Kamis, 11 Juli 2013

RBO


 
MEMBEKALI ABG KITA
Oleh : Saebani Himawan

A.      Tanggapan atas beberapa tulisan sebelumnya
Saya kurang tahu siapa yang memulai menuangkan pikiran dalam bulan ini seputar cinta, istri, ibu rumah tangga dan juga dalam perspektif bias gender. Tiga kali menyimak perbincangan pada edisi 7,13,14 Maret 2012 dalam kolom wacana dan perempuan yang masih perpolemik tentang masalah tersebut dengan berbagai perpsektif masing-masing.
Saya sependapat dengan Siti Muyassarotul Hafidzoh (SM 7-3-2012) yang menanggapi tulisan Lintang Ratri tentang makna cinta yang sarat dengan nuansa filosofis-religius,   dan peranan perempuan kehidupan dan rumah tangga dalam posisi yang urgen, serta ajakannya untuk dapat memposisikan diri dan memberdayakan diri sehingga tidak ada image kurang baik terhadap eksistensi perempuan itu sendiri.
Ungkapan pendapat dari Linda Nur Ramly (SM 13-3-2012) tentang kesetaraan gender dan pengertiannya dengan mengusung issue ketidak-adilan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai hal serta batasan-batasan yang dikemukakan dengan penalaran dan batasan qodrati, telah memperluas wawasan kita dalam memahami urgensitas perempuan dan martabatnya yang memiliki posisi vital.
Lain halnya dengan Widi Astuti (SM 14-3-2012) yang bangga menjadi ibu professional, sosok istri yang seperti inilah (menurut saya) yang banyak didambakan oleh kaum Adam dalam mengarungi bahtera rumah tangga guna membentuk mahligai bahagia rumah tangga dunia-akherat yang akan banyak membawa perubahan besar bagi masyarakat dan  bangsanya.
Kesadaran akan tugas qodratinya dan tanggungjawabnya serta perannya dalam keluarga, social masyarakat bahkan bangsa, sikap inilah yang tidak banyak dimiliki oleh ibu-ibu muda kita saat ini, sehingga penanaman karakter, nilai dan sikap positi-negatif pada anak-anak menjadi kabur dan bahkan hilang, dan sekarang para pakar ramai-ramai berbicara tentang karakter bangsa yang hilang.

B.      Realita perempuan sekarang
Buta pengetahuan tentang rumah tangga
Benar memang (menurutnya) bahwa tidak ada kurikulum pendidikan tentang parenting/kerumahtanggaan di semua jenjang pendidikan formal. Bahkan dalam keluarga sekalipun sekarang banyak ibu yang tidak atau belum sempat mengajarkan hal itu pada putrinya karna berbagai hal, hingga akhirnya prosentase data cerai lebih banyak daripada data nikah pertahunnya.
Remaja putri sekarang banyak disibukkan dengan kegiatan sekolah, les, privat, tugas yang notabenenya mengejar sisi intelektualitas. Tugas anak sekolah memang belajar, namun hal-hal penting yang terkait dengan sisi emosional dan spirit dan bahkan sisi religiusnya tidak kalah pentingnya untuk dipersiapkan sejak dini juga. Dua factor ini yang sering terlalaikan oleh orang tua dan hanya sekedar mengejar nilai akademis yang tinggi dengan berbagai daya dan upaya, hingga bahkan ada remaja putri yang alergi dengan kata “dapur” dan Jauh dari nilai luhur seorang wanita.
Ada ungakapan berbahasa Jawa yang sarat dengan makna dalam memandang remaja putri akhir akhir ini, yaitu “bocah manak bocah” (anak-anak melahikan anak).  Kata sederhana mengandung selaksa makna. “Salah pergaulan” bukan satu-satunya ungkapan penutup rumor tentang hal itu. Berbagai aspek telah ambil bagian dalam suksesi bocah manak bocah, misal: orang tua, pendidikan di sekolah, masyarakat, teman/komunitas, teknologi atau bahkan Negara.
Faktanya banyak Pengadilan Agama yang memberikan dispensasi bagi pasangan dibawah umur karena berbagai pertimbangan. Dinas kependudukan dan catatan sipil juga dapat memberikan akta kelahiran tanpa ayah. Dan yang lebih mengejutkan adalah hasil dari beberapa penelitian di berbagai kota yang menyatakanan sekian persen remaja putri sudah tidak perawan lagi, Serta banyaknya kasus aborsi di kalangan mahasiswi. Belum lagi jika dikaitkan dengan makin merebaknya kasus HIV di berbagai daerah.
Yang lebih parah lagi menurunya dan bahkan hilangnya rasa malu dan kesadaran tanggungjawab remaja saat ini sehingga hal yang selama ini dianggap tabu justru direkam dan dipublikasikan. Selain itu sikap remaja putri yang hampir sudah tidak menghargai nilai virginitasnya sendiri, dengan “menerima, merelakan dan meninggalkan” kekasihnya atas nama cinta/sudah tidak cinta, tanpa memperdulikan ‘kisah” yang telah dijalani dengan mudahnya. Belum lagi fenomena “cinta tak cukup satu/ gak zaman punya pacar satu” bagi ABG sekarang.
C.      Bias Gender
Perbincangan tentang Persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita dalam bias gender mestinya bukanlah semata-mata suatu media untuk menggugat seluruh  budaya patriarki yang nampak mendeskreditkan posisi perempuan. Secara umum memang ada beberapa titik bahasan yang memang perlu mendapat gugatan guna emansipasi wanita. Namun terkadang LSM/Lembaga yang berkecimpung dalam bahasan tentang kesetaraan tersebut membuka wacana yang memungkinkan terjadinya mindset “kebablasan” yang bahkan meyerang lini absolute religius, sehingga menjadikan polemic dahsyat yang melibatkan berbagai kalangan.
Menggugat hukum agama dalam Islam, misalnya hukum waris. Bahkan ada pemikiran yang lebih ekstrim lagi, missal tentang polyandry. Itu semua diusung atas nama emansipasi dan bahkan HAM. Dan masih banyak lagi hal-hal yang sering kita dengar yang kadang membuat sebagian masyarakat tidak nyaman. Hal semacam itu bisa dikhawatirkan dapat meracuni pola pikir anak/orang yang belum mampu untuk memahaminya, dan tidak menutup kemungkinan menjadikan adanya gesekan horizontal. Namun hal ini akan berbeda jika berada dalam koridor kebebasan mimbar akademik.
Ada beberapa kajian lintas agama yang merasa gerah dan terusik dengan diusungnya tema-tema dalam kesetaraan gender, HAM dan demokrasi yang berujung pada dipasangnya skat bagi pengikut/pemeluknya. Hal itu dimaksudkan guna menjaga kehormatan, eksistensi, serta absoluttisme ajaran dalam agama. Bukan berarti tokoh agama yang bersangkutan antipasti terhadap emansipasi, HAM, demokrasi dan sebagainya, tapi lebih pada penilaian ada unsure “kebablasan”.

D.      Tawaran solusi
Paradigma lama tentang perempuan yang cenderung tersubordinasi kaum pria dan  hanya sebagai pelengkap kehidupan sebelum Islam justru sangat suram, dan Islam mengangkat derajat dan posisi perempuan menjadi labih terhormat dan mensejajarkan dengan pria. Jadi pada dasarnya emansipasi wanita bukanlah perihal baru, dan tidak bertentangan dengan Islam, karna Islam telah memposisikannya secara proporsional. Perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga berperan penting dan memegang kunci dalam keharmonisan rumah tangga, pendidikan karakkter anak, yang akan berpengaruh pada masyarakat, dan bangsa/negara.
Masalah perbedaan pria-wanita tidak selamanya dipaksakan untuk disejajarkan, justru perbedaan itu adalah sebuah pelengkap yang saling melengkapi dan mengisi kekurangan satu sama lain dalam mencapai tujuan hidaup, dan bukan menjadi perdebatan sengit. Selayaknya impowering women digalakkan dan dimulai sejak dini. Sebenarnya di Negara kita  Pemberdayaan  kaum perempuan sudah dimulai sejak dulu, namun akhir-akhir ini gaungnya kian memudar, missal kegiatan PKK ibu-ibu di desa. Kegiatan tersebut mempunyai peranan penting dalam memberdayakan kaum ibu di semua tingkat status social. Jika sekarang ditingkatkan kembali dan muatan misinya diperjelas dengan materi-materi tentang parenting bagi ibu muda dan usia pra nikah sungguh akan membawa dampak positif yang sangat besar. Masih banyak lagi kelompok/organisasi kewanitaan yang ada di negeri ini, mari bersama-sama mencoba mengembalikan karakter bangsa dan membendung arus modernisasi yang tidak sesuai dan dapat merusaka karakter, budaya dan bahkan falsafah bangsa Indonesia.
Terlepas dari asumsi adanya misi negative dari pegiat-pegiat bias gender yang banyak didanai dari luar negeri, alangkah baiknya bila visi misinya direview dan perlu interpretasi ulang dengan penyesuaian  budaya adat istiadat serta hukum yang berlaku serta kekhasan bangsa Indonesia dengan kebhinekaannya sehingga dapat merubah suatu budaya tanpa bergesekan dengan budaya itu. Luruskan kembali visi misi study tentang gender, dan fokuskan pada pemberdayaan perempuan Indonesia dalam berbagai bidang ketrampilan, memberikan pencerahan pemahaman akan hak dan kewajiban, serta pengetahuan akan payung hukum yang menjamin dan melindungi kaum wanita, tanpa harus berbenturan disana-sini.
Penanaman karakter dan pemahaman serta pengetahuan tentang kewanitaan sejak dini adalah keharusan yang menjadi tanggungjawab orang tua untuk melangsungkannya dari kecil hingga dewasa. Kealphaan akan hal tersebut dapat membawa ekses negative dalam kehidupannya kelak terutama dalam rumah tangga, karena berumahtangga dan menjadi ibu bagi kaum wanita adalah sebuah keniscayaan kodrati yang tidak dapat dihindari.
Masa pubertas adalah masa transisi yang sangat rawan, masa dimana ABG sedang mulai mencari dan memposisikan eksistensi diri di kalangan teman sebaya dan mencari jati diri. Rasa keingintahuannya akan berbagai hal sedang menanjak signifikan yang bahkan tak terbendung. Penalarannya menempatkan logika pada posisi teratas, yang dapat menembus dinding pembatas ketabuan. Maka di sinilah peranan keluarga terutama sosok seorang Ibu sangat  diperlukan untuk membentuk karakter, paradigma bahkan penanaman dogma dan norma sangat menentukan dengan didukung oleh anggota keluarga dengan memberikan ruang-waktu bersama mereka, masyarakat, pendidikan, dan tak kalah pentingnya mengonrol pergaulan teman sebaya, dan sebisa mungkin menempatkan putra-putri kita dilingkungan yang aman dan kondusif dari unsure-unsur negative. Jangan lupa, sebagai orang yang beriman, factor do’a kepada Tuhan merupak factor “x” yang jelas ada. Semoga putra-putri kita menjadi generasi yang lebih baik, yang akan bertanggungjawab atas bangsa dan Negara ini dan membawa kearah yang jauh lebih baik lagi. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar