetuk palu vonis walau sang Hakim meneteskan air mata? Mengapa? Dan mengapa?. (Pertanyaan adalah), apa bila menggunakan hukum Islam -mencuri dipotong tangan- apakah juga akan tetap dilaksanakan hanya gara-gara pencurian itu? Lantas bagaimana dengan koruptor milyaran bahkan trilyunan? Atau yang memperjualbelikan palu vonis, maklar kasus, dll.? Pertanyaan itu lebih membutuhkan pemikiran yang tidak bisa asal jawab. Tidak seperti pertanyaan dihukum/tidak seorang pemerkosa, yang hanya dijawab tidak perlu dihukum berat karena baik yang memperkosa maupun yang diperkosa sama-sama merasa “enak”.
Kembali, dalam kajian fiqh shalat tersebut tetap sah. Karena secara dhahir telah memenuhi syarat dan rukunnya, namun dari aspek batiniyah bagaimana? Apa yang anda rasakan apa bila itu terjadi pada diri anda sendiri? Disinilah bidang garapan tasawuf[12]. Sesuatu yang (kelihatannya) sepele, namun justru sangat berpengaruh dalam kualitas ibadah. Karena mestinya setelah terpenuhi syarat rukun suatu ibadah, dilanjutkan dengan fokus/memperhatikan essensi ibadah itu sendiri sehingga ibadah lebih bermakna, berkualitas dan tidak terasa gersang.
Atau sebaliknya, berusaha untuk membersihkan hati / jiwa (bertasawauf) tapi tidak dengan syariat (fiqh) maka yang terjadi adalah membuat ajaran dan ritual baru sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya yang justru sangat jauh dari Islam, yang akhirnya muncul gerakan sempalan atau aliran-aliran, kepercayaan dan kebatinan yang mengaku Islam tapi sebenarnya sesat. Dan hampir semua gerakan  (batin) mereka terdapat unsur-unsur tasawuf  yang lebih sering menyimpang. Namun pada dasarnya mempunyai kesamaan tujuan yaitu ingin memperbaiki sisi batin manusia, mencari kedamaian, keadilan, kebahagian, dan menghilangkan kegelisahan jiwa. Namun banyak juga yang azas dan tujuannya tidak jelas. Selengkapnya dapat dibaca dalam bagian akhir bukunya Abu Bakar Atjeh yang berjudul pengantar sejarah sufi dan tasawuf dan atau bukunya Ranhip M.BA dengan pembahasan yang mengupas lengkap dari azas, tujuan, pemimpin, kitab, ajaran, dan ritualnya disertai bantahannya menurut Islam, yang berjudul  Aliran kebatinan dan Kepercayaan dalam sorotan.

B.      MENGGALI MUTIARA YANG HILANG
Di sini penulis ingin mengungkapakan bahwa tasawuf dalam Islam ibarat mutiara yang hilang, (yang) walaupun ia  terkubur dalam lumpur yang kotor nan pekat yang hampir semua orang enggan masuk dalam kubangan lumpur itu, namun mutiara tetaplah mutiara yang tidak akan berubah menjadi besi berkarat, dan bila kita angkat dan kita bersihkan niscaya akan memancarkan sinar yang mengagumkan bagi yang melihatnya dan menjadi hiasan yang indah bagi pemilik/pemakainya.
Penulis tidak bermaksud membela secara fanatic atau malah menghindarinya, tetap, penulis ingin mengungkapkan realita yang ada. Penulis juga mengakui bahwa sebagian dari aliran-aliran thariqat yang ada memang sudah bisa dikatakan melenceng, namun penulis juga mengakui bahwa masih banyak aliran-aliran thariqat yang sesuai. Tasawuf dan atau thariqat adalah bagian penting dalam sejarah perjalan peradaban Islam hingga saat ini dan tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Dihilangkan juga tidak bisa, dipelihara juga membutuhkan tenaga ekstra. Mengapa demikian? Bisa dikatakan bahwa akhir-akhir ini generasi muda Islam mengalami kemerosotan dalam minat memperdalam Islam[13], hal ini seiring dengan perkembangan era teknologi informasi dan komunikasi  yang semakin merambah ke seluruh lapisan masyarakat[14]. Maka ibarat menggenggam bara api, dilepaskan padam namun jika tetap dipegang panas yang dirasa.
Orientasi tasawuf adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan  dalam kualitas ibadah, yang menjadikan nilai lebih dalam ibadah. Apa jadinya bila pelaksanaan ibadah hanya sebatas ritual tanpa makna? Hanya sekedar memenuhi syarat-rukun dan sekedar menggugurkan kewajiban? Maka kesalehan seorang muslim hanya sebatas kesalehan ritual semata sedangkan nilai spiritualnya nol.
Apa salahnya mengambil kaidah ﺃﻟﻣﺤﺎﻓﻇﺔ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻗﺪﻴﻢ ﺍﻟﺼﺎﻟﺢ ﻮﺍﻷﺧﺬ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﺠﺪﻴﺪ ﺍﻷﺼﻟﺢ (menjaga sesuatu yang lama dan baik, mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Jika memang tasawuf itu bukan sesuatu yang baik, maka mari kita perbaiki, pada sisi mana yang kurang sesuai maka kita selaraskan dengan bijak, bukan membuangnya dan memusuhinya. Islam bukan sesuatu yang baru datang dan menghilangkan atau tidak mengakui risalah-risalah sebelumnya secara frontal. Tetapi Islam datang untuk memperbaiki/ menyempurnakan dan tetap mengakui adanya risalah-risalah terdahulu. Islam dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat dan dapat masuk ke seluruh negeri karena Islam tidak destruktif, tetapi konstruktif. Tidak apatis, tetapi dinamis. Tidak konservatif, tidak kaku, tetapi fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu Islam dapat dengan cepat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Islam dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah sholihun fi kulli machallin wa murtachallin[15].
Begitu juga di Indonesia, mengapa Islam masuk ke Indonesia begitu cepat diterima masyarakat? Sebelum kebudayaan India datang ke Indonesia, kebudayaan asli Indonesia dapat dikatakan mempunyai cara berpikir yang kompleks, yaitu bersifat keseluruhan dan emosional, yaitu amat dikuasai oleh perasaan (intuisi). Aspek intuisi dalam kebudayaan asli Indonesia lebih dominan daripada aspek nalar atau logika. Jika penelaahan terhadap tasawuf dilihat dari budaya Indonesia, maka ada aspek kimiawi yang sama antara tasawuf dengan budaya Indonesia asli yaitu dominannya aspek intuisi dibandingkan aspek nalar. Hal inilah yang menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia ketika Islam datang dapat dengan mudah menerima agama Islam. Dengan kata lain, jika tasawuf dilihat dalam perspektif budaya, maka ada sinergitas anatar nilai-nilai tasawuf yang intuitif dengan budaya asli Indonesia yang juga intuitif[16].
Kritikan memang sangat diperlukan guna mendapatkan sesuatu yang lebih baik, namun tendensi yang desktruktif kurang tepat. Tawa shau bil haqq wa tawa shau bis shabr (saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran) adalah sesuatu contoh perintah meraih kebaikan, bukan saling hujat dan hantam. Hasil ijtihad  seseorang apa bila benar maka akan mendapat dua pahala, dan apabila salah mendapat satu pahala. Artinya, Allah swt tetap memberikan penghargaan atas usaha si mujahid  tersebut. Kebenaran mutlak adalah milik Allah swt. namun Rasul saw telah memberikan pusaka yaitu Al Qur’an dan As Sunnah yang dapat dikaji dan dijadikan parameter untuk mengukur kebenaran/keabsahan suatu hasil pemikiran/hasil ijtihad.
Kembali lagi ke tema, bahwa tasawuf bisa dikatakan mutiara-mutiara akhlak kehidupan seorang muslim, baik yang berkaitan dengan akhlak terhadap sesama manusia, manusia dengan alam sekitar/ lingkungan, dan manusia dengan sang Khaliq (hablun minan nas wa hablun minallah). Perilaku yang dicontohkan Rasul saw adalah adalah perilaku implementasi dari Al Qur’an yang disebut sebagai akhlakul karimah sebagai suri tauladan bagi pengikutnya. Banyak sekali garis-garis besar haluan hidup manusia agar mencapai kebahagian dunia dan akherat yang terkandung dalam Al Qur’an yang harus digali, dan dilaksanakan. Sedangkan seluruh rangkaian perilaku Nabi Muhammad saw dapat digali melalui sunah-sunah beliau.
Jika dalam tasawuf mengajarkan akhlak (dalam pengertian penataan hati dan perilaku hidup yang baik dan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat) dan cara-cara untuk berakhlakul karimah sesuai dengan Ajaran Islam seperti ; taubat, (menyesali atas kesalahan-kesalahannya), taqwa, (takut/melaksanakan perinntah dan menjauhi larangan), hazan, (berduka cita), dzikir, (ingat kepada Allah), doa, (memohon kepada Allah), mujahadah, (bersungguh-sungguh dalam beribadat), wara’, (menjauhkan diri dari maksiat dan hal-hal yang syubhat/samar), zuhud, (anti keduniaan yang berlebih-lebihan), khauf, (takut akan siksa/adzab Allah), raja’, (mengharap rahmat Allah), tarkus syahwat,  (meninggalkan syahwat/nafsu), khusyu’, (tenang hati/serius), tawadlu’, (rendah hati), qona’ah, (mencukupkan yang ada), tawakkal, (berserah diri kepada Allah), syukur, (berterimakasih kepada Allah), sabar, (tahan menderita), yakin, (mantap  hati), muraqabah, (mendekat dan berharap kepada Allah), istiqomah, (tetuh/tetap pendirian), ikhlas, (merelakan karena Allah), shiddiq, (benar), haya’(malu), dan lain-lain[17], apa itu salah? Bukankah itu semua juga ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah? Hal-hal tersebut dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk menggapai tujuan, diantaranya; Selalu ingat kepada Allah swt., Selalu bersyukur dan membesarkan Allah swt., Mencintai Allah dan dicintai oleh Allah dan sesama manusia, Memperoleh ketentraman, Memperoleh pertolongan Allah, Mendapat kemulian dari Allah, Mulia hati, Terjauh dari kesusahan dunia, Mudah terkabul do’anya,Tidak takut dan dimudahkan menghadapi sakaratul maut, dan lain-lain[18]Apakah tujuan semacam itu salah? Apakah harapan-harapan itu akan sirna begitu saja? Bukankah setiap orang mengharapkan semacam itu dalam do’anya? Sebuah syair berbahasa Jawa dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) patut kita simak dan renungkan lebih dalam maknanya, berikut penulis petikkan;
…..
“Duh bala kanca pria wanita, aja mung ngaji syaringat blaka
Kur pinter ndongeng nulis lan maca, tembe mburine bakal sangsara
Akeh kanga apal Quran Haditse seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke yen isih kotor ati akale
Gampang kabujuk nafsu angkara ing pepaese gebyare dunya
Iri lan meri sugihe tangga, mula atine peteng lan nista”
…..
“Kang aran shaleh bagus atine, krana mapan sari ngelmune
Laku tareqat lan makrifate uga hakekat manjing rasane”
…..
(wahai teman semua, pria dan wanita, jangan hanya belajar syariat saja
Hanya pandai bicara, menulis dan membaca, pada akhirnya akan sengsara
Banyak yang hapal Qur’an dan Hadits, tetapi senang mengkafirkan yang lain
Sementara kafirnya sendiri tidak diperhatikan, jika masih kotor hati dan pikirannya
Mudah terbujuk nafsu angkara oleh gemerlapnya dunia
Iri dan dengki akan kekayaan tetangga, maka gelap hati dan jadi nista
…..
Shaleh itu adalah bagus hatinya, karena merasap ilmunya
Perilaku thariqat dan makrifat, juga hakekat masuk dalam rasa)

Jika diperhatikan secara mendalam syair ini dari awal hingga akhir secara lengkap adalah sebuah tuntunan hidup di dunia dan akherat dengan menerapkan tasawuf secara kaffah sehingga tujuan hidup akan tercapai, kebahagian dunia dan akherat juga tercapai, tidak saja urusan pribadi, tetapi juga bermasyarakat dan bertetangga (hubungan horizontal dan vertical), dapat penulis simpulkan bahwa syair tersebut  merupakan intisari kehidupan tasawuf, secara tekstual merupakan ungkapan dari tasawuf dalam kitab minhajul ‘abidin (imam Ghazali) yang akan mengantarkan setahap demi setahap kepada Allah swt. melalui  40 tahapan.
Sayangnya, syair nan indah dan penuh petuah tersebut hanya sebatas dilantunkan dalam puji-pujian menjelang shalat fardu di masjid/mushala, yang terkadang dilantunkan oleh anak-anak yang belum  baligh[19]. Sungguh apabila direnungi adalah suatu petunjuk ringkas hidup bahagia dunia dan akherat, dan alangkah indahnya apabila dapat melaksanakannya, maka realiasasi masyarakat madani yang saling menghormati, menghargai di antara perbedaan, saling mengasihi dan menyayangi, saling tolong menolong dalam kemajemukan (plural) -tentunya idaman- baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (gemah ripah loh jinawi kertata rahardja nir ing sambe kala-Jawa) akan dapat tercapai[20].

C.      MEMATOK PERBATASAN
Skeptisme dan kritikan tajam sebagian masyarakat Islam terhadap tasawuf maupun thariqot adalah bukan hal baru, dalam dunia Islam, dan bukan pula tidak dengan dasar. Mereka begitu, lantaran memang melihat realita ritual penghayat tasawuf/thareqat sebagain ada yang telah melampaui batas kewajaran. Hal itu terjadi seiring dengan penyebaran wilayah Islam ke berbagai penjuru dalam waktu yang panjang dan bersinggungan dengan berbagai budaya, kepercayaan dan agama setempat, dan juga pemahaman penganutnya. Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat dan memasang kembali “patok/batas” yang pernah dipasang oleh para Ulama terdahulu yang kini telah kabur, bergeser, atau bahkan hilang.
Dalam hal ini diperlukan media sebagai parameter untuk mengetahui apakah ajaran dalam suatu thareqat itu jauh menyimpang dan bahkan bertentangan dengan Islam, ataukah ajaran suatu thareqat itu tidak menyimpang dan selaras dengan Islam. Media tersebut tentunya yang paling utama adalah Al Qur’an dan As Sunah. Pemahaman terhadap maqosidus syari’ah  al Qur’an dan As Sunah tentunya akan membuahkan ilmu fiqh yang sesuai. Pelaksanaan fiqh yang tidak hanya sekedar menggugurkakn kewajiban (baro_atu al dzimma’) yang akan berakibat gersang[21], tetapi lebih pada pelaksanaan fiqh dengan sepenuh jiwa dengan didasari keikhlasan dan kecintaan yang tinggi tentunya akan terimplementasikan pada citra akhlakul karimah.
Berkembangnya dunia Islam ke seluruh penjuru dunia tentunya akan bersinggungan dengan kultur, kepercayaan, agama di daerah yang disinggahi oleh Islam seiring dengan kemajuan pengetahuan dan cara berfikir di tiap generasi Islam.  Belum lagi adanya unsur perpolitikan dengan berbagai kepentingannya, - yang diakuai atau tidak diakui- telah turut andil besar dalam sejarah peradaban Islam. Maka tidak heran apabila dalam perjalan Islam dan seluk beluk yang ada di dalamnya (dan sampai saat ini) terdapat persamaan dengan agama lain[22] atau bahkan tercampur aduk dengan pemahan-pemahaman yang sebenarnya di luar Islam itu sendiri, sehingga menimbulkan label bid’ah dan bahkan sesat.
Maka apabila kita kembalikan pada dua sumber utama yaitu Al Qur’an dan As Sunah kiranya hal tersebut dapat menjadi media pengukur sesuai atau tidaknya suatu ajaran thariqat tersebut. Sebagaimana di dunia Arab, di Indonesia pun telah ada lembaga yang memberikan penilaian dan pengukuruan terhadap suatu thariqat yang dipelopori oleh Nahdlatul Ulama.  JATMAN (Ahli Thariqah Al Mu'tabarah An Nadhliyyah) telah mengambil langkah konkrit dalam hal ini, sehingga telah menetapkan dua kategori thariqat, yaitu mu’tabarah  dan ghairu mu’tabarah.
Oleh karena itu (dalam hal tujuan) thareqat, yaitu; Menuntut ilmu untuk dilaksanakan sebagai perintah Tuhan, Mendampingi guru dan teman sethareqat untuk meneladani, Meninggalkan keentengan dan ta’wil untuk kesungguhan, Mengisi semua waktu dengan doa dan wirid, Menggekangi hawa nafsu untuk keselamatan[23]
Ulama-ulama tasawuf pun telah memberi garis perbatasan, diantaranya Imam Abu Yazid Busthami mengatakan “kalau kamu melihat seseorang yang diberi karamah sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melakukan perintah agama dan meninggalkan larangannya”. Dzun Nun Al Mishri juga berkata “Ciri-ciri orang yang mencintai Allah ialah siapa yang mengikuti kekasih Allah, yaitu nabi Muhammad saw dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnahnya”. Begitu juga Al Junaidy berkata “jalan-jalan semuanya tertutup bagi makhluk terkecuali bagi orang-orang yang mengikuti sunnah rasul saw” dan juga beliau berkata “madzhab kita ini (ilmu tasawuf) dipautkkan kepada Quran dan hadits”[24].
Secara umum dapat ditarik patok perbatasan, yaitu; pertama, Ajaran dan konsep-konsep serta pandangannya sesuai dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunah, kedua, Mempunyai silsilah yang mutawatir. Dan secara khusus dapat dikatakan bahwa ajarannya bukan tentang ; Wihdatul wujud, Hulul, Ittihad, Sukr, Fana’, Reinkarnasi /tanasukh, Menyakiti badan sendiri.
Hamka merinci beberapa hal sebagai berikut: Tasawuf menjadi negatif, bahkan sangat negatif kalau tasawuf: pertama, dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kedua, dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.
Tasawuf akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf: pertama, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, kedua, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” tentang kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas[25].
Dalam bukunya, Hamka menyatakan, jika ada tasawuf menyimpang dari syari’at, maka tasawuf yang demikian tidaklah berasal dari ajaran Islam. Zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan Islam. Semangat Islam ialah semangat berjuang, semangat berkorban, bekerja, bukan semangat malas, lemah-paruh dan melempem. Hamka ingin membersihkan berbagai penyimpangan yang ada pada tasawuf. Hamka juga mengajak kita menegakan kembali maksud /tujuan dari tasawuf sebagaimana pada awal mulanya, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggikan derajat budi; menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebih[26].
Mengingat kaum sufi maupun thariqat adalah sebuah realita, maka eksistensinya pun tidak bisa dinafikan begitu saja. Maka menjadi tugas kita semua untuk mengembalikan ajaran tasawuf pada jalan yang benar. Seorang sufi yang baik bukan hanya makhluk spiritual melainkan sekaligus sosial,  yang mementingkan amal-amal saleh yaitu amal-amal untuk memperbaiki kwalitas lingkungan hidup kita. Secara sosial seorang sufi adalah orang yang punya concern atau keprihatinan sosial yang amat tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afiin. Ia sadar bahwa semua ‘ibadah mahdhah – akan tak berarti apa-apa, jika tidak memperhatikan dan memberikan makan orang miskin[27]. Seorang sufi yang benar sama sekali tidak menyangkal kehidupan dunia melainkan justru menjadikannya wahana untuk bertemu dengan Allah SWT. Jika diperlakukan dengan benar dunia adalah wahana bagi orang beriman untuk mendapatkan kejayaan di akhirat dan bukan sebaliknya, menjadi sumber keburukan.
Seorang sufi yang individualistis, cuma berzikir tanpa mengurusi masyarakat dilingkungannya, sesungguhnya bukan seorang sufi. Sufi yang baik, bisa ditemui diperusahaan-perusahaan, bahkan mungkin ia adalah eksekutif di sebuah perusahaan besar. Kita mungkin tidak tahu bahwa ia mendapatkan gaji besar dan menggunakan sebagian besar gajinya untuk menolong orang-orang yang tidak mampu. Orang seperti ini, adalah seorang sufi yang baik.
Bukan tasawuf yang akhirnya menyebabkan kaum muslim mundur, menjadi antidunia, menjadi orang-orang miskin, anti rasionalisme, anti sains, tidak mengurusi masyarakat dan hanya menyibukan dirinya dengan berzikir, berwirid di pojok-pojok masjid tanpa memedulikan keadaan sekelilingnya. Seorang sufi tentu menekankan zikir, seperti Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka dikatakan sebagai rahib di malam hari. Tapi, di siang hari, mereka menjadi ksatria-ksatria, pejuang-pejuang sosial yang melakukan reformasi, untuk memperbaiki kwalitas masyarakatnya. Bahkan, seperti Rasulullah, kalau perlu berperang demi membela diri atau membebaskan kaum tertindas.
Initinya, tasawuf diaplikasikan, diaktualisasikan dalam realita kehidupan sehari-hari. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi dan bahkan keadaan/posisi tidur. Misal; bagaimana menjaga lisan, bertutur kata yang baik, sopan, lembut, tidak banyak bicara yang tidak bermanfaat (bercanda), sesuai dengan situasi dan kondisi, (cekak aos, pas empan papan- Jawa), atau bahkan memilih diam. Dengan sikap aplikasi tasawuf ini, maka eksistensi tasawuf tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Tua maupun muda dapat mengaktualisasikannya dalam keseharian diamanapun dan kapanpun. Tidak harus dalam jamaah dalam masjid, majlis ta’lim, dan juga tidak harus masuk dalam barisan yang dibai’at terlebih dahulu, dan juga tidak menunggu komando memulai dan berhenti dzikir, dan tidak terikat dengan jumlah bilangan dzikir pada biji tasbih, dan tidak masuk atau terjebak pada perselisihan dalam tasawuf/thareqat.
Benarlah kiranya jika semua permasalahan dan perselisihan dikembalikan pada Al Qur’an dan As Sunnah, baik dalam konteks pengertian sebagai alam, hukum dan manusia, maupun sebagai kitab suci penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Bagaimanapun seorang muslim harus merujuk pada dua sumber utama hukum Islam[28]. Al Qur’an memang tidak akan habis untuk dikaji, diteliti, dan akan sesuai /  relevan pada setiap saat dan tempat karena tidak terbatas oleh ruang dan waktu.




[1] ﺇﺨﺗﻼﻒ ﺃﻤﺗﻰ ﺭﺣﻤﺔ
[2] Diantaranya menguasai ilmu alat (Nahwu, Sharf, Balaghah), Asbabun nuzul,  Nasikh wa mansukh, ulumul quran, berbagai tafsir dari para ulama.
[3] Memahami ilmu musthalah al hadits baik dirayah maupun riwayah, asbabul wurud, jarh wa ta’dil
[4] Su’udiana Aziz, 2006, Titian jilid 16, Surabaya, Yayasan At Tawadhu’, hal. 21-22
[5] Setiap individu bertanggungjawab atas dirinya dan tidak menanggung beban orang lain.
[6] Seperti ; social, ekonomi, politik, harga diri, eksistensi.
[7] Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit Umat islam Masa Kini Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi), yayasan Al Hakim, Jakarta, hal. 186
[8] Tengku Zulkarnain, ibid, hal. 37
[9] ﺃﻟﺷﺮﻴﻌﺔ ﺒﻼ ﺤﻘﻴﻘﺔ ﻋﺎﻄﻟﺔ ﻭﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺒﻼ ﺷﺮﻴﻌﺔ ﺒﺎﻄﻟﺔ
[10] ﻗﺎﻞ ﺍﻟﻐﺯﺍﻟﻰ ﴿ ﻤﻦ ﺗﻔﻘﻪ ﻮﻟﻢ ﻴﺗﺼﻮﻒ ﻔﻘﺪ ﺗﻔﺴﻖ ﻮﻤﻦ ﺗﺼﻮﻒ ﻮﻟﻢ ﻴﺗﻔﻘﻪ ﻔﻘﺪ ﺗﺯﻨﺪﻖ ﻮﻤﻦ ﺗﻔﻘﻪ ﻮﺗﺼﻮﻒ ﻔﻘﺪ ﺗﺤﻘﻖ ﴾
[11] Ibid. hal.44
[12] Ibid. hal 45
[13] Zakiyah Daradjat, 1991, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta, Bulan Bintang, hal. 131-134
[14] Animo masyarakat untuk mendidik anak dengan ilmu agam cenderung pudar, apalagi memasukkan kedalam pesantren, dan lebih mengutamakan mengejar pendidikan formal karena takut tidak lulus UAN belum lagi jadwal les privat yang padat. Tanpa disadari serangan terhadap umat Islam melalui teknologi, maupun lifestyle (food, fashion & fun) sungguh sangat signifikan. Bisa dilihat, sekarang banyak anak TK pandai menggunakan HP (walau sekedar untuk multimedia) dan anak SD sudah terbiasa browshing di internet dan memiliki akun Facebook, tweeter. Gaya pakaian/bicara mereka yang cenderung mengikuti trend artis, makanan yang serba instan, hiburan. Mereka pandai, tetapi tidak bisa baca Al Qur’an, terkadang tidak beretika, dan bahkan jauh dari nilai religious.
[15] M. Jandra, 2003, Islam dalam konteks budaya dan tradisi plural, dalam agama dan pluralitas budaya local, editor Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Surakarta, Univ Muhamadiyah Surakarta, hal. 74
[17] Selengkapnya dalam Risalah Qusyairiyah
[18] Selengkapnya dalam minhajul ‘abidin imam Ghazali
[19] Makasudnya; tidak ada penghayatan, apalagi pengamalan.
[20] M. Jandra, ibid, hal 75-76
[21]  hal. 34-44
[22] Adanya persamaan dengan agama samawy lain adalah wajar, karena datangnya dari Allah swt. yang mengajarkan tauhid dan kebajikan.
[23] Abu Bakar Atjeh, 1984, Pengantar sejarah sufi dan tasawuf, Solo, Cv. Ramadhani,hal. 361
[24]  Tengku Zulkarnain, Ibid, Hal. 89-92
[26] HAMKA, 1987, Tasawuf Modern,  Jakarta, Pustaka Panjimas, hal 17
[27] Tidak dianggap beriman seseorang yang tidur dengan kekenyangan sementara tetangganya tidak bisa tidur karena kelaparan.
[28] ﻓﺈﻦ ﺘﻨﺎﺯﻋﺘﻢ ﻓﻰ ﺷﺊ ﻓﺮﺪﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﷲ ﻮﺮﺴﻮﻟﻪ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar