MANAJEMEN PENDIDKKAN ISLAM
DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
(oleh : A. Saebani Himawan Al Jawahiry)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Dasar Pemikiran
Dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa
salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi itu
di antaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32,
juga mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahaka dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Sistem pendidikan
nasional tersebut harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global. Untuk itu, perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa dan sejalan dengan visi pendidikan nasional,
Kemendiknas mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan
Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna)[1].
Untuk dapat
merealisasikan maksud tersebut sudah tentu dibutuhkan sebuah manajemen untuk
dapat melaksakan visi misi tersebut. adapun insan kamil merupakan karakter yang
diharapkan terbentuk pada peserta didik sebagai output dari proses pendidikan
yang telah direncanakan dengan matang. Dalam proses pembentukan karakter inilah
diperlukan beberapa elemen, subyek dan obyek, sarana prasarana, bahkan sampai
pada metode.
B.
Rumusan masalah
1.
Apakah
pengertian dan isu yang berkembang dalam manajemen pendidikan Islam dewasa ini?
2.
Apa
sajakah karakter bangsa yang diharapkan tertanam?
3.
Siapakah
subyek dan obyek pembentukan karakter bangsa?
4.
Apa
sajakah piranti serta pendekatan yang digunakan dalam pembentukan karakter
bangsa?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian dan isu yang berkembang dalam manajemen pendidikan Islam dewasa ini?
2.
Mengetahui
karakter bangsa yang diharapkan tertanam.
5.
Mengetahui
subyek dan obyek pembentukan karakter bangsa.
3.
Mengetahui
piranti serta pendekatan yang digunakan dalam pembentukan karakter bangsa
BAB II
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian
Manajemen adalah suatu suatu hal yang
sangat penting bagi keberhasilan suatu organisasi. Mengapa demikian? Karena
pada hakekatnya inti dari pada manajemen adalah bagaimana cara mengatur dan
memanfatkan segala sumber yang ada secara efektif dan efisien untuk mencapai
keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan.
Manajemen
berasal dari kata to manage yang
berarti mengatur (mengelola). Manajemen is
science (ilmu) dan is art (seni),
yang artinya manajemen sebagai ilmu pengetahuan yang terorganisir dan
sistematis, dan terdiri dari teori-teori dan prinsip-prinsip, sekaligus juga
manajemen sebagai seni yang sangat tergantung pada orang yang menjalankannya[2].
Manajemen
pendidikan pada dasarnya merupakan penerapan dari prinsip manajemen pada
umumnya, Kekhasan manajemen pendidikan dalam bidang tujuan, proses, dan
orientasinya. Berdasarkan tujuannya,
manajemen pendidikan senantiasa harus bermuara pada tujuan pendidikan, yaitu
pengembangan kepribadian dan kemampuan
mengaktualisasikan potensi peserta didik. Berdasar prosesnya, manajemen pendidikan harus
dilandasi sifat edukatif yang berkenaan dengan unsur manusia yang tidak
semata-mata dilandasi prinsip efektivitas dan efisiensi melainkan juga harus
dilandasi dengan prinsip mendidik. Berdasar orientasinya, manajemen pendidikan
diorientasikan atau dipusatkan kepada peserta didik[3].
Manajemen
pendidikan sebagai seluruh proses
kegiatan bersama dalam bidang pendidikan dengan mendayagunakan semua sumberdaya
yang ada yang dikelola untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi manajemen
pendidikan pada pokoknya adalah memberikan arah/jurusan pada lembaga yang
dikelolanya, sasaran-sasarannya serta pengarahan visi misi untuk mendapatkan
hasil yang terbaik[4].
Menurut
Ramayulis Manajemen pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber
daya yang di miliki (umat islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik
perangkat keras maupun lunak,pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama
dengan orang lain secara efektif,efisien dan produktif untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia dan akhirat[5].
B.
Isu Manajemen Pendidikan Dewasa Ini
Manajemen Pendidikan nasional sangat penting karena
bukan saja pendidikan itu merupaka kebutuhan dasar manusia Indonesia, bahkan merupakan
salah satu dinamisator pembangunan bangsa. Dengan demikian, manajemen
pendidikkan haruslah merupakan subsistem dari system manajemen pembangunan
nasional[6].
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa
Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggarakan program pendidikan dalam
keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih
mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya prilaku baru
yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, antara
lain:
1.
Meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat;
2.
Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk,
cenderung tidak menggunakan kata baku;
3.
Pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam
tindak kekerasan;
4.
Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas;
5.
Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.
Menurunnya etos kerja;
7.
Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua
dan guru;
8.
Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan
warga negara;
9.
Membudaya-nya ketidakjujuran; dan
10. Adanya rasa
saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Berikut
juga fenomena yang tidak dapat dipungkiri, yakni:
1.
Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan
kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik;
2.
Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah
atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak
kondusif bagi pengembangan karakter.
3.
Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak
menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus,
ABS, budaya munafik, dll[7]
Dapat kita
rasakan dalam dasawarsa terakhir ini tentang berubahnya system pendidikan
nasional dan manajerialnya sebagai implikasi dari amanat reformasi. Sebagai
contoh istilah MBS yang digulirkan sebagai realisasi SISDIKNAS tahun 2003 yang
terkesan mentah dan setengah hati, dan ditindaklanjuti dengan KBK disusul
dengan KTSP yang sampai saat ini masih menyisakan permasalahan.
Ketika
idealisme KTSP bisa diterapkan secara murni, maka emiliki kebebsan pada
masing-masing daerah dan institusi pendidikan untuk mengelola dan memberikan
proses pembelajaran yang optimal dengan menyesuaikan kemampuan dan kebutuhan
lokal. Namun hal ini menjadi rancu ketika pemerintah tetap memberlakukan
standarisasi nasional dengan Ujian Nasional yang berujung pada masalah
ketidaksesuaian dengan standar local masing-masing daerah dan satuan
pendidikan, belum lagi masalah teknisnya. Ambil contoh pelaksanaan UN tingkat
SLTA tahun 2013 dalam pendistribusian soal yang sentralistik sehingga
menimbulkan berbagai permasalah, bahkan sampai pengunduran pelaksanaan UN.
Disisi lain
mengapa sampai terjadi 20 paket soal untuk tingkat SLTA? Disini terkesan adanya
kecurigaan dan indikasi kebocoran soal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
pelaksanaan UN kemarin dan beberapa tahun belakangan ini telah menyeret
beberapa oknum dalam kasus pidana, mulai dari jual beli kunci jawaban yang
melibatkan kepala sekolah, guru dan bahkan antar siswa. Ada apa dengan semua
ini? Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang salah dengan proses dan manajemen
pendidikan kita? Inilah isu-isu yang berkembang belakangan ini dan patut untuk
mendapatkan perhatian kita.
Proses
pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke UUSPN nomor 20 tahun 2003 pada saat itu
(awal tahun 2003) menuai pro dan kontra. Catatan media menunjukkan bahwa
sepanjang perdebatan rancangan UUSPN nomor 20 tahun 2003 hingga pengesahannya
pada tanggal 8 juli 2003 terdapat sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu,
1. Masalah
desentralisasi dan kerancauan tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas.
2. Ketidakjelasan
tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat,
3. Tanggungan biaya
pendiidkan antara pemerintah dan masyarakat,
4. Pendidikan formal
dan non-formal,
5. Sentralitas
agama,
6. UU Sisdiknas
melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking.
7. Pembebanan
sumberdaya pada masyarakat,
8. Adanya dominasi
guru,
9. Asumsi
liberalisasi pendidikan, dan
10. Etatisme/ campur
tangan pemerintah yang berlebih-lebihan[8].
Namun dalam makalah ini tidak menjadi pembahasan khusus
penulis.
Menyongsong
terbitnya kurikulum 2013 yang rencananya akan diberlakukan secara nasional
mulai tahun 2014 kita bertaruh harapan besar akan tercovernya idealisme
pendidikan yang sesuai dengan Indonesia dan dapat membawa perubahan menuju arah
yang lebih baik sebagaimana yang dituangkan dalam visi renstra kemendikbud 2014.
BAB III
PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
A.
Pengertian
Winnie mengatakan bahwa istilah
karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau
tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter.
1.
Ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah
laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah
orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan
karakter mulia.
2.
Istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa
disebut ‘orang yang berkarakter’ (a
person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan
Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu
spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu
dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari pendapat di atas difahami bahwa
karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan
netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral
(tertentu) positif.
Menurut Simon Philips, karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran,
sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A, karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian
dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan
seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi
Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi
watak yang merupakan identitas bangsa.
Dengan demikian, pendidikan membangun
karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku
yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan
yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe
Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang
membangun kebajikan (virtues). Salah
satu kriteria utama dari ‘character
strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam
mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan
yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya[9].
B.
Karakteristik pendidikan Islam
Dalam khazanah pendidikan Islam, dikenal memiliki
karakter sebagai ciri khas/ keunikan pendidikan Islam dan yang membedakan
dengan pendidikan yang lain. Karakteristik itu menyangkut aspek filosofi yang
melandasinya, aspek isi/ muatan pendidikan Islam, dan metode serta prosesnya.
Berikut akan penulis rangkumkan dari buku Watak Pendidikan Islam.
1.
Filsafat
Pendidikan Islam
a. Penciptaan yang bertujuan
b. Kesatuan yang menyeleruh
c. Kesimbangan yang kokoh
2.
Isi
Pendidikan Islam
a. Pendidikan Keimanan
b. Pendidikan Amaliah
c. Pendidikan Ilmiah
d. Pendidikan Akhlak
e. Pendidikan sosial
3.
Metode
dan Proses Pendidikan Islam
a. Kewajiban belajar
b. Kesinambungan belajar
c. Pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan
d. Cara memperoleh pengetahuan
(epistimologi)
e. dan Etika menggunakan pengetahuan
(aksiologi)[10]
C.
Subyek dan Obyek serta Materi Pembentukan Karakter
Saat
ini, image tentang bangsa Indonesia
yang ramah, berbudaya, dann berbudi luhur telah memudar. Kekerasan dan tindakan
tidak manusiawi telah terjadi dimana-mana dan berlangsung lama. Mengapa hal itu
terjadi? Tudingan yang tidak dapat dihindari dan sulit disangkaladalah
tudinggan yang tertuju pada kegagalan pendidikan di sekolah pada umumnya dan
secara khusus pendidikan nilai / budi pekerti sebagai penyebabnya[11].
Krisis
yang dialami bangsa Indonesia adalah multi dimensional, mulai dari krisis
ekonomi yang berakibat pada aspek social, politik, dan mengakibatkan krisis
kepercayaan terhadap pemerintah mengakibatkan konflik horizontal dan vertical
sehingga melahirkan ancaman disintegrasi bangsa. Hilangnya karakter bangsa
dengan berbagai fenomena yang terjadi pada akhirnya berimbas pada aspek
pendidikan[12].
Sehingga belakangan ini dikumandangkan lagi revitalisasi pembentukan karakter
bangsa dalam dunia pendidikan, sampai diterbitkannya buku ajar berkarakter,
begitu juga dengan penyusunan RPP guru harus mencantumkan nilai karakter yang
harus dimasukkan dalam proses pembelajaran.
Pembentukan
karakter bangsa seyogyanya dimulai dari konsep filosofi pendidikan yang ideal. Berikut
penulis rangkumkan pemikiran darmaningtyas tentang Ideology pendidikan bisa
dimulai dari;
1.
Netralnya dunia pendidikan dari berbagai
kepentingan politik tertentu.
2.
Perumusan filsafat pendidikan nasional
seyogyanya tidak menempatkan manusia sebagai instrument untuk indoktrinasi
ideology politik atau penguat arus globalisasi ekonomi yang berujung pada
kapitalisme.
3.
Hilangkan persepsi “pendidikan untuk bekerja”,
sehingga setelah selesai menempuh jenjang pendidikan tidak galau mencari kerja.
4.
Pendidikan sebagai proses hominisasi dan
humanisasi[13]
sehingga tidak menghasilkan manusia robot, mekanistis, individualis, tetapi
manusia yang memiliki kehalusan budi pekerti, sopan santun, intinya adat
ketimuran bangsa Indonesia (yang tercakup dalam akhlak mulia).
5.
Mengembalikan kehormatan guru sebagai yang digugu lan ditiru.
6.
Desentralisasi pendidikan.[14]
7.
Hilangkan dikotomi pendidikan.
Berbicara
tentang subyek dan obyek dari pembentukan karakter tentunya akan melibatkan
beberapa komponen. Komponen yang akan terlibat secara micro dalam kelas adalah
guru dan siswa. Peran guru sebagai Pendidik profesional memiliki tugas utama
dalam pendidikan dan pembentukan karakter, yaitu untuk: 1) mendidik, 2) membimbing,
3) mengarahkan, 4) melatih, 5) menilai, dan 6) mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah[15].
Dalam
pandangan Islam, anak terlahir dengan membawa bekal fithrah, dan bukan seperti kertas putih yang kosong (sebagaimana
teori John Lock), namun telah dibekali oleh Allah swt beberapa sifat dasar,
maka lingkunganlah yang akan menentukannnya. Hal ini disandarkan pada nadist
Nabi ; kullu mauludin yuladu ‘alal
fithrah, fa abawahu yhawwidanihi au yunash shironihi. Sehingga teori
pendidikan yang sesuai dengan Islam dan Indonesia adalah konstruktivisme yang
mengakui adanya potensi dasar.
Terkait
dengan pendidikan Islam (yang kelihatannya istilah dan konsepnya sudah masuk
dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam visi
renstra kemendikbud) maka tidak lepas dari teori pendidikan keteladanan dari
Rasullulah saw yang jelas berkarakter. Beberapa factor penting sebagai ciri
karakter profetik[16],
antara lain:
1.
Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar
sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar,
dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2.
Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan
Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh
karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan
menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3.
Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak
sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4.
Bijaksana : Karakter ini muncul karena
keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya
perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat
terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5.
Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki
wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar
sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan
(nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia
akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6.
Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman
nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan
bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan
membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap
mandiri sebagai bangsa.
7.
Kontributif: Kontributif merupakan cermin
seorang pemimpin.
Menurut
Husni Rahim, akhlak atau budi pekerti luhur adalah inti dari ajaran Agama
Islam. akhlak adalah tahapan ketiga dalam beragama. Tahap pertama adalah
menyatakan keimanan dengan syahadat, kedua,
melaksanakan ibadah (shalat, puasa, haji,dll), ketiga, sebagai bukti
dari keimanan dan ibadah adalah akhlak. Akhlak merupakan fungsionalisasi agama,
yang akan menjadikan agama tidak berarti apa bila tidak dibuktikan dengan
akhlak. Bentuk konkritkannya antara lain ; hormat dan santun pada orang tua,
guru dan sesama manusia, suka bekerja keras, peduli dan membantu yang lemah,
belajar, tidak membuang-buang waktu, menjauhi vandalism dan criminal, memiliki
kejujuran dan dapat dipercaya, pemaaf, pemberani, memiliki cita-cita luhur
untuk memajukan bangsa dan mengatasi masalah kemanusiaan[17].
Semua akhlak tersebut tercermin pada diri Nabi Muhammad saw sebagai teladan dan
tolak ukur akhalak mulia. Maka sifat ini juga yang harus tertanamkan pada anak
didik, yaitu karakter profetik.
Agar dapat memiliki karakter profetik
maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara
seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri
setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka
semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh
itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik).
Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)[18]
Lantas bagaimana mengajarkan akhlak ?
pendidikan akhlak tidak hanya sekedar menyuruh untuk menghafalkan nilai-nilai
normative secara kognitif, tidak juga hanya dengan ceramah atau nasehat semata.
akhlak harus diajarkan sebagai perangkat system yang saling terkait dan saling
memperkuat yang melibatkan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) dan
semua pihak. Perlu dicatat bahawa akhlak tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan
dibiasakan. Jadi, selain sebagai ilmu juga sebagai pengamalan dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu porsi waktu pendidikan agama dalam sekolah
terutama pada segi praktek harus lebih luas, dan sisi pengamalan sehari-hari di
sekolah harus terpantau dan didukung semua civitas sekolah. Begitu juga
idealnya di rumah dan di lingkungan masyarakatnya[19].
Menurut Sukamto, bahwa untuk melakukan
pendidikan karakter, perlu adanya powerfull
ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi:
1.
God, the World
& Me
(gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya);
2.
Knowing Yourself (memahami diri
sendiri);
3.
Becoming a Moral
Person
(menjadi manusia bermoral);
4.
Understanding
& Being Understood Getting Along with Others (memahami dan
dipahami);
5.
A Sense of
Belonging
(bekerjasama dengan orang lain);
6.
Drawing Strength
from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu);
7.
Dien for All
Times & Places;
8.
Caring for
Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq);
9.
Making a
Difference
(membuat perbedaan); dan
10. Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu
diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Sukamto, antara lain
meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak
egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian;
Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan
Keadilan dan kasih sayang[20].
D.
Nation and Character Building
Berbicara tentang
pembangunan karakter bangsa maka mengingatkan kita pada presiden Soekarno yang
dengan semangat mendengungkan nation and
character building[21].
Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu
sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun
karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat
memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula
murid yang berkarakter[22].
Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum bila
mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi
anfusihim).
Pembentukan karakter bangsa dan nasionalisme
memang tidak lepas dari dunia pendidikan yang menjadi salah satu bagian dari
tanggungjawab Negara-sebagaimana amanat Undang-undang Dasar-melalui Sistem
Pendidikan Nasional, terutama aspek tujuan pendidikan yang tak akan lepas dari
filosofi pendidikan. Menurut Darmaningtyas, persoalan filosofis pendidikan
setelah era reformasi tahun 1998 menjadi masalah krusial. Mengapa? Karena
munculnya berbagai kelompok dengan kepentingan masing-masing muncul dan
berusaha meng-gool-kal aspirasi agar dapat menjadi platform seluruh bangsa. Di
sisi lain, rezim Orde Baru meninggalkan persoalan filosofis mendasar, yaitu
kebijakan pendidikan untuk mencetak “pengabdi” pada kepentingan kekuasaan, yang
mengakibatkan citra manusia yang bebas lebur ke dalam system politik yang
sentralistik, hegemonik, dan totalitarian. Ketika, rumusan tujuan pendidikan
nasional dikomparasikan antara UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan UU
no 4 tahun 1950 terdapat perbedaan signifikan, dimana UUSPN No 20 /2003 yang
diharapkan dan menjadi tawaran pendidikan pascareformasi dinilai terlalu banyak
mengandung muatan yang ingin dicapai, tetapi justru semakin tidak jelas. Mengapa
demikian? Ini terjadi karena terjebak pada masalah teknis, pragmatis dan
ideologis, sehingga terasa “kering” dari nilai-nilai filosofis pendidikan dan
terkesan memperlancar arus globalisasi ekonomi yang berujung pada kapitalisme[23].
Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan
kehidupan bangsa dan sejalan dengan visi pendidikan nasional, Kemendiknas
mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif
(Insan Kamil/Insan Paripurna). Yang dimaksud dengan insan Indonesia cerdas
adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas
emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.
Berkenaan dengan hal itu,
ditegaskan dalam PP no. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan,
Bab II pasal 5 ayat 3-6 yang berbunyi; (3) Pendidikan
agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam
kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral
dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat
diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (5)
Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan
berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri,
kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. (6) Pendidikan agama
menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong
peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, dan/atau olahraga. Ditegaskan pula pada Bab III pasal 8 ayat 1 dan 2 yang berbunyi ; (1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (2) Pendidikan keagamaan
bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan
nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan
luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia[24].
Penerapan Metodologi
Pendidikan Akhlak Mulia dan Karakter Bangsa, Sistem
pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik
memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan
terjadinya degradasi moral seperti penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar,
pornografi dan pornoaksi, plagiarisme,
dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara. Kebijakan untuk
menanggulangi masalah ini antara lain adalah sebagai berikut;
1. Menanamkan pendidikan moral yang
mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli
kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan
pendidikan;
2. Mengembangkan kurikulum pendidikan yang
memberikan muatan soft skills yang meningkatkan akhlak mulia dan
menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
3. Menumbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli
lingkungan, dan peduli ketertiban
melalui pembelajaran aktif di lapangan;
4. Penilaian prestasi keteladanan peserta didik
yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.[25]
Membangun
Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama perlu melalui pengkajian, dan
pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur
universal :
1.
Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya;
2.
Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian;
3.
Kejujuran;
4.
Hormat dan Santun:
5.
Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama;
6.
Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan
Pantang Menyerah;
7.
Keadilan dan Kepemimpinan;
8.
Baik dan Rendah Hati; dan
9.
Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan[26].
BAB IV
PENUTUP
Pendidikan memiliki peran penting dan
vital bagi perkembangan sebuah peradaban suatu bangsa, dan bahkan dapat
dikatakan maju atau mundurnya suatu bangsa / Negara tergantung pada kualitas
pendidikannya. Pendidikan yang berkualitas dan maju akan dengan cepat membawa
perubahan pola pikir, tingkah laku, prinsip dan pandangan serta perilaku masyarakatnya
dalam menyikapi setiap perkembangan / permasalahan yang ada. Begitu pula
sebaliknya, rendahnya kualitas pendidikan yang ada akan berakibat buruk pada
perilaku kesehariannya yang pasti akan masuk ranah tata nilai yang buruk pula.
Pendidikan agar dapat berjalan dengan
baik dan memiliki kualitas tinggi diperlukan manajemen yang baik pula. Dengan
manajemen inilah segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan dipersiapkan
dengan cermat dan matang agar dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan out
put yang baik pula.
Berbicara tentang manajemen
pendidikan Islam dan hubungannya dengan pembentukan karakter bangsa, maka tidak
akan lepas dari pembicaraan akhlak yang diajarkan dalam Islam, bahkan tata
nilai generasi muda bangsa Indonesia yang sudah memudar tergerus lifestyle
bangsa lain diharapkan dapat terbendung dan teratasi dengan, manajemen
pendidikan Islam yang baik. Harapan besar untuk memperbaiki dan mengembalikan
ciri khas bangsa Indonesia makin jelas tampak terbebankan pada manajemen
pendidikan Islam.
Hingga saat ini berbagai upaya agar karakter bangsa dapat
tertanam pada setiap generasi muda bangsa melalui proses pendidikan dari tingkat paling dasar
bahkan pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Namun apa bila karakter
yang diharapkan dan ditanamkan itu dilaksanakan tanpa ada ruh agama/ sentuhan
agama, maka tetap saja akan terasa hambar dan kurang mendarah daging. oleh
karena itu, baik Islam maupun agama yang lain menyadari pentingnya hal ini dan
berusaha memberikan yang terbaik.
Khusus dalam Islam, pendidikan Islam dengan
manajemen yang baik akan dapat menjawab semua tantangan masa depan dan
optimisme kempuan untuk dapat berhadapan
dengan degradasi moral dan krisis multi dimensional. Pendidikan karakter
dimaksud tidak dapat hanya sekedar pendidikan normative belaka tetapi lebih
pada aspek aplikatif dengan program pembiasaan dan keteladaanan dari guru
(masyarakat sekolah), lingkungan, dan harus dimulai dari keluarga .y
DAFTAR PUSTAKA
Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi racun pendidikan, Pustaka Yashiba,
Husni Rahim, 2001, Arah baru pendidikan Islam di Indonesia, Logos,
Jakarta
Hery Noer Aly dan Munzier S., 2000, Watak Pendidikan Islam, Friska Agung Insani, Jakarta
HAR. Tilaar, 2003, manajemen pendidikan nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.4
Paul Suparno, dkk, 2002, Reformasi pendidikan sebuah rekomendasi, Kanisius, Jogjakarta
Renstra Kemendikbud
2010-2014
PP no 55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
UU SPN no 20 tahun 2003
Sri Winarsih, materi kuliah dasar-dasar manajemen pendidikan Islam
Imam Machali, materi kuliah dasar-dasar manajemen pendidikan
[1]
Renstra Kemendikbud 2010-2014, hal 30
[2]
Sri Winarsih, materi kuliah dasar-dasar
manajemen pendidikan Islam
[3]
Imam Machali, materi kuliah dasar-dasar
manajemen pendidikan
[5]
Sri Winarsih, ibid
[6] HAR.
Tilaar, 2003, manajemen pendidikan nasional, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.4
[10]
Hery Noer Aly dan Munzier S., 2000, Watak
Pendidikan Islam, Friska Agung
Insani, Jakarta, hal. 55-110
[11]
Paul Suparno, dkk, 2002, Reformasi
pendidikan sebuah rekomendasi, Kanisius, Jogjakarta, hal. 74
[12]
Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi
racun pendidikan, Pustaka Yashiba,
hal 151
[13]
Proses menjadikan seseorang sebagai manusia dan proses pengembangan kemanusian
manusia.
[14]
Darmaningtyas, ibid, hal 146-149
[16]
Berkenaan dengan kenabian
[17]
Husni Rahim, 2001, Arah baru pendidikan
Islam di Indonesia, Logos, Jakarta, hal. 39
[19]
Husni Rahim, ibid, hal.40-42
[21]
Darmaningtyas, ibid, hal 149-150
[23]
Darmaningtyas, ibid, hal. 143-145
[24]
PP no 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
[25]
Renstra Kemendikbud hal. 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar