MEMBEKALI ABG KITA
Oleh : Saebani Himawan
A. Tanggapan atas beberapa tulisan sebelumnya
Saya kurang tahu siapa yang memulai
menuangkan pikiran dalam bulan ini seputar cinta, istri, ibu rumah tangga dan
juga dalam perspektif bias gender. Tiga kali menyimak perbincangan pada edisi
7,13,14 Maret 2012 dalam kolom wacana dan perempuan yang masih perpolemik
tentang masalah tersebut dengan berbagai perpsektif masing-masing.
Saya sependapat dengan Siti
Muyassarotul Hafidzoh (SM 7-3-2012) yang menanggapi tulisan Lintang Ratri
tentang makna cinta yang sarat dengan nuansa filosofis-religius, dan peranan perempuan kehidupan dan rumah
tangga dalam posisi yang urgen, serta ajakannya untuk dapat memposisikan diri
dan memberdayakan diri sehingga tidak ada image kurang baik terhadap eksistensi
perempuan itu sendiri.
Ungkapan pendapat dari Linda Nur
Ramly (SM 13-3-2012) tentang kesetaraan gender dan pengertiannya dengan
mengusung issue ketidak-adilan antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai
hal serta batasan-batasan yang dikemukakan dengan penalaran dan batasan
qodrati, telah memperluas wawasan kita dalam memahami urgensitas perempuan dan
martabatnya yang memiliki posisi vital.
Lain halnya dengan Widi Astuti (SM
14-3-2012) yang bangga menjadi ibu professional, sosok istri yang seperti
inilah (menurut saya) yang banyak didambakan oleh kaum Adam dalam mengarungi
bahtera rumah tangga guna membentuk mahligai bahagia rumah tangga dunia-akherat
yang akan banyak membawa perubahan besar bagi masyarakat dan bangsanya.
Kesadaran akan tugas qodratinya dan
tanggungjawabnya serta perannya dalam keluarga, social masyarakat bahkan
bangsa, sikap inilah yang tidak banyak dimiliki oleh ibu-ibu muda kita saat
ini, sehingga penanaman karakter, nilai dan sikap positi-negatif pada anak-anak
menjadi kabur dan bahkan hilang, dan sekarang para pakar ramai-ramai berbicara
tentang karakter bangsa yang hilang.
B. Realita perempuan sekarang
Buta pengetahuan tentang rumah tangga
Benar memang (menurutnya) bahwa
tidak ada kurikulum pendidikan tentang parenting/kerumahtanggaan di semua
jenjang pendidikan formal. Bahkan dalam keluarga sekalipun sekarang banyak ibu
yang tidak atau belum sempat mengajarkan hal itu pada putrinya karna berbagai
hal, hingga akhirnya prosentase data cerai lebih banyak daripada data nikah
pertahunnya.
Remaja putri sekarang banyak
disibukkan dengan kegiatan sekolah, les, privat, tugas yang notabenenya
mengejar sisi intelektualitas. Tugas anak sekolah memang belajar, namun hal-hal
penting yang terkait dengan sisi emosional dan spirit dan bahkan sisi
religiusnya tidak kalah pentingnya untuk dipersiapkan sejak dini juga. Dua
factor ini yang sering terlalaikan oleh orang tua dan hanya sekedar mengejar
nilai akademis yang tinggi dengan berbagai daya dan upaya, hingga bahkan ada
remaja putri yang alergi dengan kata “dapur” dan Jauh dari nilai luhur seorang wanita.
Ada ungakapan berbahasa Jawa yang
sarat dengan makna dalam memandang remaja putri akhir akhir ini, yaitu “bocah manak bocah” (anak-anak melahikan
anak). Kata sederhana mengandung selaksa makna.
“Salah pergaulan” bukan satu-satunya ungkapan penutup rumor tentang hal itu.
Berbagai aspek telah ambil bagian dalam suksesi bocah manak bocah, misal: orang tua, pendidikan di sekolah,
masyarakat, teman/komunitas, teknologi atau bahkan Negara.
Faktanya banyak Pengadilan Agama
yang memberikan dispensasi bagi pasangan dibawah umur karena berbagai
pertimbangan. Dinas kependudukan dan catatan sipil juga dapat memberikan akta
kelahiran tanpa ayah. Dan yang lebih mengejutkan adalah hasil dari beberapa
penelitian di berbagai kota yang menyatakanan sekian persen remaja putri sudah
tidak perawan lagi, Serta banyaknya kasus aborsi di kalangan mahasiswi. Belum
lagi jika dikaitkan dengan makin merebaknya kasus HIV di berbagai daerah.
Yang lebih parah lagi menurunya dan
bahkan hilangnya rasa malu dan kesadaran tanggungjawab remaja saat ini sehingga
hal yang selama ini dianggap tabu justru direkam dan dipublikasikan. Selain itu
sikap remaja putri yang hampir sudah tidak menghargai nilai virginitasnya
sendiri, dengan “menerima, merelakan dan meninggalkan” kekasihnya atas nama
cinta/sudah tidak cinta, tanpa memperdulikan ‘kisah” yang telah dijalani dengan
mudahnya. Belum lagi fenomena “cinta tak cukup satu/ gak zaman punya pacar
satu” bagi ABG sekarang.
C. Bias Gender
Perbincangan tentang Persamaan hak
dan kewajiban antara pria dan wanita dalam bias gender mestinya bukanlah
semata-mata suatu media untuk menggugat seluruh budaya patriarki yang nampak mendeskreditkan
posisi perempuan. Secara umum memang ada beberapa titik bahasan yang memang
perlu mendapat gugatan guna emansipasi wanita. Namun terkadang LSM/Lembaga yang
berkecimpung dalam bahasan tentang kesetaraan tersebut membuka wacana yang
memungkinkan terjadinya mindset “kebablasan” yang bahkan meyerang lini absolute
religius, sehingga menjadikan polemic dahsyat yang melibatkan berbagai
kalangan.
Menggugat hukum agama dalam Islam,
misalnya hukum waris. Bahkan ada pemikiran yang lebih ekstrim lagi, missal
tentang polyandry. Itu semua diusung atas nama emansipasi dan bahkan HAM. Dan
masih banyak lagi hal-hal yang sering kita dengar yang kadang membuat sebagian
masyarakat tidak nyaman. Hal semacam itu bisa dikhawatirkan dapat meracuni pola
pikir anak/orang yang belum mampu untuk memahaminya, dan tidak menutup
kemungkinan menjadikan adanya gesekan horizontal. Namun hal ini akan berbeda
jika berada dalam koridor kebebasan mimbar akademik.
Ada beberapa kajian lintas agama
yang merasa gerah dan terusik dengan diusungnya tema-tema dalam kesetaraan
gender, HAM dan demokrasi yang berujung pada dipasangnya skat bagi
pengikut/pemeluknya. Hal itu dimaksudkan guna menjaga kehormatan, eksistensi,
serta absoluttisme ajaran dalam agama. Bukan berarti tokoh agama yang
bersangkutan antipasti terhadap emansipasi, HAM, demokrasi dan sebagainya, tapi
lebih pada penilaian ada unsure “kebablasan”.
D. Tawaran solusi
Paradigma lama tentang perempuan
yang cenderung tersubordinasi kaum pria dan
hanya sebagai pelengkap kehidupan sebelum Islam justru sangat suram, dan
Islam mengangkat derajat dan posisi perempuan menjadi labih terhormat dan mensejajarkan
dengan pria. Jadi pada dasarnya emansipasi wanita bukanlah perihal baru, dan
tidak bertentangan dengan Islam, karna Islam telah memposisikannya secara
proporsional. Perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu rumah tangga berperan
penting dan memegang kunci dalam keharmonisan rumah tangga, pendidikan
karakkter anak, yang akan berpengaruh pada masyarakat, dan bangsa/negara.
Masalah perbedaan pria-wanita tidak
selamanya dipaksakan untuk disejajarkan, justru perbedaan itu adalah sebuah
pelengkap yang saling melengkapi dan mengisi kekurangan satu sama lain dalam
mencapai tujuan hidaup, dan bukan menjadi perdebatan sengit. Selayaknya
impowering women digalakkan dan dimulai sejak dini. Sebenarnya di Negara
kita Pemberdayaan kaum perempuan sudah dimulai sejak dulu, namun
akhir-akhir ini gaungnya kian memudar, missal kegiatan PKK ibu-ibu di desa.
Kegiatan tersebut mempunyai peranan penting dalam memberdayakan kaum ibu di
semua tingkat status social. Jika sekarang ditingkatkan kembali dan muatan
misinya diperjelas dengan materi-materi tentang parenting bagi ibu muda dan
usia pra nikah sungguh akan membawa dampak positif yang sangat besar. Masih
banyak lagi kelompok/organisasi kewanitaan yang ada di negeri ini, mari
bersama-sama mencoba mengembalikan karakter bangsa dan membendung arus modernisasi
yang tidak sesuai dan dapat merusaka karakter, budaya dan bahkan falsafah
bangsa Indonesia.
Terlepas dari asumsi adanya misi
negative dari pegiat-pegiat bias gender yang banyak didanai dari luar negeri,
alangkah baiknya bila visi misinya direview dan perlu interpretasi ulang dengan
penyesuaian budaya adat istiadat serta
hukum yang berlaku serta kekhasan bangsa Indonesia dengan kebhinekaannya sehingga
dapat merubah suatu budaya tanpa bergesekan dengan budaya itu. Luruskan kembali
visi misi study tentang gender, dan fokuskan pada pemberdayaan perempuan
Indonesia dalam berbagai bidang ketrampilan, memberikan pencerahan pemahaman
akan hak dan kewajiban, serta pengetahuan akan payung hukum yang menjamin dan
melindungi kaum wanita, tanpa harus berbenturan disana-sini.
Penanaman karakter dan pemahaman
serta pengetahuan tentang kewanitaan sejak dini adalah keharusan yang menjadi
tanggungjawab orang tua untuk melangsungkannya dari kecil hingga dewasa.
Kealphaan akan hal tersebut dapat membawa ekses negative dalam kehidupannya
kelak terutama dalam rumah tangga, karena berumahtangga dan menjadi ibu bagi
kaum wanita adalah sebuah keniscayaan kodrati yang tidak dapat dihindari.
Masa pubertas adalah masa transisi
yang sangat rawan, masa dimana ABG sedang mulai mencari dan memposisikan
eksistensi diri di kalangan teman sebaya dan mencari jati diri. Rasa
keingintahuannya akan berbagai hal sedang menanjak signifikan yang bahkan tak
terbendung. Penalarannya menempatkan logika pada posisi teratas, yang dapat
menembus dinding pembatas ketabuan. Maka di sinilah peranan keluarga terutama
sosok seorang Ibu sangat diperlukan
untuk membentuk karakter, paradigma bahkan penanaman dogma dan norma sangat
menentukan dengan didukung oleh anggota keluarga dengan memberikan ruang-waktu
bersama mereka, masyarakat, pendidikan, dan tak kalah pentingnya mengonrol
pergaulan teman sebaya, dan sebisa mungkin menempatkan putra-putri kita
dilingkungan yang aman dan kondusif dari unsure-unsur negative. Jangan lupa,
sebagai orang yang beriman, factor do’a kepada Tuhan merupak factor “x” yang
jelas ada. Semoga putra-putri kita menjadi generasi yang lebih baik, yang akan
bertanggungjawab atas bangsa dan Negara ini dan membawa kearah yang jauh lebih
baik lagi. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar