TASAWUF DAN
PERSPEKTIF MASYARAKAT
(Oleh : A. Saebani Himawan Al jawahiry)
A. BERKENALAN DENGAN TASAWUF
Tasawuf
adalah istilah yang sudah cukup lama dikenal tetapi kemudian diangkat kembali
menjadi topic yang baru, dan di sisi lain dianggap sebagai suatu bentuk
pengamalan baru dalam agama Islam sehingga sebagian kalangan menganggap tasawuf
sebagai suatu ajaran yang ditanyakakn kebenarannya bahkan dianggap bid’ah. Hal ini didasarkan pada pendapat
bahwa praktik tasawuf (dengan ritual khusus) yang tidak dilakukan oleh Nabi
Muhammad saw, namun banyak pula pemuja paham tersebut. Kata sufi baru dikenal
luas setelah abad 3 H. kata sufi pertama-tama dipakai oleh Sofyan Sauri (161
H), ada juga yang mengatakan, Hasan Bisri (110 H). Beberapa imam madzhab dan
syekh tariqat menggunakan kata ini ialah Ahmad bin Hambal (241 H) dan Abu
Sulaiman Darani (255 H)[1]
Secara Etimologi/lughotan kata taswuf ada yang berpendapat berasal dari kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Sophos”
yang artinya: hikmah. Al-Biruni mengemukakan pandangan yang menyatakan kata tasawuf berasal dari
akar Yunani, ‘sofia’ yang berarti kebijaksanaan. “orang-orang Yunani kerap
melihat bahwa tidak ada eksistensi yang hakiki kecuali sang causa prima saja.
Hal ini disebabkan karena Dia tidak butuh pada eksistensi yang lain, sebaliknya
semua eksistensi bergantung kepada-Nya. Inilah kebijaksanaan tertinggi.
Sehingga tidak salah apabila kita menyebut orang-orang yang begitu bersemangat
menggeluti hikmah dengan filosof, pecinta hikmah”[2].Tidak benar pula pendapat kata sufi berasal
dari kata sophos (bahasa Yunani) karena sophos telah masuk
dalam kata Arab falsafah, dan falsafah
ditulis dengan huruf sin dan bukan dengan huruf shad, yang terdapat dalam kata shufi
dan tashawwuf[3].
Pendapat
lain mengatakan bahwa “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah
(Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid
Rasulullah saw, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa
orang sahabat Muhajirin yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat
tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah saw. mengizinkan mereka tinggal
sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan
penghidupan yang cukup[4].
Riwayat lain, mereka meilih hidup sebagai faqir
dan sangat setia kepada masjid, sehingga (dalam literatur kesufian) sering
diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para sahabat, tapi pendapat
ini masih diragukakn[5]
oleh karena apabila hal tersebut benar
demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf fa’
yang bertasydid/didobel).
Tasawuf
juga sering dikatakan dinisbatkan kepada “Ash Shaff” (barisan) yang
terdepan di hadapan Allah swt, Al-Qusyairi[6]
menyebutkan, diantara para peneliti ada yang menyatakan berasal dari kata shaff dalam shalat. Dinamakan demikian
karena mereka di hadapan Allah selalu berada di barisan terdepan dalam
kebaikan, seperti orang-orang shalat yang berada di shaf paling awal. pendapat ini pun kurang memiliki akurasi yang
benar, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi”
(dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’”
yang bertasydid/didobel.
Tasawus
ada juga yang menisbatkan kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih)
dari semua makhluk Allah swt, dan pendapat ini pun masih dipertanyakkan
keabsahannya karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”[7].
Mungkin juga dari perkataan sufah
yang dipergunakan untuk nama surat ijazah orang naik haji[8].
Banyak ulama sependapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata kerja safa
yang berarti bersih dan suci. Seorang orientalis peminat kajian tasawuf, Nicholson
berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari ‘shafa’ yang berarti ‘murni’.
Dinamakan demikian karena mengacu pada kemurnian hati dan keikhlasan para sufi
dalam mendekati Tuhannya. Pendapat Nicholson ini dikuatkan oleh pernyataan
Basyar bin Harits; ‘Para sufi adalah mereka yang memurnikan hatinya kepada
Allah’.
Ada
juga yang mengatakan bersumber dari ibnu
sauf yang sudah terkenal sebelum Islam sebagai gelar bagi anak shaleh yang
bertapa[9]
dan mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekatkan diri kepada Tuhan yang
bernama Ghaus bin Murr[10].
Beberapa tokoh juga yang menisbatkan kepada (seorang yang bernama) Shufah bin
Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman
dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang
kemudian orang-orang yang ahli nusuk
(ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah
meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini
tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan
kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka
mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan
tabi’it tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama
shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan
kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya
dalam Islam.
Selain pandangan yang tersebut diatas, ada beberapa
kalangan yang mengatakan bahwa asal kata sufi ialah ‘sufanah’, sejenis tumbuhan merambat yang lazim tumbuh di padang
pasir. Sufanah adalah tumbuhan sebagai simbolisasi dari kezuhudan hidup di
dunia, karena para sufi tidak mau menikmati makanan yang lezat dan hanya
menyantap tumbuhan tersebut[11]. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata
ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol)
sejenis pakaian kasar yang menjadi ciri
utama kalangan asketik[12]
masa awal dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu
diidentikkan dengan sifat zuhud (yang cenderung pada kesederhanaan simbolik
daripada kemewahan dan materi yang berlebihan)[13].
Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk
bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih as[14]. Ada yang mengatakan –dan pendapat
inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol).” (Majmu’ul Fatawa 11/5-6)[15].
Secara
Terminologi/ishthilahan, Istilah
“sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di
kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan
dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam
beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa
melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang
selalu ditampakkan oleh orang-orang yang dianggap sebagai penghayat tasawuf,
berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan
bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah
keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar
telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah swt.
Tasawuf
juga dapat dikatakan sebagai paham di kalangan pemeluk yang berusaha
membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dalam rangka mendekati Allah swt.
Dan secara umum tasawuf dapat dikatakan sebagai gerakan kerohanian berdasarkan
agama Islam yang berusaha memahami Allah dan mendekatinya dengan segala daya dan kekuatan dengan model perilaku yang
khas[16].
Perbedaan
pendapat tentang asal-usul kata tasawuf sangat komplek, tetapi intinya kata
tasawuf digunakan sebagai julukan bagi orang yang melakukan suatu ibadah
tertentu, dengan istilah sufi. Sufi adalah ahli ilmu tasawuf/ ahli ilmu suluk[17].
Sufi dikenal dengan beberapa nama diantaranya darwisy, urafa (ilmunya disebut ‘irfan), dan ahli suluk (Jawa-Madura).
Pada hakekatnya
tasawuf itu dapat kita artikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan
kesempurnaan rohani[18].
Menurut Hamka, Para sufi sendiri sering tidak
memperdulikan asal kata tasawuf dan sufi. Mereka memberi arti terhadap kegiatan
kebatinan Islam menurut paham mereka. Abu Ali Al-Ruzbari, misalnya, memberi
makna bahwa seorang sufi memakai kain suf (wol) untuk membersihkan jiwa, memberi
makan hawa nafsunya dengan kepahitan, meletakkan dunia di bawah tempat duduk,
dan berjalan (suluk) menurut contoh Rasul saw[19].
Bahkan Buya Hamka menuliskan dalam bukunya tasawuf modern, tasawuf
pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan
membersihkan bathin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari
kemungkinan-kemungkinan seseorang terpleset ke dalam lumpur keburukan budi dan
kekotoran bathin yang intinya, antara lain dengan berzuhud seperti teladan
hidup yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW lewat As-sunnah yang shahih[20].
Ibnu
Khaldun dalam kitab Muqoddimah-nya
menyatakan bahwa tasawuf adalah salah satu dari beberapa ilmu keislaman yang
lahir kemudian, yang sebelumnya berakar dari parktik zuhud Nabi yang ditiru
para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in dan orang-orang sesudah mereka
sebagai jalan menuju kebenaran dan hidayah. Pendekatan sufi didasarkan pada
pelaksanaan ibadah yang bersifat tetap, kesetiaan yang penuh kepada Allah swt,
enggan pada gemerlapnya dunia yang semu, pantang terhadap kesenangan, harta,
kedudukan, dan berkhalwat untuk
beribadah[21].
Tengku
Zulkarnain, merangkai dan meramu definisi tasawuf dari berbagai sumber sehingga
membentuk pengertian yang mudah dipahami dan komperhensif sebagai berikut ;
“Tasawuf
ialah hendaknya engkau bersama Allah swt tanpa ikatan (sehingga engkau dapat)
membersihkan hati dan singkron dengan manusia, meninggalkan akhlak-akhlak
tabiat, memadamkan sifat-sifat kemanusiaan, mendekatkan diri kepada
dorongan-dorongan kejiwaan, turun ke sifat-sifat spiritual, dan menyatu kepada
ilmu-ilmu hakekat, (sehingga engkau menjadi) orang yang tidak ada sesuatu
apapun yang tersembunyi di hatinya, (dan hatinya bercahaya bagaikan) kilat yang
menembus (ma’rifatullah)[22].”
Dari banyak
definisi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf dalam konteks manusia, lebih
menekankan aspek rohani daripada aspek jasmani. Dalam konteks kehidupan, lebih
menekankan akherat daripada dunia. Dalam konteks pemahaman keagamaan, lebih
menekankan aspek esoteric daripada eksoterik. Dalam konteks penafsiran, lebih
menekankan penafsiran batin daripada penafsiran lahir. Singkat kata lebih
menekankan aspek spiritualitas dalalm berbagai hal. Ini dikarenakan ahli
tasawuf mengutamakan jiwa daripada jasad, bagi mereka dunia spiritual lebih
hakiki dan riil[23].
Ada yang perlu digarisbawahi dari pembahasan mengenai asal kata dari
tasawuf. Sampai saat ini bisa dikatakan masih belum ada satu definisi mengenai
makna tasawuf secara jami’mani’. Hal ini semata-mata disebabkan bahwa
cakupan makna tasawuf sendiri yang membawahi keseluruhan ilmu dalam tradisi
Islam. Pun juga dengan kenyataan sulitnya mengenali hal dan maqam para sufi yang meliputi
keseluruhan sifat-sifat terpuji yang dianjurkan agama. Berbicara masalah sufi / tasawuf adalah berbicara masalah intuisi[24], yang terkonsentrasi dalam hati sehingga merupakan suatu hal sulit
untuk membawanya ke ranah rasional. Para sufi kerap berbicara mengenai keadaan
hatinya, sementara tidak semua perasaan dalam hati dapat diungkapkan lewat bahasa / kata-kata. Sejauh yang dapat kita
ketahui, ialah sebatas
upaya pendekatan makna dilihat dari karakteristik unik tasawuf yang membedakan
dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi, jumhur sepakat bahwa kata ini terkait
dengan akar shafa yang berarti suci, yang pada gilirannya akan
bermuara pada ajaran Al Qur’an tentang penyucian hati, yang berbunyi;
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
Artinya :
7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya.
B. MENGAPA BERISLAM BUTUH TASAWUF ?
Menurut Imam Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, bahwa ilmu tasawuf itu ialah tuntunan yang dapat
menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, dan
tujuannya adalah membawa manusia itu setingkat demi setingkat kepada Tuhannya[25].
Oleh karena itu Imam Ghazali merumuskan tingkatan-tingkatan tersebut sebanyak
empat puluh tingkatan, dua puluh tingkatan di dunia dan dua puluh lagi di
akherat. Keempat puluh tingkatan tersebut adalah sebagai berikut;
1.
Manusia itu selalu menyebut dan mengingat
Tuhannya
2.
Selalu bersyukur dan membesarkan Tuhannya
3.
Selalu mencintai Tuhannya dan dicintai oleh
sesame manusia
4.
Selalu menjadikan Tuhan wakilnya dalam segala
pekerjaan
5.
Memperoleh ketentraman dalam mencari rezeki
karena dijamin oleh Tuhannya
6.
Memperoleh pertolongan dari Tuhannya terhadap
gannguan dan musuh
7.
Hatinya tentram dalam segala hal dan keadaan,
tidak cemas dan takut
8.
Memperoleh kemuliaan di dunia dan tidak
mengharapkan dimuliakan oleh manusia
9.
Tinggi himmahnya
dan terpelihara daripada kecemaran
10.
Mulia dan lapang hati
11.
Memperoleh petunjuk yang terang, sehingga mudah
memperoleh ilmu pengetahuan dan hikmah
12.
Terjauh dari kesusahan dan kerusuhan dunia
13.
Membawa manusia kepada kehebatan yang dikagumi
orang
14.
Dicintai oleh sesame manusia dan Tuhannya
15.
Memperoleh berkah perkataanya, pribadinya,
pakaiannya, tempatnya
16.
Memeperoleh makrifat di bumi dan di laut
17.
Hilang ketakutan terhadap binatang buas
18.
Memperoleh kekuasaan, seakan-akan memegang kunci
perbendaharaan bumi
19.
Dapat menyampaikan segala hajat makhluk Tuhan
yang lain dengan kemegahan kepada Tuhan
20.
Mudah terkabul doanya oleh Tuhan
21.
Mudah dan tidak takut menghadapi mati/sakaratul maut
22.
Tetap hatinya pada makrifat dan iman yang menghilangkan ketakutan,
kecemasan teriak dan tangis
23.
Mendapat anugrah kesenangan dan bau-baun (ruhun wa raihanun) serta nikmat yang
berlimpah dalam kuburnya dan hari kiamat
24.
Kekal di dalam surga dan selalu berhampiran
dengan Tuhannya
25.
Jenazahnya dihormati manusia dan malaikat
26.
Terbebas dari pertanyaan Munkar dan Nakir dalam kuburnya dan terbebas dari kesusahan
kubur
27.
Kubur menjadi lapang dan terang
28.
Rohnya tenang dalam kesukaan , kesenangan dan
kemuliaan
29.
Berkumpul
di padang mahsyar memperoleh keistimewaan dan keagungan
30.
Bermuka putih dan bercahaya , melihat kepada
Tuhannya dengan senyum yang menggembirakan
31.
Sentosa dan sejahtera dari kesusahan dan siksa
hari kiamat
32.
Memperoleh keringan hisab, bahkan tidak dihisab
sama sekali
33.
Menerima kitab catatannya dengan tangan kanan
34.
Amal kebaikannya memberatkan timbangannya
35.
Diberi kesempatan minum dalam haudh (telaga) minuman para nabi
36.
Selamat melewati shirath al mustaqim
37.
Mendapat syafaat Nabi
38.
Memperoleh kedudukan abadi di surge
39.
Mendapat Ridla Tuhan yang tidak terhingga
besarnya
40.
Berjumpa dengan Tuhan[26].
Sejalan dengan itu, Syeikh Abdus Samad Pelembang
mengungkapkan dalam kitab Sirus Salikin
bahwa tujuan terakhir dari ilmu tasawuf adalah memberi kebahagian kepada
manusia, baik di dunia maupun di akherat, dengan pucaknya menemui dan melihat
Tuhannya[27].
Menurut M. Amin Syukur, Tasawuf memiliki tujuan
memperoleh hubungan langsung dan secara sadara dengan Tuhan, sehingga akan
disadari benar bahwa seseorang berada dihadlirat Tuhan. Intisari tasawuf adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.
Menurut HAMKA
dalam buku Tasawuf Modern, Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam yang
bertujuan zuhud dari dunia yang fana, tetapi lantaran banyak bercampur dengan
negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari
bangsa lain ke dalamnya[28].
Di kalangan
Nahdlatul Ulama (NU) - Jamiyyah Ahli Thariqah Al Mu'tabarah An Nadhliyyah
(JATMAN) Tujuan tharikat adalah mempelajari kesalahan-kesalahan pribadi, baik
dalam melakukan amal ibadah (hablu
minallah) atau dalam bergaul sesama manusia (hablu minanas) dan memperbaikinya. Pekerjaannya dilakukan oleh mursyid (guru spiritual) yang
pengetahuannya lebih baik dari pada muridnya.
Menurut
anggaran dasar Jam'iyah ahli thariqat tujuannya thariqat adalah sebagai berikut
:
1.
Mengusahakan berlakunya syariat Islam lahir dan
bathin dengan berhaluan ahlus sunah wal
jamaah yang berpegang pada mazhab empat.
2.
Mempergiat dan meningkatkan amal shalih lahir
dan bathin menurut ajaran ulama sholihin dengan baiat shalihah.
3.
Mengadakan pengajian khusus khususi dan tawajjuhan
(dzikrullah).
Kesimpulannya bahwa tujuan tasawuf adalah pemurnian
jiwa guna mendapat pengetahuan yang benar dan pencerahan hati dan merasa dekat
dengan Tuhan yang akan termanifestokan dalam realitas kehidupan dunia dengan
akhlak karimah guna mencapai kebahagian dunia dan akherat dengan ridlo Allah
swt. Terlepas dari apa yang telah diuraikkan di atas bahwa sikap perilaku batin
yang ikhlas, pasrah kepada Sang Pencipta sebagai hasil akhir dalam bertasawuf
belum tergambar bagaimana cara / proses perubahan perilaku batin secara jelas.
C. POKOK-POKOK DALAM TASAWUF
Al Qur’an banyak
menegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan
mengarah kepada pribadi. Namun demikian, Islam adalah agama pertengahan / wasathan, yang artinya Islam juga
menekankan pentingnya keseimbangan. Wasath diantara dua kubu agama (Yahudi dan
Nashrani), di mana Yahudi dengan Taurat lebih bercorak legalistic dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan.
Sedangkan Nashrani dengan Injil lebih pada spiritualistic
dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman ruhani, serta
membuat agama itu lembut. Dan Islam dengan Al Qur’an menengahi dan meliputi
keduanya, demikian menurut Ibn Taimiyah[29].
Menurut Tengku
Zulkarnain, sasaran ajaran tasawuf adalah berkenaan dengan akhlak dan budi
pekerti yang baik berdasarkan kasih cinta kepada Tuhan[30].
Berangkat dari hadits yang masyhur tentang Ihsan yang bisa dikatakan sebagai
pintu awal untuk memasuki dunia tasawuf, dimana ihsan sasarannya akhlak, budi
pekerti, kebatinan yang bersih, bagaimana menghadap Tuhan, bagaimamna muroqobah dengan Tuhan, bagaimana
membersihkan hati dari kotoran/penyakit hati, bagaimana ber-takhalli, tachalli dan tajalli[31].
Karena itulah
ajaran tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka
wujudkan adalah yang merupakan “imitasi” akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda nabi
Muhammad saw yang dipegang teguh oleh kalangan sufi, yaitu ; “berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah”[32].
Menurut Imam
Qusyairi dalam risalah Qusyairiyah, ajaran tasawuf diantaranya adalah sebagai
berikut;
1.
Taubat (menyesali atas kesalahan-kesalahan)
2.
Mujahadah (bersungguh-sunggub beribadat)
3.
Khalwat dan Uzlah (bersunyi-sunyi dalam
melaksanakan ibadah)
4.
Taqwa (taqwa kepada Allah)
5.
Wara’ (menjauhkan diri dari maksiat dan syubhat)
6.
Zuhud (anti keduniaan yang berlebih-lebihan)
7.
Shamat (pendiam)
8.
Khauf (takut kepada siksa Allah)
9.
Raja’ (mengharap rahmat Allah)
10.
Hazan (membiasakan berduka cita)
11.
Ju’ wa tarkus syahwat (lapar dan menahan
syahwat)
12.
Khusyu’ dan tawdlu’ tenang hati dan rendah hati)
13.
Mukhalafatun nafsi (melawan hawa nafsu)
14.
Qona’ah (mencukupkan yang ada)
15.
Tawakkal (tawakal kepada Allah)
16.
Syukur (berterimakasih kepada Allah)
17.
Yaqin (keyakinan yang teguh)
18.
Sabar (tahan menderita)
19.
Muraqabah (berharap-harap dengan Allah)
20.
Ridha (senang hati menerima segala yang ada)
21.
Ubudiyah (mengabdi kepada Allah)
22.
Iradah (kemauan)
23.
Istiqamah (tetap)
24.
Ikhlas (ikhlas karena Allah)
25.
Shiddiq (benar)
26.
Haya’ (malu)
27.
Dzikir (mengingat Allah)
28.
Al futuwah (mempersiapkan diri untuk berkorban)
29.
Firasah (firasat)
30.
Khulq (akhlak yang baik)
31.
Jud was sakha (pemurah dan tidak kikir)
32.
Gairah (cemburu)
33.
Wilayah (kewalian)
34.
Do’a (mohon kepada Allah)
35.
Fiqr (kemiskinan)[33]
D. DASAR/DALIL PERILAKU TASAWUF
Banyak ayat AL
Quran maupun Hadits yang dijadikan dasar dan kajian-kajian tasawuf, Ayat ayat
yang dijadikan isyarat adanya pintu tasawuf diantaranya seperti ayat :
#sÎ)ur y7s9r'y Ï$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=Ìs% ( Ü=Å_é& nouqôãy Æí#¤$!$# #sÎ) Èb$tãy ( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 crßä©öt ÇÊÑÏÈ
dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs.Al Baqoroh; 186)
Kata da’watad da’i dalam ayat ini, bagi kaum
sufi bukanlah berarti doa orang yang meminta, sebagaimana biasa diartikan,
tetapi panggilan orang yang memanggil atau himbauan orang yang menghimbau[34].
Allah swt akan mendekatkan diri orang yang menghimbau kepada diriNya, kalau Ia
dihimbau.
Hadist
Nabi ﻤﻦ ﻋﺭﻒ ﻨﻓﺴﻪ
ﻓﻗﺪ ﻋﺭﻒ ﺭﺑﻪ “siapa
yang kenal dirinya, maka sungguh kenal akan Tuhannya” juga menggambarkan
kedekatan tersebut. Pernyataan ini jelas memberikan “sinyal” tentang kedekatan
jarak anatara Tuhan dengan manusia. Dan jarak itu hampir mendekati limit[35].
Allah swt sendiri dalam sebuah ayat yang penuh teka-teki menyatakan bahwa Aku lebih
dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di leher manusia itu
sendiri.
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya,(Qs. Qof : 16)
Selain itu
ada juga hadits “Hambaku senantiasa
mendekatkan diri kepadaKu dengan perbuatan-perbuatan baik hingga Aku cinta
padanya, dan orang yang Kucintai Aku menjadi telinga, mata dan tangan baginya”.
Hadits
Qudsi : HambaKu tidak henti-hentinya
mendekatiKu dalam beribadah, hingga Aku menjadi kaki yang dengannya ia
berjalan, menjadi tangan yang dengannya ia memegang, dan menjadi mata yang
dengannya ia melihat[36].
Menurut
Abah Anom, Landasan Hukum ilmu tasawuf
antara lain dari sebuah hadits : ﺇﻦ ﻟﻟﻗﺭﺁﻦ ﻆﺎﻫﺭﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ “Sesungguhnya
petunjuk Al Qur’an itu meliputi lahir dan batin” At Tusi
menjelaskan dalam kitabnya Al Huma’ bahwa landasan dalam Al Qur’an adalah surat luqman
ayat 20[37],
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3 z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ãAÏ»pgä Îû «!$# ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ wur Wèd wur 5=»tGÏ. 9ÏZB ÇËÉÈ
tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah
telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk
dan tanpa kitab yang memberi penerangan.
dan An Nisa ayat 83.
#sÎ)ur öNèduä!%y` ÖøBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnru n<Î) ÉAqß§9$# #n<Î)ur Í<'ré& ÌøBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 wöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sÜø¤±9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÌÈ
dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[38]
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[39].
kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Tuhan yang
ditakuti akan dirasakan jauh, tetapi yang dicintai dirasakan dekat. Antara
Allah swt dan hambaNya terdapat hubungan cinta-mencintai sebagaimana disebut
dalam ayat ;
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?öt öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZÏ t$öq|¡sù ÎAù't ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!Ïr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$# crßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# wur tbqèù$ss sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºs ã@ôÒsù «!$# ÏmÏ?÷sã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇÎÍÈ
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha
mengetahui.
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósã ª!$# öÏÿøótur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRè 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka.
wÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#rãx.sur ©!$# #ZÏVx. (#rã|ÁtFR$#ur .`ÏB Ï÷èt/ $tB (#qßJÎ=àß 3 ÞOn=÷èuyur tûïÏ%©!$# (#þqßJn=sß £r& 5=n=s)ZãB tbqç7Î=s)Zt
kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang
beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat
kemenangan sesudah menderita kezaliman. dan orang-orang yang zalim itu kelak
akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
þÎTrãä.ø$$sù öNä.öä.ør& (#rãà6ô©$#ur Í< wur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ
karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya
aku ingat (pula) kepadamu[40],
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) ÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( cÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìs3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷èt $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ
bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu,
Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya
mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah[41].
Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.
Sebagian ulama
menjadikan ihsan sebagai dasar ilmu
tasawuf, yaitu aspek batin dari ajaran Islam, hadist nabi ;
“ihsan ; hendaknya engkau menyembah Allah
seolah-olah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatnya, maka
seseungguhnya Dia melihatmu”.
Muhammad Al
Aqqad mengambil kesimpulan bahwa surat Al Kahfi ayat 65-82 yang menceritakan
kisah pertemuan nabi Musa as. dan nabi Khidhir as. adalah sebagai sumber-sumber
tasawuf, dan masih banyak lagi ayat dan
hadits yang mengindikasikan/ menjadi pintu masuk dunia tasawuf.
Ayat-ayat lain :
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ft öNÍkön=tã ¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÏj.tãur ãNßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
$uZ/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ y7ÏG»t#uä ÞOßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkÏj.tãur 4 y7¨RÎ) |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang
Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat
Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah
(As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa
lagi Maha Bijaksana.
ö@è% ¾ÍnÉ»yd þÍ?Î6y (#þqãã÷r& n<Î) «!$# 4 4n?tã >ouÅÁt/ O$tRr& Ç`tBur ÓÍ_yèt6¨?$# ( z`»ysö6ßur «!$# !$tBur O$tRr& z`ÏB úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÊÉÑÈ
Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada
Termasuk orang-orang yang musyrik".
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Maksudnya liya’rifuni (agar dapat mengetahui Aku),
barang siapa tidak dapat mengetahuinya, maka bagaimana dia akan bisa beribadah
kepadanya? Maka makrifah itu sesungguhnya akan menghantarkan pada pembukaan
jiwa dari penutup yang menutupi hati, dengan membersihkan dan mensucikan hati,
maka akan dapat melihat keindahan.[42]
÷É9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# cqããôt Næh/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbrßÌã ¼çmygô_ur ( wur ß÷ès? x8$uZøtã öNåk÷]tã ßÌè? spoYÎ Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( wur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tRÌø.Ï yìt7¨?$#ur çm1uqyd c%x.ur ¼çnãøBr& $WÛãèù ÇËÑÈ
dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.ÉÎ/ «!$# 3 wr& Ìò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.
E. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
1. Kronologi
Ilmu
tasawuf tersusun, terkodifikasi dan terformulakan berkembang pada abad ke-2
Hijriyah, seiring dengan kemajuan Islam dan dalam berbagai khazanah keilmuan
dan peradaban yang selanjutnya banyak menimbulkan polemic dan perdebatan sengit
yang tidak kunjung usai yang telah mempetak-petakan ummat baik dalam bidang
ilmu kalam (aqidah), fiqh (madzhab), dan tasawuf (thariqat).
Kemunculan
tasawuf terbentuk dari renungan dan penelitian serta keprihatinan terhadap
keadaan ummat yang tenggelam dalam bidangnya masing-masing dan terjebak dalam
perdebatan yang tidak sehat, selain itu, nilai ibadah yang hanya sampai pada
aspek menggugurkan kewajiban syariat semata tanpa memiliki ruh dari tujuan
syariat itu sendiri, sehingga dirasa hampa/gersang, sebagaimana dikutip dari
HAMKA bahwa “syariat tanpa hakekat
menjadi bangkai tak bernyawa, hakekat tanpa syariat menjadi nyawa tak bertubuh”
[43].
Dalam
sejarahnya, tasawuf melewati fase-fase yang panjang yang bermula sejak zaman
Nabi Muhammad saw. Al-Qonuji menukil pendapatnya Imam al-Qusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan
sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu sendiri, namun orang yang hidup pada
generasi pertama bersama Nabi SAW tidak disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi
SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas dan mulia bagi mereka selain
sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi kedua yang di kenal dengan
nama tabi’in.
Di
dalam fase-fase tersebut terdapat perubahan-perubahan yang mendasar tentang
keyakinan dan amalan di dalamnya. Berikut penulis nukilkan dari Abdullah
Taslim:
“Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak
dikenal di zaman para sahabat bahkan
tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun
lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi
yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi
tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang
membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani
dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya
beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al
Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa
11/5).
Kemudian
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota
Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud
dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali
dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan
diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian
dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada
akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan
orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya
hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.” (Talbis Iblis hal 161). Dan
sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini
dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau yang mulia,
orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah swt[44].”
Lain
halnya dengan HAMKA, sebagaimana dikutip oleh Bani Sudardi, bahwa kata tasawuf
mulai terdengar di penghujung abad 2 H. yang pertama-tama mendapat gelar sufi
adalah Abu Hasyim dari Kufah (150 H/761 M) tokoh ini menjalankan kehidupan
rohani dengan cara hidup sangat sederhana
dan meninggalkan kemewahan duniawi[45].
Perkembangan selanjutnya, kaum syiah di Kufah pun ikut andil dalam pengembangan
tasawuf yang diketuai oleh Abdak As Sufi dan meninggal di Bagdad 825 M.
diantara tokoh Syiah yang terkenal adalah Jabir bin Hayan seorang ahli kimia[46].
Sedangkan di Irak yang terkenal adalah Hasan Al Basri ( 110 H) dan sebagaian
mengatakan Hasan Al Basri lah yang pertama,
dan Sufyan Al Tsauri (161 H) tapi lebih intens di bidang fiqih, dan
konon karena saking zuhudnya dia menolak tawaran khalifah untuk menjadi hakim.
Di Khurasan, Persia muncul Ibrahim bin Adham (162 H). di Madinah muncul Ja’far
al Sadiq (148 H) dari ahlil bait, imam ke enam dari Syiah dua belas[47].
2. Periode Pertama
(Abad 1-2 H), Masa Kemunculan
Perkembangan tasawwuf
dalam tradisi Islam dapat dikatakan berbarengan dengan
kemunculan Islam itu sendiri. Perilaku dan
kehidupan Nabi yang tak sedikitpun berkeinginan untuk menjadikan dunia sebagai
tujuan, kita dapat menemukan
akar tasawuf pada dirinya. Untuk membuka selubung penutupnya dari makrifat
kepada Tuhan, Nabi seringkali memperpanjang ibadahnya. Aisyah, isterinya yang
paling tersayang menuturkan bahwa Nabi kerap shalat hingga memar kakinya,
akibat terlalu lama[48]. Tak
jarang Nabi juga tidak menemukan sesuatupun untuk dimakan, yang membuatnya
mengganjal perutnya dengan batu. Sifat tidur Nabi beralaskan pelepah kurma
sehingga membuat punggungnya memerah[49].
Semua kesalehan dan
kebaikan Nabi, termasuk kepada musuh-musuhnya juga merupakan satu tauladan yang
layak diikuti oleh pengikutnya. Tradisi Nabi yang demikian saleh lantas
dilanjutkan oleh generasi sahabat[50]. Laku
tasawuf yang dijalankan para salaf al-salih ini berpondasikan hikmah-hikmah
Illahiyah yang tertera dalam Al-Quran dan Hadist. Saat itu masyarakat Islam
awal belum banyak bersentuhan dengan peradaban lain, sehingga kemungkinan
masuknya pengaruh asing terhadap diskursus tasawuf sangat kecil sekali.
Orang-orang generasi pertama mendapatkan ajaran pengendalian hawa nafsu,
pendekatan diri pada Tuhan, pendermaan/
menafkahkan harta demi kejayaan agama, itu semua mereka dapatkan dari Kitabullah,
Sunnah Nabi dan tradisi para sahabat.
Ali Sami Nasyr,
cendekiawan Mesir kontemporer membagi golongan pelaku tasawuf dalam periode ini
menjadi dua bagian, yaitu
golongan zahid dan sufi. Ia tak sendirian dalam tipologisasinya
ini. Sebelumnya, ulama klasik juga melakukan hal yang sama. Tercatat Ibnu Jauzi
dalam Talbis Iblis dan Ibnu Khaldun
dalam Muqaddimahnya juga membagi umat
Islam periode awal menjadi dua golongan.
a.
Golongan zahid, makna zahid yang
dimaksud adalah dinisbatkan kepada mereka yang beriman kepada Nabi yang
melakukan segala yang diperintah Nabi dan menjauhi larangannya. Terma zahid
pada era ini dapat disematkan kepada hampir mayoritas umat Islam (sahabat).
Meskipun tidak semua dari mereka terkenal dengan kesalehannya, namun mengingat
kedudukan mereka yang hidup bersama Nabi mendapat pujian berkali-kali dari
Allah. Seperti disitir dalam hadist yang sangat legendaris bahwa golongan yang
paling baik adalah mereka yang hidup di zaman Nabi (sahabat), kemudian
diikuti golongan sesudahnya (tabiin) dan sesudahnya (tabi al-tabiin)[51].
b.
Golongan kedua
(tasawuf) adalah mereka yang menempuh jalan dan metode-metode latihan khusus (riyadlah)
dalam rangka beribadah kepada Allah. Mereka juga memiliki pandangan yang
berbeda dengan masyarakat pada umumnya sehingga membuat mereka memilih menjauh
masyarakat, tidak tersibukkan dengan urusan dunaiwi, memutuskan untuk hidup
semata-mata untuk Allah. Mereka inilah yang merupakan cikal bakal tasawuf dalam
tradisi Islam.
Pendapat Ibnu Jauzi
diatas juga diamini Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa tasawuf selalu dimulai
dari zuhud[52], Lebih lanjut Ibnu Khaldun menambahkan bahwa di kalangan
ahli tasawuf mempunyai ilmu khusus yang membedakannya dengan golongan lain.
Sementara ahli fikih, hadist, dan tafsir mengembangkan keilmuannya
masing-masing maka golongan tasawuf memiliki keilmuan tentang mujahadah, pembersihan hati, pendekatan
diri kepada Tuhan, Cinta kepada Tuhan dan lain lain[53].
Meskipun, seperti
disinggung oleh Ibnu Khaldun di atas, pembagian kedua golongan tadi menggunakan
kalimat ‘tasawuf’, namun sebenarnya pada masa itu, kalimat tasawuf
belum dikenal oleh masyarakat. Mereka mempunyai “kalimat” tersendiri untuk menamakan beberapa golongan tertentu di
kalangan mereka, yaitu;
a. Sahabat, adalah
(secara umum) mereka yang beriman dan hidup bersama Nabi. Dan gelar ini merupakan gelar yang paling mulia karena
berasal dari Allah dan Rasul-Nya sendiri.
b. tabiin adalah bagi mereka yang
hidup setelah generasi ini (sahabat)
c. tabii al-tabiin adalah generasi
berikutnya (setelah tabi’in).
d. qurra adalah gelar yang disematkan bagi para ahli tafsir
dan Al-Quran.
e. Fakih adalah gelar bagi mereka para pakar hukum.
f.
zahid adalh gelar bagi orang-orang yang
menempuh jalan khusus untuk mendekati Tuhan.
3.
Periode Kedua (Abad 3-4 H), Masa Kematangan
Dr. Abu Wafa Tiftazani
mengatakan bahwa pada fase ini merupakan fase kematangan ilmu tasawuf. Para
tokoh-tokoh fenomenal tasawuf semisal Al-Muhasibi, Al-Junaid, Al-Hakim
Al-Tirmidzi dan Al-Hallaj hidup di masa ini.
Pada masa ini, pemahaman
terhadap makna tasawuf bisa dikatakan mulai tergabung antara aspek teoritis dan
praksis, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa para sufi sudah mulai
meninggalkan Al-Quran dan Hadist. Hanya saja pemahaman mereka terhadap
petuah-petuah Al-Quran mulai dikembangkan dengan ilmu-ilmu baru hasil
persinggungan mereka dengan budaya asing. Pada masa ini, para tokoh-tokoh sufi
mulai berani menyeru kepada khalayak ramai terkait pandangan-pandangan sufistik
mereka[54].
Pandangan itu kemudian dipadu dengan penekanan pada sisi ilmiah untuk melunakkan
keyakinan massa. Mereka mengajak untuk meninggalkan dunia karena tidak ada yang
abadi di dunia ini, karena akhirat merupakan rumah abadi. Mereka menganjurkan
untuk hidup zuhud karena dengan perilaku zuhud dapat mengurangi hawa nafsu yang
menjauhkan manusia dari Tuhannya.
Jaman ini juga dikenal
dengan jaman pertama sistematisasi teori-teori sufi dan penyusunan kitab-kitab
induk ilmu tasawwuf. Disamping juga berkembang pembahasan mengenai alam
metafisika, realitas transenden, dan bagaimana manusia yang imanen untuk memasuki alam transenden.
Dari pembahasan inilah kemudian muncul pembahasan mengenai ahwal, maqamat rahasia-rahasianya,
serta cara-cara untuk membawanya ke arah akhlak terpuji. Tasawuf pada fase ini
tak ubahnya sebagai ilmu khusus yang berdiri sejajar dengan ilmu tafsir,
hadist, fiqh yang lebih dahulu berkembang.
Karakteristik lain yang
membedakan fase ini adalah masuknya pengaruh asing akibat semakin meluasnya
kekuasaan Islam. Akibat interaksi antar kebudayaan yang sangat intens, maka
kemudian banyak sekali masuk pemikiran-pemikiran dan pandangan asing ke dalam
benak umat Islam[55].
Maraknya gerakan penerjemahan buku-buku asing di Baitul Hikmah semakin menambah
majemuk kompleks pemikiran umat Islam.
Sejak paruh terakhir abad
ketiga Hijriah marak berkembang kelompok-kelompok tarekat sufi. Masing-masing
kelompok dipimpin oleh seorang mursyid yang memiliki aturan-aturan dan
metode-metode khusus[56]. Bagi
para murid, mencapai kesempurnaan ilmu dan amal, mereka diwajibkan
mematuhi dan mengikuti apa yang ditunjukkan oleh mursyidnya tersebut.
Beberapa pandangan baru
dalam tasawuf diperkenalkan pada periode ini. Diantaranya adalah pandangan
mengenai al-hubb al-ilahy (cinta kepada Tuhan) yang dipopulerkan oleh
Sufi wanita terpandang, Rabiah Adawiyah,
dan makrifat yang dikenalkan oleh
Dzun Nun Al-Mishry[57].
Abu Wafa Tiftazani menuturkan bahwa pada zaman
ini tasawuf telah menjadi jalan menuju makrifat
setelah sebelumnya menjadi jalan untuk ibadah saja. Era ini merupakan era permulaan tasawuf teoritis[58]. Kita
juga menggaris bawahi bahwa pada fase ini muncul dua kecenderungan
berbeda aliran tasawuf.
a. Pertama adalah
aliran mu’tadilin yang masih
berpegang pada ajaran Al-Quran dan Sunnah. Tasawuf mereka lazimnya menekankan
pada aspek etika yang berhubungan langsung dengan Tuhan.
b. Sedangkan kecenderungan
kedua ialah mereka yang terkontaminasi dengan peradaban asing. Di kalangan
mereka mulai dibicarakan masalah-masalah baru seperti konsep hulul, ittihad,
dan fana’. Eksesnya jelas, semakin banyak sufi yang kerap melontarkan celetukan
(shathhaat) aneh yang apabila dilihat secara dhahir bisa mengakibatkan
mereka keluar dari agama.
Sebagai sufi kelompok
pertama mungkin kita bisa memasukkan nama-nama seperti Abu Harist Al-Muhasibi,
Al-Hakim Al-Turmudzi, dan Al Junaid. Sementara kecenderungan kedua dapat
diwakili oleh Sufi eksentrik, Al-Hallaj.
4.
Tasawwuf Di Fase Ketiga (Abad 5 H)
Pada abad ke-5 H, aliran mu’tadil
nampak berkembang sangat pesat sementara golongan kedua terlihat kehilangan
tokoh-tokoh utamanya. Pada abad ini kita mengenal dua orang yang merupakan tokoh sufi paling besar yang
dimiliki peradaban Islam, yaitu Al-Qusyairi dan Al-Ghazali. Barangkali yang
menjadi faktor utama kemunduran golongan sufi falsafi disebabkan ketika
itu dominasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah sangat kuat.
Golongan Sunni yang
didukung oleh penguasa dan banyak masyarakat memenangi pertarungan ideologi
dengan gerakan-gerakan oposisi yang memiliki pemahaman di luar mainstream.
Puncak dari kemenangan ideologi Sunni dapat dikatakan ada pada dua momen.
a.
Pertama, ketika Abu Hasan
Al-Asyari, seorang Muktazilian yang membelot ke Ahlu Sunnah gencar melontarkan
kritik-kritik tajam kepada ideologi lain, tak terkecuali pemikiran-pemikiran
yang dianut oleh para sufi yang dikatakan ‘menyimpang’ seperti Al-Hallaj,
Al-Bushtami dan sebagainya.
b.
Kedua, Puncak kemenangan
yang lebih gilang gemilang ada pada saat Al-Ghazali dengan berbagai macam
pendekatan keilmuan melakukan kritik mematikan bagi ideologi dan paham
non-Sunni[59].
Dalam diskursus tasawuf, Al-Ghazali dengan cerdas mampu menjelaskan
ajaran-ajaran tasawuf dan menghubungkannya dengan tauhid, sehingga di
tangannya, tasawuf tidak hanya bermakna jalan untuk berihal.badah, khalwat,
taqarub ila Allah, Mujahadah, riyadhah, saja akan tetapi juga seruan untuk
memperhatikan sisi psikologis dari manusia, ajakan kepada golongan awam dengan
pendekatan yang sesuai dengan kadar berpikir mereka serta mampu
mengintegrasikan tasawuf sebagai ilmu yang memiliki aspek teoritis sekaligus
praktis.
5.
Tasawuf Di Fase Ke Empat (Abad 6-7 H)
Periode ini dikenal
dengan masa keemasan tasawuf falsafi yang sempat redup di fase ketiga. Meskipun
tidak sebanyak pengikut tasawuf sunni, pada masa ini tasawuf falsafi begitu
berkembang pesat, karena memiliki tokoh-tokoh yang mumpuni seperti Ibnu Arabi.
Tasawuf falsafi sendiri berarti tasawuf yang mengkombinasikan antara pengalaman
intuisi mereka dengan pemahaman
rasional yang coba mereka kembangkan dalam memaknai celetukan-celetukan hati.
Tasawuf ini banyak mendapat pengikut dari kalangan Syiah di Persia. Lantaran
tradisi rasionalitas yang telah membumi sejak era Persia purba sehingga
memungkinkan tasawuf falsafi lebih mudah diterima oleh masyarakat Persia[60].
6. Tasawuf di Indonesia
Diperkirakan
Islam masuk ke Nusantara melalui wilayah Melayu (jazirah Malaka, Aceh, Sumatra
Timur, Sumatra barat) dan di wilayah ini pula Islam dapat berkembang secara
mantap dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Adapun para pedagang telah
terlebih dahulu masuk, namun masih sebatas hubungan dagang. Masuknya tasawuf di
Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam di Nusantara. Bukti masuknya Islam
tertua adalah batu nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di Leran
Gresik yang bertuliskan tahun 1082 M[61].
Bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar As Shidiq, Umar bin Khotob,
Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib) memerintah sudah memulai ekspedisinya
ke Nusantara[62],
bahkan menurut HAMKA, pada tahun 674-675 M. Mu’awiyah bin Abi Sufyan meneruskan
perjalanannya dari China hingga pulau Jawa
dengan menyamar sebagai pedagang memasuki wilayah kerajaan Kalingga[63].
Dalam pembahasan
Azyumardi Azra, bahwa abad ke 12 adalah waktu yang paling memungkinkan adanya
Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia. Bahkan ada teori yang menyatakan
bahwa menjelang perempat ketiga abad ke 7 seorang Arab pernah tinggal dan
menjadi pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatra, dan Islam
masuk Nusantara secara langsung dari tanah Arab, bukan dari Persia/ India[64],
bukan pada abad ke 12 atau bahkan ke 13, melainkan pada abad pertama hijriyah atau
abad ke -7 M[65].
Sufisme sering
dikaitkan dengan penyebaran Islam di Nusantara terutama setalah abad ke 13.
Pakar sejarah seperti A.H. Johns mengungkapkan bahwa para syeikh sufi pengembara yang berasal dari bagian
tertentu di Timur Tengah memainkan peranan penting dalam konversi penduduk
local ke dalam Islam dalam skala luas sejak masa tersebut dan selanjutnya.
Konversi massal dimaksud adalah kemampuan para guru sufi menghadirkan Islam
dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan kontinuitas tradisi dari
pada perubahan frontal dalam kepercayaan dan praktik tradisi keagamaan local.
Oleh karena itu, model Islam yang tersebar pada fase awal Islam di Nusantara adalah model Islam sufisme-sinkretis[66]
yang (kadang) dalam hal-hal tertentu tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam
itu sendiri[67].
Menurut
Aboebakar Atjeh, pada abad ke-4 dan ke-5 H, paham-paham sufi dan tasawuf sedang
tersiar luas dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat Islam, maka bersamaan
pula Islam & tasawuf tersebut masuk ke Nusantara[68],
dan bahkan tasawuf lebih menarik bagi
masyarakat untuk dipelajari dari pada ilmu fiqih, ushul fiqh, manthiq,
balaghoh, dan akhlaq[69].
Maka masuk pula
paham wihdatul wujud menurut tafsiran
Junaid dan Hallaj dan paham lain. Di Jawa ada Wali Songo (ahlus sunnah)[70],
pengikut paham Al Hallaj seikh Siti Jenar, Sunan Punggung/Malang Sumirang
(putra Sunan Kali Jaga)[71],
Seikh Among Raga (pada masa Sultan Agung)[72],
dan generasinya Mutamakkin dan berseberangan dengan katib Anom Kudus sebagai
pembela syariah[73].
Di Sumatra paham wihdatul wujdu
disebarkan oleh Hamzah Fansuri (Aceh)[74]
dan Syamsuddin As Sumatrani, di Kalimatan ada Haji Abdul Hamid Abulung dan
generasi selanjutnya berpaham wihdatus
syuhud adalah Nurudin Ar Raniri (Aceh) dan Abdul Rauf As Singkeli (Aceh) di
Pelembang ada Abdus Samad Al Jawi Al Palembangi, Syihadbuddin bin Abdullah
Muhammad, Kemas Fakhrudin, Dawud bin Abdillah Al Fatani[75]
di Makasar ada Syeikh Yusuf[76]
dan Muhammad Arsyad Al Banjari, dan yang lainnya
Adapun tentang
aliran/madzhab atau pun thariqat dalam tasawuf serta inti ajarannya, akan
penulis cantumkan pada bagian lain buku ini. Intinya adalah kita semestinya
memberikan apresiasi tinggi kepada para wali[77]
yang menyebarkan Islam di Nusantara –terlepas dari masalah perselisihan tasawuf
yang ada didalamnya- yang dapat meng-konversi-kan anatara Islam dengan
ajaran/budaya/tradisi local sehingga Islam mudah diterima dan tumbuh subur.
F. TOKOH-TOKOH TASAWUF
1.
Timur
Tengah
a.
Di Irak yang
terkenal adalah Hasan Basri (21-110 H/ 642-728 M) Lahir di Madinah dari seorang
budak yang dimerdekakan, kemudian tinggal di Bashrah / Irak pada masa
pemerintahan Bani Umayyah. Beliau juga sebagai rawi dalam silsilah
sufi/thariqot, juga madzhab ilmu kalam.
b.
Rabi’ah Al
Adawiyah (95-185 H/713-801 M) lahir di bashrah dari keluarga sangat miskin dan
masa kecilnya diculik, dijual sebagai budak. Ia menjalani kehidupan asketisme
yang ekstrem dan mengajarkan pada para pengikutnya tentang mahabbah (cinta kepada Allah) dan uns (kedekatan dengan Tuhan), pendapatnya tentang manusia adalah
bahwa eksistensi manusia itu sendiri adalah merupakan sebuah dosa (zanb), sebab
yang paling nyata dan benar adalah Tuhan[78].
c.
Abu Hasyim dari
Kufah (150 H/761 M) tokoh ini menjalankan kehidupan rohani dengan cara hidup
sangat sederhana dan meninggalkan
kemewahan duniawi[79].
d.
Perkembangan
selanjutnya, kaum syiah di Kufah pun ikut andil dalam pengembangan tasawuf yang
diketuai oleh Abdak As Sufi dan meninggal di Bagdad 825 M.
e.
Diantara tokoh
Syiah yang terkenal adalah Jabir bin Hayan 9103-160 H / 721-776 M) seorang ahli
kimia[80].
Riwayat lain mengatakan bahwa ia bukan seorang muslim, tetapi Harrarian dari
kalangan Harrarian “Sabian” di Syiria Utara, di Eropa terkenal dengan nama
Geber[81].
f.
Sufyan Al Tsauri
(161 H) tapi lebih intens di bidang fiqih, dan konon karena saking zuhudnya dia
menolak tawaran khalifah untuk menjadi hakim.
g.
Di Khurasan,
Persia muncul Ibrahim bin Azham (162 H) seorang sufi tersohor yang lahir dari
kalangan penguasa Balkh. Ia pertama kali belajar kehidupan sufistik justru pada
seorang pendeta yang mengajarkan tentang “ma’rifah” yang bernama Simoen[82].
h.
di Madinah muncul
Ja’far al Sadiq (80-148 H/699-765 M) dari ahlil
bait, sebagai ulama ia menguasai
ilmu keislaman, mistisme, pakar kosmologi dan juga ahli kimia. Di Madinah
mempunya banyak murid termasuk Imam Abu Hanifah dan Malik ibn Anas[83],
dan ssebagai sufi besar maka namannya pun masuk dalam sanad silsilah
madzhab-mazdhab thareqot termasuk kalangan sunni. Kalangan Syi’ah menyebutnnya
seebagai pendiri madzhab fiqh ja’fary, dan dinobatkan sebagai imam ke enam dari
Syiah dua belas[84].
i.
Syaqiq Al Balkhi
(195 H)
j.
Ma’ruf Al Kharkhi
(200 H)
k.
Sari Al Shaqathi
(257 H)
l.
Dzun Nun Al
Mishri (180-245 H/796-859 M) seorang sufi Mesir yang memiliki kecakapan
pengetahuan tentang kimia dan pengetahuan tentang cahaya. Ia terkenal karena
memiliki rangkaian silsilah ilmu-ilmu spiritual bangsa Mesir kuno[85].
m.
Abul Qoim ibn
Muhammad al Junaid Al Baghdadi (w.297 H/910 M) tokoh sufi pada masa awal yang
mengajarkan sufi di Baghdad, dia juga murid dari sufi besar Sari Al Shaqathi.
Al Junaid menentang pandangan al Hallaj, Al Bisthami, tentang wihdatul wujud.
Ia menyampaikan sufi dengan cara sistematis dan lugas, berusaha memadukan mistisisme
dalam kehidupan sehari-hari. Ia berusaha menegakkan ajaran esotorik ortodoks.
Ia cenderung pada aspek kesadaran (syuhud) dalam soal pendekatan menuju
makrifat[86].
n.
Abu Yazid Al Bisthami
(260 H) lahir dan meninggal di Bistam utara Persia, dia sering ddesebut sebagai
sufi “yang mabuk” lantaran terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan di dalam
dirinya seperti kata subhani (maha
suci aku). Ia menganut keyakinan Zoroastria[87].
o.
Abu Thalib Al Makki
(386 H)
p.
Abul Qosim Al
Qusyari (w.465 H/1072 M) seorang sufi Persia, yang menulis doktrin-doktrin
sufisme yang dikenal dengan risalah
qusyairiyah.
q.
Imam Ghazali (450-505
H/1058-1111M)[88]
seorang filosof, teolog, ahli hokum dan sufi besar. Di barat dikenal dengan
nama “Algazel”, ia lahir dan meninggal di Thus, Persia. Ia pernah mengalami
krisis keyakinan dan kesadaran selama empat tahun, ia mengembara ke Yerusalem, Hebron, Makkah, Madinah dan
kemudian memantapkan hati dalam bidang sufisme[89].
Al Ghazali berhasil meredakan pertikaian pandangan antara Mu’tazilah dan
Asy’ariyah, meluruskan filsafat, dan juga mazdhab-mazdhab sufi.
2.
Indonesia
a.
Di Jawa ada Wali Songo yang diyakini sebagai
ahlus sunnah, yang tegas dan konsekwen menentang bid’ah, menolak konsep emanasi[90],
panteisme[91],
dan menganut tasawuf Al Ghazali dan Abu Syamilli yang menyelaraskan fiqih syara’ dengan tasawuf. Alasannya
adalah, mempelajari tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, maka besar kemungkinan
menjadi zindiq dan ingkar, mendekati Allah swt dengan
meninggalkan syari’at[92].
b.
Pengikut paham Al Hallaj syeikh Siti Jenar,
Sunan Punggung/Malang Sumirang (putra Sunan Kali Jaga)[93],
Syeikh Among Raga (pada masa Sultan Agung)[94],
dan generasinya Mutamakkin dan berseberangan dengan katib Anom Kudus sebagai
pembela syariah[95].
c.
Di Sumatra paham wihdatul wujud disebarkan oleh Hamzah Fansuri (Aceh),[96]
d.
dan Syamsuddin As Sumatrani,
e.
di Kalimatan ada Haji Abdul Hamid Abulung
f.
dan generasi selanjutnya berpaham wihdatus syuhud adalah Nurudin Ar Raniri
(Aceh)
g.
dan Abdul Rauf As Singkeli (Aceh)
h.
Abdul wahab Rokan dari Langkat
i.
di Pelembang ada Abdus Samad Al Jawi Al
Palembangi,
j.
Syihabuddin bin Abdullah Muhammad,
k.
Kemas Fakhrudin,
l.
Isma’il al Minangkabawi
m.
Ahmad Khathib Sambas Ibn Abdul Ghaffar.
n.
Dawud bin Abdillah Al Fatani[97]
o.
di Makasar ada Syeikh Yusuf[98]
p.
dan Muhammad Arsyad Al Banjari, dan yang lainnya
q.
di Tasikmalaya ada Abdullah al Mubarak Ibn Nur
Muhammad dan generasinya adalah KH. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin, di pesantren
Suryalaya.
r.
Syekh Muslim ibn Abdul Rahman dari Mranggen
Demak, Jawa Tengah
s.
KH. Romly Tamim dari pesantren Darul Ulum,
Jombang, Jawa Timur.
[1]
Bani Sudardi, 2003, Sastra Sufistik,
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, hal
14
[3]Harun
Nasution, 1991, Kedudukan Tasawuf Dalam
Islam, dalam Thoriqot Qodiriyah
Naqsabandiyyah sejarah, asal-usul dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya,
hal 11
[4] Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan
Syaikh Muhammad Ahmad Lauh jilid 1, hal.34)
[5]
Nurcholish Madjid, 1992, Islam doktrin
dan peradaban ; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan
kemodernan, Paramadina, Jakarta, hal.261
[7]
Abdullah Taslim, Hakekat Tasawuf, www.muslim.or.id
dan dalam http://dear.to/abusalma.
[8]
Bani Sudardi, Op.cit. hal 14
[9]
Bani Sudardi.ibid. hal. 14
[10]
Aboebakar Atjeh, 1984, Pengantar Sejarah
Sufi & Tasawuf, CV. Ramadhani, Solo, hal 25
[12]
Faham yang mempraktikan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban (KBBI,
hal. 71)
[13]
Cyril Glasse, 1999, Ensiklopedi Islam
(ringkas), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 369.
[14]
Abdullah Taslim, Hakekat Tasawuf, www.muslim.or.id
dan dalam http://dear.to/abusalma.
(Lihat kitab
kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal.13),
tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali)
[15]
Abdullah Taslim, op.cit
[16]
Bani Sudardi, hal 13.
[17]
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1097
[18]
Loc.cit. hal 28
[19]
Bani Sudardi. Hal 15
[21]
Ibn Khaldun, Muqoddimah, penerjemah
Ahmadie Thoha, 2000, cet 2, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal. 623
[22]
Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham
Penyakit Umat islam Masa Kini Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi
revisi), yayasan Al Hakim, Jakarta, hal. 42-43
[23]
Mulyadi Kertanegara, 2006, Menyelami
Lubuk Tasawuf, Jakarta, Erlangga, hal.6-8
[24]
Ibn Khaldun, Muqoddimah, penerjemah
Ahmadie Thoha, 2000, cet 2, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal. 628-629
[25]
Aboebakar Atjeh, (1984), Pengantar
sejarah sufi & tasawuf, Ramadhani, Solo, hal. 36-37.
[26]
Ibib, hal 38
[27]
Ibid
[29]
Nurcholish Madjid, 1992, Islam doktrin
dan peradaban ; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan
kemodernan, Paramadina, Jakarta,Hal. 260
[30]
Tengku Zulkarnain, hal 78
[31] Ibid. hal 93
[32]
Nurcholish Madjid, ibid, hal. 266
[33] Ibid. hal 95-96
[34]
Harun Naasution, 1991, Kedudukan tasawuf
dalam Islam, editor, Thoroqot Qodiriyah naqsabandiyah, sejarah, asal-usul
dan perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, hal 7.
[35]
Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca
dan memahami konstruksi Al Quran, Jakarta, Indomediagroup, hal. xiii
[36]
Cyril Glasse, 1999, Ensiklopedi Islam
(ringkas), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 375.
[37]
Juhaya S. Praja, 1991, TQN Pondok pesantren Suryalaya dan perkembangannya pada
masa Abah Anom (1950-1990), Editor
Harun Nasution, Thoriqot Qodiriyah naqsabandiyah, sejarah, asal-usul, dan
Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, Hal.153-154
[38] Ialah:
tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.
[39]
Menurut
mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan
ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil
amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[40]
Maksudnya: aku limpahkan rahmat dan
ampunan-Ku kepadamu.
[41]
Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah
meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui
perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
[42]
Ahmad Shohibu Wafa Tadjul ‘Arifin, 1991,
Miftahus Shudur Juz 1, fasal 1,
Tasikmalaya, hal. 5
[43] Syaikh
Zaenudin bin Ali Al malibari dalam kitab Al Azkiya :
ﺃﻟﺸﺭﻴﻌﺔ
ﺒﻼ ﺣﻗﻴﻘﺔ ﻋﺎﻄﻟﺔ ﻮﺍﻟﺣﻗﻴﻘﺔ ﺒﻼ ﺸﺭﻴﻌﺔ ﺒﺎﻄﻟﺔ
[44]
Abdullah Taslim, www.muslim.or.id
dan dalam http://dear.to/abusalma
[45]
Bani Sudardi hal. 16
[46]
Aboebakar Atjeh, hal 53
[47]
Harun Nasution, 1991, Kedudukan Tasawuf
Dalam Islam, dalam Thoriqot Qodiriyah
Naqsabandiyyah sejarah, asal-usul dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya,
hal 6
[48]
Bani Sudardi, Ibid, hal 16
[49]
Aboebakar Atjeh, Ibid, hal.41
[50] Bani Sudardi, Ibid.
[51] ﺧﻴر اﻟﻘرﻮﻦ ....اﻟﺦ
[52]
Ibn Khaldun, Ibid, hal 624
[53]
Ibn Khaldun, ibid, hal 626-627
[54]
Aboebakar Atjeh, Ibid, hal. 54-55
[55] Ibid,
hal 56-57
[56]
Ibid. hal, 58
[57]
Ibid, hal 57
[58] Ibid,
hal 58
[59]
Bani Sudardi, Ibid, hal. 19-20
[61]
Bani Sudardi, hal 25-26
[62]
Herry Nurdi, Risalah Islam Nusantara, Sabili, edisi khusus no.9 th.XI 2003 Sejarah
Emas Muslim Indonesia, hal 10.
[63] Ibid, Hal 14.
[64]
Aboebakar Atjeh, hal 369
[65]
Azyumardi Azra, 2002, Islam Nusantara, jaringan global dan local,
Mizan, Bandung, hal 24-28.
[66]
Islam perpaduan dengan budaya/tradisi keagamaan lokal (Hindu-Budha)
[67] Ibid, hal 110
[68]
Aboebakar Atjeh, hal 369
[69]
Azyumardi Azra, hal 111
[70]
Hery D. Kurniawan, Dakwah Syariat Islam
Wali Sanga, Sabili, edisi khusus no.9 th XI 2003 Sejarah Emas Muslim Indonesia,
hal 22.
[72]
Azyumadri Azra, hal 117-118
[73]
Mark R. WoodWard, 1999, Islam Jawan Kesalehan
Normatif versus kebatinan,I Penerjemah Hairus salim, LKiS, Yogyakarta Hal.
153-154
[74]
Aboebakar Atjeh, hal 369
[75]
Azyumardi Azra, hal 129-130
[76]
Bani Sudardi, Hal 42-64
[77]
Mohamad Sobary,1996, kebudayaan Rakyat
Dimensi Politik dan Agama, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, hal 108
[78] Cyril Glasse, ibid. Hal. 337
[79]
Bani Sudardi, 2003, Sastra Sufistik,
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, hal. 16
[80]
Aboebakar Atjeh, 1984, Pengantar Sejarah
Sufi & Tasawuf, CV. Ramadhani, Solo,, hal 53
[81]
Cyril Glasse, bid, hal. 189
[82]
Cyril Glasse, bid, hal. 157
[83]
Cyril Glasse, Ibid, hal 189-190
[84]
Harun Nasution, 1991, Kedudukan Tasawuf
Dalam Islam, dalam Thoriqot Qodiriyah
Naqsabandiyyah sejarah, asal-usul dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya,
hal 6
[85]
Cyril Glasse, ibid, hal 454
[86]
Cyril Glasse, Ibid, hal 197-198
[87]
Cyril Glasse, ibid hal 61-62
[88]
Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham
Penyakit Umat Islam Masa Kini Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi
revisi), yayasan Al Hakim, Jakarta, Hal 77-78
[89]
Cyril Glasse, Ibid, hal 106-107
[90]
Konsep pancaran
[91]
Paham wihdatul wujud, paham yang
menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hokum-hukum alam semesta.
[92] Hery D. Kurniawan, Dakwah
Syariat Islam Wali Sanga, Sabili, edisi khusus, no 9 th xi 2003, hal
22
[94] Azyumardi Azra, 2002, Islam Nusantara, jaringan global
dan local, Mizan, Bandung, hal 117-118
[95] Mark R. WoodWard, 1999, Islam Jawan Kesalehan Normatif versus kebatinan,Penerjemah Hairus
salim, LKiS, Yogyakarta Hal. 153-154
[96]
Aboebakar Atjeh, hal 369
[97]
Azyumardi Azra, hal 129-130
[98]
Bani Sudardi, Hal 42-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar