Rabu, 10 Juli 2013

MPI dan Pembentukan Karakter


MANAJEMEN PENDIDKKAN ISLAM
DAN PEMBENTUKAN KARAKTER
(oleh : A. Saebani Himawan Al Jawahiry)
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Dasar Pemikiran
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejalan dengan pembukaan UUD itu, batang tubuh konstitusi itu di antaranya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32, juga mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahaka dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
Sistem pendidikan nasional tersebut harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Untuk itu, perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan sejalan dengan visi pendidikan nasional, Kemendiknas mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna)[1].
Untuk dapat merealisasikan maksud tersebut sudah tentu dibutuhkan sebuah manajemen untuk dapat melaksakan visi misi tersebut. adapun insan kamil merupakan karakter yang diharapkan terbentuk pada peserta didik sebagai output dari proses pendidikan yang telah direncanakan dengan matang. Dalam proses pembentukan karakter inilah diperlukan beberapa elemen, subyek dan obyek, sarana prasarana, bahkan sampai pada metode.

B.      Rumusan masalah
1.      Apakah pengertian dan isu yang berkembang dalam manajemen pendidikan Islam dewasa ini?
2.      Apa sajakah karakter bangsa yang diharapkan tertanam?
3.      Siapakah subyek dan obyek pembentukan karakter bangsa?
4.      Apa sajakah piranti serta pendekatan yang digunakan dalam pembentukan karakter bangsa?

C.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dan isu yang berkembang dalam manajemen pendidikan Islam dewasa ini?
2.      Mengetahui karakter bangsa yang diharapkan tertanam.
5.      Mengetahui subyek dan obyek pembentukan karakter bangsa.
3.      Mengetahui piranti serta pendekatan yang digunakan dalam pembentukan karakter bangsa


BAB II
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
A.     Pengertian
Manajemen adalah suatu suatu hal yang sangat penting bagi keberhasilan suatu organisasi. Mengapa demikian? Karena pada hakekatnya inti dari pada manajemen adalah bagaimana cara mengatur dan memanfatkan segala sumber yang ada secara efektif dan efisien untuk mencapai keberhasilan sesuai dengan yang diharapkan.
Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur (mengelola). Manajemen is science (ilmu) dan is art (seni), yang artinya manajemen sebagai ilmu pengetahuan yang terorganisir dan sistematis, dan terdiri dari teori-teori dan prinsip-prinsip, sekaligus juga manajemen sebagai seni yang sangat tergantung pada orang yang menjalankannya[2].
Manajemen pendidikan pada dasarnya merupakan penerapan dari prinsip manajemen pada umumnya, Kekhasan manajemen pendidikan dalam bidang tujuan, proses, dan orientasinya.  Berdasarkan tujuannya, manajemen pendidikan senantiasa harus bermuara pada tujuan pendidikan, yaitu pengembangan kepribadian  dan kemampuan mengaktualisasikan potensi peserta didik.  Berdasar prosesnya, manajemen pendidikan harus dilandasi sifat edukatif yang berkenaan dengan unsur manusia yang tidak semata-mata dilandasi prinsip efektivitas dan efisiensi melainkan juga harus dilandasi dengan prinsip mendidik. Berdasar orientasinya, manajemen pendidikan diorientasikan atau dipusatkan kepada peserta didik[3].
Manajemen  pendidikan sebagai seluruh proses kegiatan bersama dalam bidang pendidikan dengan mendayagunakan semua sumberdaya yang ada yang dikelola untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi manajemen pendidikan pada pokoknya adalah memberikan arah/jurusan pada lembaga yang dikelolanya, sasaran-sasarannya serta pengarahan visi misi untuk mendapatkan hasil yang terbaik[4].
Menurut Ramayulis Manajemen pendidikan Islam adalah proses pemanfaatan semua sumber daya yang di miliki (umat islam, lembaga pendidikan atau lainnya) baik perangkat keras maupun lunak,pemanfaatan tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan orang lain secara efektif,efisien dan produktif untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia dan akhirat[5].

B.      Isu Manajemen Pendidikan Dewasa Ini
Manajemen Pendidikan nasional sangat penting karena bukan saja pendidikan itu merupaka kebutuhan dasar manusia Indonesia, bahkan merupakan salah satu dinamisator pembangunan bangsa. Dengan demikian, manajemen pendidikkan haruslah merupakan subsistem dari system manajemen pembangunan nasional[6].
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Indonesia tidak pernah berhenti dalam menyelenggarakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga. Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya prilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, antara lain:
1.      Meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat;
2.      Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku;
3.      Pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan;
4.      Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas; 
5.      Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
6.      Menurunnya etos kerja;
7.      Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
8.      Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara;
9.      Membudaya-nya ketidakjujuran; dan
10.  Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Berikut juga fenomena yang tidak dapat dipungkiri, yakni:
1.      Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu yang notabene kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik;
2.      Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter. 
3.      Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS, budaya munafik, dll[7]
Dapat kita rasakan dalam dasawarsa terakhir ini tentang berubahnya system pendidikan nasional dan manajerialnya sebagai implikasi dari amanat reformasi. Sebagai contoh istilah MBS yang digulirkan sebagai realisasi SISDIKNAS tahun 2003 yang terkesan mentah dan setengah hati, dan ditindaklanjuti dengan KBK disusul dengan KTSP yang sampai saat ini masih menyisakan permasalahan.
Ketika idealisme KTSP bisa diterapkan secara murni, maka emiliki kebebsan pada masing-masing daerah dan institusi pendidikan untuk mengelola dan memberikan proses pembelajaran yang optimal dengan menyesuaikan kemampuan dan kebutuhan lokal. Namun hal ini menjadi rancu ketika pemerintah tetap memberlakukan standarisasi nasional dengan Ujian Nasional yang berujung pada masalah ketidaksesuaian dengan standar local masing-masing daerah dan satuan pendidikan, belum lagi masalah teknisnya. Ambil contoh pelaksanaan UN tingkat SLTA tahun 2013 dalam pendistribusian soal yang sentralistik sehingga menimbulkan berbagai permasalah, bahkan sampai pengunduran pelaksanaan UN.
Disisi lain mengapa sampai terjadi 20 paket soal untuk tingkat SLTA? Disini terkesan adanya kecurigaan dan indikasi kebocoran soal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pelaksanaan UN kemarin dan beberapa tahun belakangan ini telah menyeret beberapa oknum dalam kasus pidana, mulai dari jual beli kunci jawaban yang melibatkan kepala sekolah, guru dan bahkan antar siswa. Ada apa dengan semua ini? Mengapa ini bisa terjadi? Apa yang salah dengan proses dan manajemen pendidikan kita? Inilah isu-isu yang berkembang belakangan ini dan patut untuk mendapatkan perhatian kita.
Proses pergantian UUSPN nomor 2 tahun 1989 ke UUSPN nomor 20 tahun 2003 pada saat itu (awal tahun 2003) menuai pro dan kontra. Catatan media menunjukkan bahwa sepanjang perdebatan rancangan UUSPN nomor 20 tahun 2003 hingga pengesahannya pada tanggal 8 juli 2003 terdapat sepuluh materi yang diperdebatkan yaitu,
1.      Masalah desentralisasi dan kerancauan tanggungjawab perumusan UU Sisdiknas.
2.      Ketidakjelasan tanggungjawab pemerintah daerah dan pusat,
3.      Tanggungan biaya pendiidkan antara pemerintah dan masyarakat,
4.      Pendidikan formal dan non-formal,
5.      Sentralitas agama,
6.      UU Sisdiknas melahirkan watak inlander dan orientasi inward looking.
7.      Pembebanan sumberdaya pada masyarakat,
8.      Adanya dominasi guru,
9.      Asumsi liberalisasi pendidikan, dan
10.  Etatisme/ campur tangan pemerintah yang berlebih-lebihan[8].
Namun dalam makalah ini tidak menjadi pembahasan khusus penulis.
Menyongsong terbitnya kurikulum 2013 yang rencananya akan diberlakukan secara nasional mulai tahun 2014 kita bertaruh harapan besar akan tercovernya idealisme pendidikan yang sesuai dengan Indonesia dan dapat membawa perubahan menuju arah yang lebih baik sebagaimana yang dituangkan dalam visi renstra kemendikbud 2014.

BAB III
PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
A.     Pengertian
Winnie mengatakan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter.
1.      Ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia.
2.      Istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Dari pendapat di atas difahami bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif.
Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A,  karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Hal yang selaras disampaikan dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:233) yang mengartikan karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau baik, bukan yang negatif atau buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman (Gedhe Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya[9].

B.      Karakteristik pendidikan Islam
Dalam khazanah pendidikan Islam, dikenal memiliki karakter sebagai ciri khas/ keunikan pendidikan Islam dan yang membedakan dengan pendidikan yang lain. Karakteristik itu menyangkut aspek filosofi yang melandasinya, aspek isi/ muatan pendidikan Islam, dan metode serta prosesnya. Berikut akan penulis rangkumkan dari buku Watak Pendidikan Islam.
1.      Filsafat Pendidikan Islam
a.      Penciptaan yang bertujuan
b.      Kesatuan yang menyeleruh
c.       Kesimbangan yang kokoh
2.      Isi Pendidikan Islam
a.      Pendidikan Keimanan
b.      Pendidikan Amaliah
c.       Pendidikan Ilmiah
d.      Pendidikan Akhlak
e.      Pendidikan sosial
3.      Metode dan Proses Pendidikan Islam
a.      Kewajiban belajar
b.      Kesinambungan belajar
c.       Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
d.      Cara memperoleh pengetahuan (epistimologi)
e.      dan Etika menggunakan pengetahuan (aksiologi)[10]

C.      Subyek dan Obyek serta Materi  Pembentukan Karakter
Saat ini, image tentang bangsa Indonesia yang ramah, berbudaya, dann berbudi luhur telah memudar. Kekerasan dan tindakan tidak manusiawi telah terjadi dimana-mana dan berlangsung lama. Mengapa hal itu terjadi? Tudingan yang tidak dapat dihindari dan sulit disangkaladalah tudinggan yang tertuju pada kegagalan pendidikan di sekolah pada umumnya dan secara khusus pendidikan nilai / budi pekerti sebagai penyebabnya[11].
Krisis yang dialami bangsa Indonesia adalah multi dimensional, mulai dari krisis ekonomi yang berakibat pada aspek social, politik, dan mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah mengakibatkan konflik horizontal dan vertical sehingga melahirkan ancaman disintegrasi bangsa. Hilangnya karakter bangsa dengan berbagai fenomena yang terjadi pada akhirnya berimbas pada aspek pendidikan[12]. Sehingga belakangan ini dikumandangkan lagi revitalisasi pembentukan karakter bangsa dalam dunia pendidikan, sampai diterbitkannya buku ajar berkarakter, begitu juga dengan penyusunan RPP guru harus mencantumkan nilai karakter yang harus dimasukkan dalam proses pembelajaran.
Pembentukan karakter bangsa seyogyanya dimulai dari konsep filosofi pendidikan yang ideal. Berikut penulis rangkumkan pemikiran darmaningtyas tentang Ideology pendidikan bisa dimulai dari;
1.      Netralnya dunia pendidikan dari berbagai kepentingan politik tertentu.
2.      Perumusan filsafat pendidikan nasional seyogyanya tidak menempatkan manusia sebagai instrument untuk indoktrinasi ideology politik atau penguat arus globalisasi ekonomi yang berujung pada kapitalisme.
3.      Hilangkan persepsi “pendidikan untuk bekerja”, sehingga setelah selesai menempuh jenjang pendidikan tidak galau mencari kerja.
4.      Pendidikan sebagai proses hominisasi dan humanisasi[13] sehingga tidak menghasilkan manusia robot, mekanistis, individualis, tetapi manusia yang memiliki kehalusan budi pekerti, sopan santun, intinya adat ketimuran bangsa Indonesia (yang tercakup dalam akhlak mulia).
5.      Mengembalikan kehormatan guru sebagai yang digugu lan ditiru.
6.      Desentralisasi pendidikan.[14]
7.      Hilangkan dikotomi pendidikan.
Berbicara tentang subyek dan obyek dari pembentukan karakter tentunya akan melibatkan beberapa komponen. Komponen yang akan terlibat secara micro dalam kelas adalah guru dan siswa. Peran guru sebagai Pendidik profesional memiliki tugas utama dalam pendidikan dan pembentukan karakter, yaitu untuk: 1) mendidik, 2) membimbing, 3) mengarahkan, 4) melatih, 5) menilai, dan 6) mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah[15].
Dalam pandangan Islam, anak terlahir dengan membawa bekal fithrah, dan bukan seperti kertas putih yang kosong (sebagaimana teori John Lock), namun telah dibekali oleh Allah swt beberapa sifat dasar, maka lingkunganlah yang akan menentukannnya. Hal ini disandarkan pada nadist Nabi ; kullu mauludin yuladu ‘alal fithrah, fa abawahu yhawwidanihi au yunash shironihi. Sehingga teori pendidikan yang sesuai dengan Islam dan Indonesia adalah konstruktivisme yang mengakui adanya potensi dasar.
Terkait dengan pendidikan Islam (yang kelihatannya istilah dan konsepnya sudah masuk dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam visi renstra kemendikbud) maka tidak lepas dari teori pendidikan keteladanan dari Rasullulah saw yang jelas berkarakter. Beberapa factor penting sebagai ciri karakter profetik[16], antara lain:
1.      Sadar sebagai makhluq ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluq muncul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan Tuhan YME. Konsepsi ini dibangun dari nilai-nilai transendensi.
2.      Cinta Tuhan : Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kepada Tuhan. Orang yang cinta Tuhan akan menjalankan apapun perintah dan menjauhi larangan-Nya.
3.      Bermoral : Jujur, saling menghormati, tidak sombong, suka membantu, dll merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
4.      Bijaksana : Karakter ini muncul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan.
5.      Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai transendensi). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai kebinekaan ia akan semakin bersemangat untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan.
6.      Mandiri: Karakter ini muncul dari penanaman nilai-nilai humanisasi dan liberasi. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa.
7.      Kontributif: Kontributif merupakan cermin seorang pemimpin.
Menurut Husni Rahim, akhlak atau budi pekerti luhur adalah inti dari ajaran Agama Islam. akhlak adalah tahapan ketiga dalam beragama. Tahap pertama adalah menyatakan keimanan dengan syahadat, kedua,  melaksanakan ibadah (shalat, puasa, haji,dll), ketiga, sebagai bukti dari keimanan dan ibadah adalah akhlak. Akhlak merupakan fungsionalisasi agama, yang akan menjadikan agama tidak berarti apa bila tidak dibuktikan dengan akhlak. Bentuk konkritkannya antara lain ; hormat dan santun pada orang tua, guru dan sesama manusia, suka bekerja keras, peduli dan membantu yang lemah, belajar, tidak membuang-buang waktu, menjauhi vandalism dan criminal, memiliki kejujuran dan dapat dipercaya, pemaaf, pemberani, memiliki cita-cita luhur untuk memajukan bangsa dan mengatasi masalah kemanusiaan[17]. Semua akhlak tersebut tercermin pada diri Nabi Muhammad saw sebagai teladan dan tolak ukur akhalak mulia. Maka sifat ini juga yang harus tertanamkan pada anak didik, yaitu karakter profetik.
Agar dapat memiliki karakter profetik maka 3 aspek utama dalam diri manusia harus diberikan perhatian secara seimbang, yakni hati, emosi, akal. (Nabi bersabda: Ketahuilah bahwa dalam diri setiap kalian ada ”mudghoh” (segumpal daging), jika mudghoh itu bersih maka semua yang ditampilkan oleh orang tersebut juga bersih (baik), dan jika mudghoh itu rusak maka yang ditampilkan oleh orang tersebut juga rusak (tidak baik). Ketahuilah bahwa yang disebut mudghoh itu adalah al-qolb (hati). (Al-Hadist)[18]
Lantas bagaimana mengajarkan akhlak ? pendidikan akhlak tidak hanya sekedar menyuruh untuk menghafalkan nilai-nilai normative secara kognitif, tidak juga hanya dengan ceramah atau nasehat semata. akhlak harus diajarkan sebagai perangkat system yang saling terkait dan saling memperkuat yang melibatkan pemangku kepentingan pendidikan (stakeholder) dan semua pihak. Perlu dicatat bahawa akhlak tidak akan tumbuh tanpa diajarkan dan dibiasakan. Jadi, selain sebagai ilmu juga sebagai pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu porsi waktu pendidikan agama dalam sekolah terutama pada segi praktek harus lebih luas, dan sisi pengamalan sehari-hari di sekolah harus terpantau dan didukung semua civitas sekolah. Begitu juga idealnya di rumah dan di lingkungan masyarakatnya[19].
Menurut Sukamto, bahwa untuk melakukan pendidikan karakter, perlu adanya powerfull ideas, yang menjadi pintu masuk pendidikan karakter. Powerfull ideas ini meliputi:
1.      God, the World & Me (gagasan tentang Tuhan, dunia, dan saya);
2.      Knowing Yourself (memahami diri sendiri);
3.      Becoming a Moral Person (menjadi manusia bermoral);
4.      Understanding & Being Understood Getting Along with Others (memahami dan dipahami);
5.      A Sense of Belonging (bekerjasama dengan orang lain);
6.      Drawing Strength from the Past (mengambil kekuatan di masa lalu);
7.      Dien for All Times & Places;
8.      Caring for Allah’s Creation (kepedulian terhadap makhluq);
9.      Making a Difference (membuat perbedaan); dan
10.  Taking the Lead.
Adapun nilai-nilai luhur yang perlu diajarkan agar menjadi sikap hidup sehari-hari menurut Sukamto, antara lain meliputi: Kejujuran; Loyalitas dan dapat diandalkan; Hormat; Cinta; Ketidak egoisan dan sensitifitas; Baik hati dan pertemanan; Keberanian; Kedamaian; Mandiri dan Potensial; Disiplin diri dan Moderasi; Kesetiaan dan kemurnian; dan Keadilan dan kasih sayang[20].

D.     Nation and Character Building
Berbicara tentang pembangunan karakter bangsa maka mengingatkan kita pada presiden Soekarno yang dengan semangat mendengungkan nation and character building[21]. Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Bila sekolah dapat memberikan pembangunan karakter kepada para muridnya, maka akan tercipta pula murid yang berkarakter[22]. Demikian pula sebaliknya. Kita faham Tuhan tidak merubah keadaan suatu kaum bila mereka tidak berusaha melakukan perubahan itu. (innalloha laa yughoyyiru maa biqoumin hattaa yughoyyiruu maa bi anfusihim).
Pembentukan karakter bangsa dan nasionalisme memang tidak lepas dari dunia pendidikan yang menjadi salah satu bagian dari tanggungjawab Negara-sebagaimana amanat Undang-undang Dasar-melalui Sistem Pendidikan Nasional, terutama aspek tujuan pendidikan yang tak akan lepas dari filosofi pendidikan. Menurut Darmaningtyas, persoalan filosofis pendidikan setelah era reformasi tahun 1998 menjadi masalah krusial. Mengapa? Karena munculnya berbagai kelompok dengan kepentingan masing-masing muncul dan berusaha meng-gool-kal aspirasi agar dapat menjadi platform  seluruh bangsa. Di sisi lain, rezim Orde Baru meninggalkan persoalan filosofis mendasar, yaitu kebijakan pendidikan untuk mencetak “pengabdi” pada kepentingan kekuasaan, yang mengakibatkan citra manusia yang bebas lebur ke dalam system politik yang sentralistik, hegemonik, dan totalitarian. Ketika, rumusan tujuan pendidikan nasional dikomparasikan antara UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan UU no 4 tahun 1950 terdapat perbedaan signifikan, dimana UUSPN No 20 /2003 yang diharapkan dan menjadi tawaran pendidikan pascareformasi dinilai terlalu banyak mengandung muatan yang ingin dicapai, tetapi justru semakin tidak jelas. Mengapa demikian? Ini terjadi karena terjebak pada masalah teknis, pragmatis dan ideologis, sehingga terasa “kering” dari nilai-nilai filosofis pendidikan dan terkesan memperlancar arus globalisasi ekonomi yang berujung pada kapitalisme[23].
Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa dan sejalan dengan visi pendidikan nasional, Kemendiknas mempunyai visi 2025 untuk menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna). Yang dimaksud dengan insan Indonesia cerdas adalah insan yang cerdas komprehensif, yaitu cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.
Berkenaan dengan hal itu, ditegaskan dalam PP no. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Bab II pasal 5 ayat 3-6 yang berbunyi; (3) Pendidikan agama mendorong peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan agama sebagai landasan etika dan moral dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (4) Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat diantara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain. (5) Pendidikan agama membangun sikap mental peserta didik untuk bersikap dan berperilaku jujur, amanah, disiplin, bekerja keras, mandiri, percaya diri, kompetitif, kooperatif, tulus, dan bertanggung jawab. (6) Pendidikan agama menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis, sehingga menjadi pendorong peserta didik untuk memiliki kompetensi dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga.  Ditegaskan pula pada  Bab III pasal  8  ayat 1 dan 2 yang berbunyi ; (1) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (2) Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia[24].
Penerapan Metodologi Pendidikan Akhlak Mulia dan Karakter Bangsa, Sistem pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degradasi moral seperti penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar, pornografi  dan pornoaksi, plagiarisme, dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara. Kebijakan untuk menanggulangi masalah ini antara lain adalah sebagai berikut;
1.      Menanamkan pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan;
2.      Mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan soft skills yang meningkatkan akhlak mulia dan menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
3.      Menumbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli  ketertiban melalui pembelajaran aktif di lapangan;
4.      Penilaian prestasi keteladanan peserta didik yang mempertimbangkan aspek akhlak mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.[25]
Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal :
1.      Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya;
2.      Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian;
3.      Kejujuran;
4.      Hormat dan Santun:
5.      Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama;
6.      Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah;
7.      Keadilan dan Kepemimpinan;
8.      Baik dan Rendah Hati; dan
9.      Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan[26].


BAB IV
PENUTUP
Pendidikan memiliki peran penting dan vital bagi perkembangan sebuah peradaban suatu bangsa, dan bahkan dapat dikatakan maju atau mundurnya suatu bangsa / Negara tergantung pada kualitas pendidikannya. Pendidikan yang berkualitas dan maju akan dengan cepat membawa perubahan pola pikir, tingkah laku, prinsip dan pandangan serta perilaku masyarakatnya dalam menyikapi setiap perkembangan / permasalahan yang ada. Begitu pula sebaliknya, rendahnya kualitas pendidikan yang ada akan berakibat buruk pada perilaku kesehariannya yang pasti akan masuk ranah tata nilai yang buruk pula.
Pendidikan agar dapat berjalan dengan baik dan memiliki kualitas tinggi diperlukan manajemen yang baik pula. Dengan manajemen inilah segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan dipersiapkan dengan cermat dan matang agar dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan out put yang baik pula.
Berbicara tentang manajemen pendidikan Islam dan hubungannya dengan pembentukan karakter bangsa, maka tidak akan lepas dari pembicaraan akhlak yang diajarkan dalam Islam, bahkan tata nilai generasi muda bangsa Indonesia yang sudah memudar tergerus lifestyle bangsa lain diharapkan dapat terbendung dan teratasi dengan, manajemen pendidikan Islam yang baik. Harapan besar untuk memperbaiki dan mengembalikan ciri khas bangsa Indonesia makin jelas tampak terbebankan pada manajemen pendidikan Islam.
Hingga saat ini  berbagai upaya agar karakter bangsa dapat tertanam pada setiap generasi muda bangsa melalui  proses pendidikan dari tingkat paling dasar bahkan pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Namun apa bila karakter yang diharapkan dan ditanamkan itu dilaksanakan tanpa ada ruh agama/ sentuhan agama, maka tetap saja akan terasa hambar dan kurang mendarah daging. oleh karena itu, baik Islam maupun agama yang lain menyadari pentingnya hal ini dan berusaha memberikan yang terbaik.
Khusus dalam Islam, pendidikan Islam dengan manajemen yang baik akan dapat menjawab semua tantangan masa depan dan optimisme kempuan  untuk dapat berhadapan dengan degradasi moral dan krisis multi dimensional. Pendidikan karakter dimaksud tidak dapat hanya sekedar pendidikan normative belaka tetapi lebih pada aspek aplikatif dengan program pembiasaan dan keteladaanan dari guru (masyarakat sekolah), lingkungan, dan harus dimulai dari keluarga .y

DAFTAR PUSTAKA

Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi racun pendidikan, Pustaka Yashiba,
Husni Rahim, 2001, Arah baru pendidikan Islam di Indonesia, Logos, Jakarta
Hery Noer Aly dan Munzier S., 2000, Watak Pendidikan Islam,  Friska Agung Insani, Jakarta
HAR. Tilaar, 2003,  manajemen pendidikan nasional,  Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.4
Paul Suparno, dkk, 2002, Reformasi pendidikan sebuah rekomendasi,  Kanisius, Jogjakarta
Renstra Kemendikbud 2010-2014
PP no 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
UU SPN no 20 tahun 2003
Sri Winarsih, materi kuliah dasar-dasar manajemen pendidikan Islam
Imam Machali, materi kuliah dasar-dasar manajemen pendidikan




[1] Renstra Kemendikbud 2010-2014, hal 30
[2] Sri Winarsih, materi kuliah dasar-dasar manajemen pendidikan Islam
[3] Imam Machali, materi kuliah dasar-dasar manajemen pendidikan
[5] Sri Winarsih, ibid
[6] HAR. Tilaar, 2003,  manajemen pendidikan nasional,  Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.4
[10] Hery Noer Aly dan Munzier S., 2000, Watak Pendidikan Islam,  Friska Agung Insani, Jakarta, hal. 55-110
[11] Paul Suparno, dkk, 2002, Reformasi pendidikan sebuah rekomendasi,  Kanisius, Jogjakarta, hal.  74
[12] Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi racun pendidikan, Pustaka Yashiba,  hal 151
[13] Proses menjadikan seseorang sebagai manusia dan proses pengembangan kemanusian manusia.
[14] Darmaningtyas, ibid,  hal 146-149
[16] Berkenaan dengan kenabian
[17] Husni Rahim, 2001, Arah baru pendidikan Islam di Indonesia, Logos, Jakarta, hal. 39
[19] Husni Rahim, ibid, hal.40-42
[21] Darmaningtyas, ibid, hal 149-150
[23] Darmaningtyas, ibid, hal. 143-145
[24] PP no 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
[25] Renstra Kemendikbud hal. 55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar