Rabu, 10 Juli 2013

pengertian tasawuf dan perspektif masyarakat


TASAWUF DAN PERSPEKTIF MASYARAKAT
(Oleh : A. Saebani Himawan Al jawahiry)


A.      BERKENALAN DENGAN TASAWUF
Tasawuf adalah istilah yang sudah cukup lama dikenal tetapi kemudian diangkat kembali menjadi topic yang baru, dan di sisi lain dianggap sebagai suatu bentuk pengamalan baru dalam agama Islam sehingga sebagian kalangan menganggap tasawuf sebagai suatu ajaran yang ditanyakakn kebenarannya bahkan dianggap bid’ah. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa praktik tasawuf (dengan ritual khusus) yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, namun banyak pula pemuja paham tersebut. Kata sufi baru dikenal luas setelah abad 3 H. kata sufi pertama-tama dipakai oleh Sofyan Sauri (161 H), ada juga yang mengatakan, Hasan Bisri (110 H). Beberapa imam madzhab dan syekh tariqat menggunakan kata ini ialah Ahmad bin Hambal (241 H) dan Abu Sulaiman Darani (255 H)[1]
Secara Etimologi/lughotan kata taswuf ada yang berpendapat berasal dari kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Sophos” yang artinya: hikmah. Al-Biruni mengemukakan pandangan yang menyatakan kata tasawuf berasal dari akar Yunani, ‘sofia’ yang berarti kebijaksanaan. “orang-orang Yunani kerap melihat bahwa tidak ada eksistensi yang hakiki kecuali sang causa prima saja. Hal ini disebabkan karena Dia tidak butuh pada eksistensi yang lain, sebaliknya semua eksistensi bergantung kepada-Nya. Inilah kebijaksanaan tertinggi. Sehingga tidak salah apabila kita menyebut orang-orang yang begitu bersemangat menggeluti hikmah dengan filosof, pecinta hikmah”[2].Tidak benar pula pendapat kata sufi berasal dari kata  sophos  (bahasa Yunani) karena sophos telah masuk dalam kata Arab falsafah,  dan falsafah ditulis dengan huruf sin  dan bukan dengan huruf shad, yang terdapat dalam kata shufi dan tashawwuf[3].
Pendapat lain mengatakan bahwa “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah saw, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah saw. mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan penghidupan yang cukup[4]. Riwayat lain, mereka meilih hidup sebagai faqir dan sangat setia kepada masjid, sehingga (dalam literatur kesufian) sering diacu sebagai teladan kehidupan saleh di kalangan para sahabat, tapi pendapat ini masih diragukakn[5] oleh  karena apabila hal tersebut benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf fa’ yang bertasydid/didobel).
Tasawuf juga sering dikatakan dinisbatkan kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah swt, Al-Qusyairi[6] menyebutkan, diantara para peneliti ada yang menyatakan berasal dari kata shaff dalam shalat. Dinamakan demikian karena mereka di hadapan Allah selalu berada di barisan terdepan dalam kebaikan, seperti orang-orang shalat yang berada di shaf paling awal. pendapat ini pun kurang memiliki akurasi yang benar, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’” yang bertasydid/didobel.
Tasawus ada juga yang menisbatkan kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah swt, dan pendapat ini pun masih dipertanyakkan keabsahannya karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”[7]. Mungkin juga dari perkataan sufah yang dipergunakan untuk nama surat ijazah orang naik haji[8]. Banyak ulama sependapat bahwa kata tasawuf berasal dari  kata kerja safa yang berarti bersih dan suci. Seorang orientalis peminat kajian tasawuf, Nicholson berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari ‘shafa’ yang berarti ‘murni’. Dinamakan demikian karena mengacu pada kemurnian hati dan keikhlasan para sufi dalam mendekati Tuhannya. Pendapat Nicholson ini dikuatkan oleh pernyataan Basyar bin Harits; ‘Para sufi adalah mereka yang memurnikan hatinya kepada Allah’.
Ada juga yang mengatakan bersumber dari ibnu sauf yang sudah terkenal sebelum Islam sebagai gelar bagi anak shaleh yang bertapa[9] dan mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekatkan diri kepada Tuhan yang bernama Ghaus bin Murr[10]. Beberapa tokoh juga yang menisbatkan kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafadznya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam Islam.
Selain pandangan yang tersebut diatas, ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa asal kata sufi ialah ‘sufanah’, sejenis tumbuhan merambat yang lazim tumbuh di padang pasir. Sufanah adalah tumbuhan sebagai simbolisasi dari kezuhudan hidup di dunia, karena para sufi tidak mau menikmati makanan yang lezat dan hanya menyantap tumbuhan tersebut[11]. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) sejenis pakaian kasar  yang menjadi ciri utama kalangan asketik[12] masa awal dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud (yang cenderung pada kesederhanaan simbolik daripada kemewahan dan materi yang berlebihan)[13]. Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih as[14]. Ada yang mengatakan –dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol).” (Majmu’ul Fatawa 11/5-6)[15].
Secara Terminologi/ishthilahan, Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang dianggap sebagai penghayat tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah swt.
Tasawuf juga dapat dikatakan sebagai paham di kalangan pemeluk yang berusaha membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dalam rangka mendekati Allah swt. Dan secara umum tasawuf dapat dikatakan sebagai gerakan kerohanian berdasarkan agama Islam yang berusaha memahami Allah dan mendekatinya dengan segala  daya dan kekuatan dengan model perilaku yang khas[16].
Perbedaan pendapat tentang asal-usul kata tasawuf sangat komplek, tetapi intinya kata tasawuf digunakan sebagai julukan bagi orang yang melakukan suatu ibadah tertentu, dengan istilah sufi. Sufi adalah ahli ilmu tasawuf/ ahli ilmu suluk[17]. Sufi dikenal dengan beberapa nama diantaranya darwisy, urafa (ilmunya disebut ‘irfan), dan ahli suluk (Jawa-Madura).
Pada hakekatnya tasawuf itu dapat kita artikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani[18].
Menurut Hamka, Para sufi sendiri sering tidak memperdulikan asal kata tasawuf dan sufi. Mereka memberi arti terhadap kegiatan kebatinan Islam menurut paham mereka. Abu Ali Al-Ruzbari, misalnya, memberi makna bahwa seorang sufi memakai kain suf (wol) untuk membersihkan jiwa, memberi makan hawa nafsunya dengan kepahitan, meletakkan dunia di bawah tempat duduk, dan berjalan (suluk) menurut contoh Rasul saw[19].
Bahkan Buya Hamka  menuliskan dalam bukunya tasawuf modern, tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan bathin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpleset ke dalam lumpur keburukan budi dan kekotoran bathin yang intinya, antara lain dengan berzuhud seperti teladan hidup yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah SAW lewat As-sunnah yang shahih[20].
Ibnu Khaldun dalam kitab Muqoddimah-nya menyatakan bahwa tasawuf adalah salah satu dari beberapa ilmu keislaman yang lahir kemudian, yang sebelumnya berakar dari parktik zuhud Nabi yang ditiru para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in dan orang-orang sesudah mereka sebagai jalan menuju kebenaran dan hidayah. Pendekatan sufi didasarkan pada pelaksanaan ibadah yang bersifat tetap, kesetiaan yang penuh kepada Allah swt, enggan pada gemerlapnya dunia yang semu, pantang terhadap kesenangan, harta, kedudukan, dan berkhalwat untuk beribadah[21].
Tengku Zulkarnain, merangkai dan meramu definisi tasawuf dari berbagai sumber sehingga membentuk pengertian yang mudah dipahami dan komperhensif sebagai berikut ;
Tasawuf ialah hendaknya engkau bersama Allah swt tanpa ikatan (sehingga engkau dapat) membersihkan hati dan singkron dengan manusia, meninggalkan akhlak-akhlak tabiat, memadamkan sifat-sifat kemanusiaan, mendekatkan diri kepada dorongan-dorongan kejiwaan, turun ke sifat-sifat spiritual, dan menyatu kepada ilmu-ilmu hakekat, (sehingga engkau menjadi) orang yang tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi di hatinya, (dan hatinya bercahaya bagaikan) kilat yang menembus (ma’rifatullah)[22].”
Dari banyak definisi, dapat disimpulkan bahwa tasawuf dalam konteks manusia, lebih menekankan aspek rohani daripada aspek jasmani. Dalam konteks kehidupan, lebih menekankan akherat daripada dunia. Dalam konteks pemahaman keagamaan, lebih menekankan aspek esoteric daripada eksoterik. Dalam konteks penafsiran, lebih menekankan penafsiran batin daripada penafsiran lahir. Singkat kata lebih menekankan aspek spiritualitas dalalm berbagai hal. Ini dikarenakan ahli tasawuf mengutamakan jiwa daripada jasad, bagi mereka dunia spiritual lebih hakiki dan riil[23].
Ada yang perlu digarisbawahi dari pembahasan mengenai asal kata dari tasawuf. Sampai saat ini bisa dikatakan masih belum ada satu definisi mengenai makna tasawuf secara jami’mani’. Hal ini semata-mata disebabkan bahwa cakupan makna tasawuf sendiri yang membawahi keseluruhan ilmu dalam tradisi Islam. Pun juga dengan kenyataan sulitnya mengenali hal dan maqam para sufi yang meliputi keseluruhan sifat-sifat terpuji yang dianjurkan agama. Berbicara masalah sufi / tasawuf adalah berbicara masalah intuisi[24], yang terkonsentrasi dalam hati sehingga merupakan suatu hal sulit untuk membawanya ke ranah rasional. Para sufi kerap berbicara mengenai keadaan hatinya, sementara tidak semua perasaan dalam hati dapat diungkapkan lewat bahasa / kata-kata. Sejauh yang dapat kita ketahui, ialah sebatas upaya pendekatan makna dilihat dari karakteristik unik tasawuf yang membedakan dengan ilmu-ilmu lain. Tetapi, jumhur sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa  yang berarti suci, yang pada gilirannya akan bermuara pada ajaran Al Qur’an tentang penyucian hati, yang berbunyi;
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ  
Artinya : 7. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.



B.      MENGAPA BERISLAM BUTUH TASAWUF ?
Menurut Imam Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, bahwa ilmu tasawuf itu ialah tuntunan yang dapat menyampaikan manusia kepada mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, dan tujuannya adalah membawa manusia itu setingkat demi setingkat kepada Tuhannya[25]. Oleh karena itu Imam Ghazali merumuskan tingkatan-tingkatan tersebut sebanyak empat puluh tingkatan, dua puluh tingkatan di dunia dan dua puluh lagi di akherat. Keempat puluh tingkatan tersebut adalah sebagai berikut;
1.       Manusia itu selalu menyebut dan mengingat Tuhannya
2.       Selalu bersyukur dan membesarkan Tuhannya
3.       Selalu mencintai Tuhannya dan dicintai oleh sesame manusia
4.       Selalu menjadikan Tuhan wakilnya dalam segala pekerjaan
5.       Memperoleh ketentraman dalam mencari rezeki karena dijamin oleh Tuhannya
6.       Memperoleh pertolongan dari Tuhannya terhadap gannguan dan musuh
7.       Hatinya tentram dalam segala hal dan keadaan, tidak cemas dan takut
8.       Memperoleh kemuliaan di dunia dan tidak mengharapkan dimuliakan  oleh manusia
9.       Tinggi himmahnya dan terpelihara daripada kecemaran
10.   Mulia dan lapang hati
11.   Memperoleh petunjuk yang terang, sehingga mudah memperoleh ilmu pengetahuan dan hikmah
12.   Terjauh dari kesusahan dan kerusuhan dunia
13.   Membawa manusia kepada kehebatan yang dikagumi orang
14.   Dicintai oleh sesame manusia dan Tuhannya
15.   Memperoleh berkah perkataanya, pribadinya, pakaiannya, tempatnya
16.   Memeperoleh makrifat di bumi dan di laut
17.   Hilang ketakutan terhadap  binatang buas
18.   Memperoleh kekuasaan, seakan-akan memegang kunci perbendaharaan bumi
19.   Dapat menyampaikan segala hajat makhluk Tuhan yang lain dengan kemegahan kepada Tuhan
20.   Mudah terkabul doanya  oleh Tuhan
21.   Mudah dan tidak takut menghadapi mati/sakaratul maut
22.   Tetap hatinya pada makrifat  dan iman yang menghilangkan ketakutan, kecemasan teriak dan tangis
23.   Mendapat anugrah kesenangan dan bau-baun (ruhun wa raihanun) serta nikmat yang berlimpah dalam kuburnya dan hari kiamat
24.   Kekal di dalam surga dan selalu berhampiran dengan Tuhannya
25.   Jenazahnya dihormati manusia dan malaikat
26.   Terbebas dari pertanyaan Munkar  dan Nakir  dalam kuburnya dan terbebas dari kesusahan kubur
27.   Kubur menjadi lapang dan terang
28.   Rohnya tenang dalam kesukaan , kesenangan dan kemuliaan
29.   Berkumpul  di padang mahsyar memperoleh keistimewaan dan keagungan
30.   Bermuka putih dan bercahaya , melihat kepada Tuhannya dengan senyum yang menggembirakan
31.   Sentosa dan sejahtera dari kesusahan dan siksa hari kiamat
32.   Memperoleh keringan hisab, bahkan tidak dihisab sama sekali
33.   Menerima kitab catatannya dengan tangan kanan
34.   Amal kebaikannya memberatkan timbangannya
35.   Diberi kesempatan minum dalam haudh (telaga) minuman para nabi
36.   Selamat melewati shirath al mustaqim
37.   Mendapat syafaat Nabi
38.   Memperoleh kedudukan abadi di surge
39.   Mendapat Ridla Tuhan yang tidak terhingga besarnya
40.   Berjumpa dengan Tuhan[26].
Sejalan dengan itu, Syeikh Abdus Samad Pelembang mengungkapkan dalam kitab Sirus Salikin bahwa tujuan terakhir dari ilmu tasawuf adalah memberi kebahagian kepada manusia, baik di dunia maupun di akherat, dengan pucaknya menemui dan melihat Tuhannya[27].
Menurut M. Amin Syukur, Tasawuf memiliki tujuan memperoleh hubungan langsung dan secara sadara dengan Tuhan, sehingga akan disadari benar bahwa seseorang berada dihadlirat Tuhan. Intisari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.
Menurut HAMKA dalam buku Tasawuf Modern, Tasawuf adalah salah satu filsafat Islam yang bertujuan zuhud dari dunia yang fana, tetapi lantaran banyak bercampur dengan negeri dan bangsa lain, banyak sedikitnya masuk jugalah pengajian agama dari bangsa lain ke dalamnya[28].
Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) - Jamiyyah Ahli Thariqah Al Mu'tabarah An Nadhliyyah (JATMAN) Tujuan tharikat adalah mempelajari kesalahan-kesalahan pribadi, baik dalam melakukan amal ibadah (hablu minallah) atau dalam bergaul sesama manusia (hablu minanas) dan memperbaikinya. Pekerjaannya dilakukan oleh mursyid (guru spiritual) yang pengetahuannya lebih baik dari pada muridnya.
Menurut anggaran dasar Jam'iyah ahli thariqat tujuannya thariqat adalah sebagai berikut :
1.       Mengusahakan berlakunya syariat Islam lahir dan bathin dengan berhaluan ahlus sunah wal jamaah yang berpegang pada mazhab empat.
2.       Mempergiat dan meningkatkan amal shalih lahir dan bathin menurut ajaran ulama sholihin dengan baiat shalihah.
3.       Mengadakan pengajian khusus khususi dan tawajjuhan (dzikrullah).
Kesimpulannya bahwa tujuan tasawuf adalah pemurnian jiwa guna mendapat pengetahuan yang benar dan pencerahan hati dan merasa dekat dengan Tuhan yang akan termanifestokan dalam realitas kehidupan dunia dengan akhlak karimah guna mencapai kebahagian dunia dan akherat dengan ridlo Allah swt. Terlepas dari apa yang telah diuraikkan di atas bahwa sikap perilaku batin yang ikhlas, pasrah kepada Sang Pencipta sebagai hasil akhir dalam bertasawuf belum tergambar bagaimana cara / proses perubahan perilaku batin secara jelas.

C.      POKOK-POKOK DALAM TASAWUF
Al Qur’an banyak menegaskan tentang pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan mengarah kepada pribadi. Namun demikian, Islam adalah agama pertengahan / wasathan, yang artinya Islam juga menekankan pentingnya keseimbangan.  Wasath diantara dua kubu agama (Yahudi dan Nashrani), di mana Yahudi dengan Taurat lebih bercorak legalistic dan banyak menekankan orientasi kemasyarakatan. Sedangkan Nashrani dengan Injil lebih pada spiritualistic dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta pengalaman ruhani, serta membuat agama itu lembut. Dan Islam dengan Al Qur’an menengahi dan meliputi keduanya, demikian menurut Ibn Taimiyah[29].
Menurut Tengku Zulkarnain, sasaran ajaran tasawuf adalah berkenaan dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih cinta kepada Tuhan[30]. Berangkat dari hadits yang masyhur tentang Ihsan yang bisa dikatakan sebagai pintu awal untuk memasuki dunia tasawuf, dimana ihsan sasarannya akhlak, budi pekerti, kebatinan yang bersih, bagaimana menghadap Tuhan, bagaimamna muroqobah dengan Tuhan, bagaimana membersihkan hati dari kotoran/penyakit hati, bagaimana ber-takhalli, tachalli dan tajalli[31].
Karena itulah ajaran tasawuf juga disebut sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka wujudkan adalah yang merupakan “imitasi” akhlak Tuhan, sesuai dengan sabda nabi Muhammad saw yang dipegang teguh oleh kalangan sufi, yaitu ; “berakhlaklah kamu semua dengan akhlak Allah”[32].
Menurut Imam Qusyairi dalam risalah Qusyairiyah, ajaran tasawuf diantaranya adalah sebagai berikut;
1.       Taubat (menyesali atas kesalahan-kesalahan)
2.       Mujahadah (bersungguh-sunggub beribadat)
3.       Khalwat dan Uzlah (bersunyi-sunyi dalam melaksanakan ibadah)
4.       Taqwa (taqwa kepada Allah)
5.       Wara’ (menjauhkan diri dari maksiat dan syubhat)
6.       Zuhud (anti keduniaan yang berlebih-lebihan)
7.       Shamat (pendiam)
8.       Khauf (takut kepada siksa Allah)
9.       Raja’ (mengharap rahmat Allah)
10.   Hazan (membiasakan berduka cita)
11.   Ju’ wa tarkus syahwat (lapar dan menahan syahwat)
12.   Khusyu’ dan tawdlu’ tenang hati dan rendah hati)
13.   Mukhalafatun nafsi (melawan hawa nafsu)
14.   Qona’ah (mencukupkan yang ada)
15.   Tawakkal (tawakal kepada Allah)
16.   Syukur (berterimakasih kepada Allah)
17.   Yaqin (keyakinan yang teguh)
18.   Sabar (tahan menderita)
19.   Muraqabah (berharap-harap dengan Allah)
20.   Ridha (senang hati menerima segala yang ada)
21.   Ubudiyah (mengabdi kepada Allah)
22.   Iradah (kemauan)
23.   Istiqamah (tetap)
24.   Ikhlas (ikhlas karena Allah)
25.   Shiddiq (benar)
26.   Haya’ (malu)
27.   Dzikir (mengingat Allah)
28.   Al futuwah (mempersiapkan diri untuk berkorban)
29.   Firasah (firasat)
30.   Khulq (akhlak yang baik)
31.   Jud was sakha (pemurah dan tidak kikir)
32.   Gairah (cemburu)
33.   Wilayah (kewalian)
34.   Do’a (mohon kepada Allah)
35.   Fiqr (kemiskinan)[33]


D.      DASAR/DALIL PERILAKU TASAWUF
Banyak ayat AL Quran maupun Hadits yang dijadikan dasar dan kajian-kajian tasawuf, Ayat ayat yang dijadikan isyarat adanya pintu tasawuf diantaranya seperti  ayat  :
#sŒÎ)ur y7s9r'y ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_tã ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6ÉftGó¡uŠù=sù Í< (#qãZÏB÷sãø9ur Î1 öNßg¯=yès9 šcrßä©ötƒ ÇÊÑÏÈ  
dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs.Al Baqoroh; 186)
Kata da’watad da’i dalam ayat ini, bagi kaum sufi bukanlah berarti doa orang yang meminta, sebagaimana biasa diartikan, tetapi panggilan orang yang memanggil atau himbauan orang yang menghimbau[34]. Allah swt akan mendekatkan diri orang yang menghimbau kepada diriNya, kalau Ia dihimbau.
Hadist Nabi    ﻤﻦ ﻋﺭﻒ ﻨﻓﺴﻪ ﻓﻗﺪ ﻋﺭﻒ ﺭﺑﻪ  siapa yang kenal dirinya, maka sungguh kenal akan Tuhannya” juga menggambarkan kedekatan tersebut. Pernyataan ini jelas memberikan “sinyal” tentang kedekatan jarak anatara Tuhan dengan manusia. Dan jarak itu hampir mendekati limit[35]. Allah swt sendiri dalam sebuah ayat yang penuh teka-teki menyatakan bahwa Aku lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di leher manusia itu sendiri.
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym σÍuqø9$# ÇÊÏÈ  
dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,(Qs. Qof : 16)
Selain itu ada juga hadits “Hambaku senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan perbuatan-perbuatan baik hingga Aku cinta padanya, dan orang yang Kucintai Aku menjadi telinga, mata dan tangan baginya”.
Hadits Qudsi : HambaKu tidak henti-hentinya mendekatiKu dalam beribadah, hingga Aku menjadi kaki yang dengannya ia berjalan, menjadi tangan yang dengannya ia memegang, dan menjadi mata yang dengannya ia melihat[36].
Menurut Abah Anom, Landasan Hukum ilmu tasawuf  antara lain dari sebuah hadits : ﺇﻦ ﻟﻟﻗﺭﺁﻦ ﻆﺎﻫﺭﺍ ﻭﺑﺎﻃﻨﺎ “Sesungguhnya petunjuk Al Qur’an itu meliputi lahir dan batin” At Tusi menjelaskan dalam kitabnya Al Huma’  bahwa landasan dalam Al Qur’an adalah surat luqman ayat 20[37],
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3 z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ãAÏ»pgä Îû «!$# ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ Ÿwur Wèd Ÿwur 5=»tGÏ. 9ŽÏZB ÇËÉÈ  
tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.

dan An Nisa ayat 83.
#sŒÎ)ur öNèduä!%y` ֍øBr& z`ÏiB Ç`øBF{$# Írr& Å$öqyø9$# (#qãã#sŒr& ¾ÏmÎ/ ( öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqß§9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3 Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# öNà6øŠn=tã ¼çmçGuH÷quur ÞOçF÷èt6¨?]w z`»sܸФ±9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÌÈ  
dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[38] di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[39]. kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).


Tuhan yang ditakuti akan dirasakan jauh, tetapi yang dicintai dirasakan dekat. Antara Allah swt dan hambaNya terdapat hubungan cinta-mencintai sebagaimana disebut dalam ayat ;
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!ÏŒr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcrßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ  
 Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.

ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
 Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
 (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#rãx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. (#rã|ÁtFR$#ur .`ÏB Ï÷èt/ $tB (#qßJÎ=àß 3 ÞOn=÷èuyur tûïÏ%©!$# (#þqßJn=sß £r& 5=n=s)ZãB tbqç7Î=s)Ztƒ
 kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

þÎTrãä.øŒ$$sù öNä.öä.øŒr& (#rãà6ô©$#ur Í< Ÿwur Èbrãàÿõ3s? ÇÊÎËÈ  
 karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu[40], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
 bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  

 dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah[41]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.

Sebagian ulama menjadikan ihsan sebagai dasar ilmu tasawuf, yaitu aspek batin dari ajaran Islam, hadist nabi ;
ihsan ; hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatnya, maka seseungguhnya Dia melihatmu”.
Muhammad Al Aqqad mengambil kesimpulan bahwa surat Al Kahfi ayat 65-82 yang menceritakan kisah pertemuan nabi Musa as. dan nabi Khidhir as. adalah sebagai sumber-sumber tasawuf,  dan masih banyak lagi ayat dan hadits yang mengindikasikan/ menjadi pintu masuk dunia tasawuf.
Ayat-ayat lain :
uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ  
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,

$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ  
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
ö@è% ¾ÍnÉ»yd þÍ?ŠÎ6y (#þqãã÷Šr& n<Î) «!$# 4 4n?tã >ouŽÅÁt/ O$tRr& Ç`tBur ÓÍ_yèt6¨?$# ( z`»ysö6ßur «!$# !$tBur O$tRr& z`ÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÊÉÑÈ  
Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik".
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Maksudnya liya’rifuni (agar dapat mengetahui Aku), barang siapa tidak dapat mengetahuinya, maka bagaimana dia akan bisa beribadah kepadanya? Maka makrifah itu sesungguhnya akan menghantarkan pada pembukaan jiwa dari penutup yang menutupi hati, dengan membersihkan dan mensucikan hati, maka akan dapat melihat keindahan.[42]
÷ŽÉ9ô¹$#ur y7|¡øÿtR yìtB tûïÏ%©!$# šcqããôtƒ Næh­/u Ío4rytóø9$$Î/ ÄcÓÅ´yèø9$#ur tbr߃̍ム¼çmygô_ur ( Ÿwur ß÷ès? x8$uZøŠtã öNåk÷]tã ߃̍è? spoYƒÎ Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# ( Ÿwur ôìÏÜè? ô`tB $uZù=xÿøîr& ¼çmt7ù=s% `tã $tR̍ø.ÏŒ yìt7¨?$#ur çm1uqyd šc%x.ur ¼çnãøBr& $WÛãèù ÇËÑÈ  
dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ  
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.


E.       SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
1.       Kronologi
Ilmu tasawuf tersusun, terkodifikasi dan terformulakan berkembang pada abad ke-2 Hijriyah, seiring dengan kemajuan Islam dan dalam berbagai khazanah keilmuan dan peradaban yang selanjutnya banyak menimbulkan polemic dan perdebatan sengit yang tidak kunjung usai yang telah mempetak-petakan ummat baik dalam bidang ilmu kalam (aqidah), fiqh (madzhab), dan tasawuf (thariqat).
Kemunculan tasawuf terbentuk dari renungan dan penelitian serta keprihatinan terhadap keadaan ummat yang tenggelam dalam bidangnya masing-masing dan terjebak dalam perdebatan yang tidak sehat, selain itu, nilai ibadah yang hanya sampai pada aspek menggugurkan kewajiban syariat semata tanpa memiliki ruh dari tujuan syariat itu sendiri, sehingga dirasa hampa/gersang, sebagaimana dikutip dari HAMKA bahwa “syariat tanpa hakekat menjadi bangkai tak bernyawa, hakekat tanpa syariat menjadi nyawa tak bertubuh” [43].
Dalam sejarahnya, tasawuf melewati fase-fase yang panjang yang bermula sejak zaman Nabi Muhammad saw. Al-Qonuji menukil pendapatnya Imam al-Qusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu sendiri, namun orang yang hidup pada generasi pertama bersama Nabi SAW tidak disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas dan mulia bagi mereka selain sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi kedua yang di kenal dengan nama tabi’in.
Di dalam fase-fase tersebut terdapat perubahan-perubahan yang mendasar tentang keyakinan dan amalan di dalamnya. Berikut penulis nukilkan dari Abdullah Taslim:
“Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat  bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya. (Majmu’ Al Fatawa 11/6). Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka.” (Talbis Iblis hal 161). Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah swt[44].”

Lain halnya dengan HAMKA, sebagaimana dikutip oleh Bani Sudardi, bahwa kata tasawuf mulai terdengar di penghujung abad 2 H. yang pertama-tama mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim dari Kufah (150 H/761 M) tokoh ini menjalankan kehidupan rohani dengan cara hidup sangat sederhana  dan meninggalkan kemewahan duniawi[45]. Perkembangan selanjutnya, kaum syiah di Kufah pun ikut andil dalam pengembangan tasawuf yang diketuai oleh Abdak As Sufi dan meninggal di Bagdad 825 M. diantara tokoh Syiah yang terkenal adalah Jabir bin Hayan seorang ahli kimia[46]. Sedangkan di Irak yang terkenal adalah Hasan Al Basri ( 110 H) dan sebagaian mengatakan Hasan Al Basri lah yang pertama,  dan Sufyan Al Tsauri (161 H) tapi lebih intens di bidang fiqih, dan konon karena saking zuhudnya dia menolak tawaran khalifah untuk menjadi hakim. Di Khurasan, Persia muncul Ibrahim bin Adham (162 H). di Madinah muncul Ja’far al Sadiq (148 H) dari ahlil bait,  imam ke enam dari Syiah dua belas[47].

2.       Periode Pertama (Abad 1-2 H), Masa Kemunculan
Perkembangan tasawwuf dalam tradisi Islam dapat dikatakan berbarengan dengan kemunculan Islam itu sendiri. Perilaku dan kehidupan Nabi yang tak sedikitpun berkeinginan untuk menjadikan dunia sebagai tujuan, kita dapat menemukan akar tasawuf pada dirinya. Untuk membuka selubung penutupnya dari makrifat kepada Tuhan, Nabi seringkali memperpanjang ibadahnya. Aisyah, isterinya yang paling tersayang menuturkan bahwa Nabi kerap shalat hingga memar kakinya, akibat terlalu lama[48]. Tak jarang Nabi juga tidak menemukan sesuatupun untuk dimakan, yang membuatnya mengganjal perutnya dengan batu. Sifat tidur Nabi beralaskan pelepah kurma sehingga membuat punggungnya memerah[49].
Semua kesalehan dan kebaikan Nabi, termasuk kepada musuh-musuhnya juga merupakan satu tauladan yang layak diikuti oleh pengikutnya. Tradisi Nabi yang demikian saleh lantas dilanjutkan oleh generasi sahabat[50]. Laku tasawuf yang dijalankan para salaf al-salih ini berpondasikan hikmah-hikmah Illahiyah yang tertera dalam Al-Quran dan Hadist. Saat itu masyarakat Islam awal belum banyak bersentuhan dengan peradaban lain, sehingga kemungkinan masuknya pengaruh asing terhadap diskursus tasawuf sangat kecil sekali. Orang-orang generasi pertama mendapatkan ajaran pengendalian hawa nafsu, pendekatan diri pada Tuhan, pendermaan/ menafkahkan harta demi kejayaan agama, itu semua mereka dapatkan dari Kitabullah, Sunnah Nabi dan tradisi para sahabat.
Ali Sami Nasyr, cendekiawan Mesir kontemporer membagi golongan pelaku tasawuf dalam periode ini menjadi dua bagian, yaitu golongan zahid dan sufi. Ia tak sendirian dalam tipologisasinya ini. Sebelumnya, ulama klasik juga melakukan hal yang sama. Tercatat Ibnu Jauzi dalam Talbis Iblis dan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya juga membagi umat Islam periode awal menjadi dua golongan.
a.       Golongan zahid, makna zahid yang dimaksud adalah dinisbatkan kepada mereka yang beriman kepada Nabi yang melakukan segala yang diperintah Nabi dan menjauhi larangannya. Terma zahid pada era ini dapat disematkan kepada hampir mayoritas umat Islam (sahabat). Meskipun tidak semua dari mereka terkenal dengan kesalehannya, namun mengingat kedudukan mereka yang hidup bersama Nabi mendapat pujian berkali-kali dari Allah. Seperti disitir dalam hadist yang sangat legendaris bahwa golongan yang paling baik adalah mereka yang hidup di zaman Nabi (sahabat), kemudian diikuti golongan sesudahnya (tabiin) dan sesudahnya (tabi al-tabiin)[51].
b.      Golongan kedua (tasawuf) adalah mereka yang menempuh jalan dan metode-metode latihan khusus (riyadlah) dalam rangka beribadah kepada Allah. Mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya sehingga membuat mereka memilih menjauh masyarakat, tidak tersibukkan dengan urusan dunaiwi, memutuskan untuk hidup semata-mata untuk Allah. Mereka inilah yang merupakan cikal bakal tasawuf dalam tradisi Islam.

Pendapat Ibnu Jauzi diatas juga diamini Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa tasawuf selalu dimulai dari zuhud[52], Lebih lanjut Ibnu Khaldun menambahkan bahwa di kalangan ahli tasawuf mempunyai ilmu khusus yang membedakannya dengan golongan lain. Sementara ahli fikih, hadist, dan tafsir mengembangkan keilmuannya masing-masing maka golongan tasawuf memiliki keilmuan tentang mujahadah, pembersihan hati, pendekatan diri kepada Tuhan, Cinta kepada Tuhan dan lain lain[53].
Meskipun, seperti disinggung oleh Ibnu Khaldun di atas, pembagian kedua golongan tadi menggunakan kalimat ‘tasawuf’, namun sebenarnya pada masa itu, kalimat tasawuf belum dikenal oleh masyarakat. Mereka mempunyai kalimat tersendiri untuk menamakan beberapa golongan tertentu di kalangan mereka, yaitu;
a.        Sahabat, adalah  (secara umum) mereka yang beriman dan hidup bersama Nabi. Dan gelar ini merupakan gelar yang paling mulia karena berasal dari Allah dan Rasul-Nya sendiri.
b.      tabiin adalah bagi mereka yang hidup setelah generasi ini (sahabat)
c.       tabii al-tabiin adalah generasi berikutnya (setelah tabi’in).
d.      qurra adalah gelar yang disematkan bagi para ahli tafsir dan Al-Quran.
e.      Fakih adalah gelar bagi mereka para pakar hukum.
f.        zahid adalh gelar bagi orang-orang yang menempuh jalan khusus untuk mendekati Tuhan.



3.       Periode Kedua (Abad 3-4 H), Masa Kematangan
Dr. Abu Wafa Tiftazani mengatakan bahwa pada fase ini merupakan fase kematangan ilmu tasawuf. Para tokoh-tokoh fenomenal tasawuf semisal Al-Muhasibi, Al-Junaid, Al-Hakim Al-Tirmidzi dan Al-Hallaj hidup di masa ini.
Pada masa ini, pemahaman terhadap makna tasawuf bisa dikatakan mulai tergabung antara aspek teoritis dan praksis, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa para sufi sudah mulai meninggalkan Al-Quran dan Hadist. Hanya saja pemahaman mereka terhadap petuah-petuah Al-Quran mulai dikembangkan dengan ilmu-ilmu baru hasil persinggungan mereka dengan budaya asing. Pada masa ini, para tokoh-tokoh sufi mulai berani menyeru kepada khalayak ramai terkait pandangan-pandangan sufistik mereka[54]. Pandangan itu kemudian dipadu dengan penekanan pada sisi ilmiah untuk melunakkan keyakinan massa. Mereka mengajak untuk meninggalkan dunia karena tidak ada yang abadi di dunia ini, karena akhirat merupakan rumah abadi. Mereka menganjurkan untuk hidup zuhud karena dengan perilaku zuhud dapat mengurangi hawa nafsu yang menjauhkan manusia dari Tuhannya.
Jaman ini juga dikenal dengan jaman pertama sistematisasi teori-teori sufi dan penyusunan kitab-kitab induk ilmu tasawwuf. Disamping juga berkembang pembahasan mengenai alam metafisika, realitas transenden, dan bagaimana manusia yang imanen untuk memasuki alam transenden. Dari pembahasan inilah kemudian muncul pembahasan mengenai ahwal, maqamat rahasia-rahasianya, serta cara-cara untuk membawanya ke arah akhlak terpuji. Tasawuf pada fase ini tak ubahnya sebagai ilmu khusus yang berdiri sejajar dengan ilmu tafsir, hadist, fiqh yang lebih dahulu berkembang.
Karakteristik lain yang membedakan fase ini adalah masuknya pengaruh asing akibat semakin meluasnya kekuasaan Islam. Akibat interaksi antar kebudayaan yang sangat intens, maka kemudian banyak sekali masuk pemikiran-pemikiran dan pandangan asing ke dalam benak umat Islam[55]. Maraknya gerakan penerjemahan buku-buku asing di Baitul Hikmah semakin menambah majemuk kompleks pemikiran umat Islam.
Sejak paruh terakhir abad ketiga Hijriah marak berkembang kelompok-kelompok tarekat sufi. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang mursyid yang memiliki aturan-aturan dan metode-metode khusus[56]. Bagi para murid, mencapai kesempurnaan ilmu dan amal, mereka diwajibkan mematuhi dan mengikuti apa yang ditunjukkan oleh mursyidnya tersebut.
Beberapa pandangan baru dalam tasawuf diperkenalkan pada periode ini. Diantaranya adalah pandangan mengenai al-hubb al-ilahy (cinta kepada Tuhan) yang dipopulerkan oleh Sufi wanita terpandang, Rabiah Adawiyah, dan makrifat yang dikenalkan oleh Dzun Nun Al-Mishry[57].
 Abu Wafa Tiftazani menuturkan bahwa pada zaman ini tasawuf telah menjadi jalan menuju makrifat setelah sebelumnya menjadi jalan untuk ibadah saja. Era ini merupakan era permulaan tasawuf teoritis[58]. Kita juga menggaris bawahi bahwa pada fase ini muncul dua kecenderungan berbeda aliran tasawuf.
a.       Pertama adalah aliran mu’tadilin yang masih berpegang pada ajaran Al-Quran dan Sunnah. Tasawuf mereka lazimnya menekankan pada aspek etika yang berhubungan langsung dengan Tuhan.
b.      Sedangkan kecenderungan kedua ialah mereka yang terkontaminasi dengan peradaban asing. Di kalangan mereka mulai dibicarakan masalah-masalah baru seperti konsep hulul, ittihad, dan fana’. Eksesnya jelas, semakin banyak sufi yang kerap melontarkan celetukan (shathhaat) aneh yang apabila dilihat secara dhahir bisa mengakibatkan mereka keluar dari agama.
Sebagai sufi kelompok pertama mungkin kita bisa memasukkan nama-nama seperti Abu Harist Al-Muhasibi, Al-Hakim Al-Turmudzi, dan Al Junaid. Sementara kecenderungan kedua dapat diwakili oleh Sufi eksentrik, Al-Hallaj.

4.       Tasawwuf Di Fase Ketiga (Abad 5 H)
Pada abad ke-5 H, aliran mu’tadil nampak berkembang sangat pesat sementara golongan kedua terlihat kehilangan tokoh-tokoh utamanya. Pada abad ini kita mengenal dua orang yang merupakan tokoh sufi paling besar yang dimiliki peradaban Islam, yaitu Al-Qusyairi dan Al-Ghazali. Barangkali yang menjadi faktor utama kemunduran golongan sufi falsafi disebabkan ketika itu dominasi Ahlu Sunnah Wal Jamaah sangat kuat.
Golongan Sunni yang didukung oleh penguasa dan banyak masyarakat memenangi pertarungan ideologi dengan gerakan-gerakan oposisi yang memiliki pemahaman di luar mainstream. Puncak dari kemenangan ideologi Sunni dapat dikatakan ada pada dua momen.
a.       Pertama, ketika Abu Hasan Al-Asyari, seorang Muktazilian yang membelot ke Ahlu Sunnah gencar melontarkan kritik-kritik tajam kepada ideologi lain, tak terkecuali pemikiran-pemikiran yang dianut oleh para sufi yang dikatakan ‘menyimpang’ seperti Al-Hallaj, Al-Bushtami dan sebagainya.
b.      Kedua, Puncak kemenangan yang lebih gilang gemilang ada pada saat Al-Ghazali dengan berbagai macam pendekatan keilmuan melakukan kritik mematikan bagi ideologi dan paham non-Sunni[59]. Dalam diskursus tasawuf, Al-Ghazali dengan cerdas mampu menjelaskan ajaran-ajaran tasawuf dan menghubungkannya dengan tauhid, sehingga di tangannya, tasawuf tidak hanya bermakna jalan untuk berihal.badah, khalwat, taqarub ila Allah, Mujahadah, riyadhah, saja akan tetapi juga seruan untuk memperhatikan sisi psikologis dari manusia, ajakan kepada golongan awam dengan pendekatan yang sesuai dengan kadar berpikir mereka serta mampu mengintegrasikan tasawuf sebagai ilmu yang memiliki aspek teoritis sekaligus praktis.

5.       Tasawuf Di Fase Ke Empat (Abad 6-7 H)
Periode ini dikenal dengan masa keemasan tasawuf falsafi yang sempat redup di fase ketiga. Meskipun tidak sebanyak pengikut tasawuf sunni, pada masa ini tasawuf falsafi begitu berkembang pesat, karena memiliki tokoh-tokoh yang mumpuni seperti Ibnu Arabi. Tasawuf falsafi sendiri berarti tasawuf yang mengkombinasikan antara pengalaman intuisi mereka dengan pemahaman rasional yang coba mereka kembangkan dalam memaknai celetukan-celetukan hati. Tasawuf ini banyak mendapat pengikut dari kalangan Syiah di Persia. Lantaran tradisi rasionalitas yang telah membumi sejak era Persia purba sehingga memungkinkan tasawuf falsafi lebih mudah diterima oleh masyarakat Persia[60].


6.       Tasawuf di Indonesia
Diperkirakan Islam masuk ke Nusantara melalui wilayah Melayu (jazirah Malaka, Aceh, Sumatra Timur, Sumatra barat) dan di wilayah ini pula Islam dapat berkembang secara mantap dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Adapun para pedagang telah terlebih dahulu masuk, namun masih sebatas hubungan dagang. Masuknya tasawuf di Nusantara bersamaan dengan masuknya Islam di Nusantara. Bukti masuknya Islam tertua adalah batu nisan makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah di Leran Gresik yang bertuliskan tahun 1082 M[61]. Bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar As Shidiq, Umar bin Khotob, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib) memerintah sudah memulai ekspedisinya ke Nusantara[62], bahkan menurut HAMKA, pada tahun 674-675 M. Mu’awiyah bin Abi Sufyan meneruskan perjalanannya dari China hingga pulau Jawa  dengan menyamar sebagai pedagang memasuki wilayah kerajaan Kalingga[63].
Dalam pembahasan Azyumardi Azra, bahwa abad ke 12 adalah waktu yang paling memungkinkan adanya Islamisasi di kepulauan Melayu-Indonesia. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa menjelang perempat ketiga abad ke 7 seorang Arab pernah tinggal dan menjadi pemimpin permukiman Arab Muslim di pesisir barat Sumatra, dan Islam masuk Nusantara secara langsung dari tanah Arab, bukan dari Persia/ India[64], bukan pada abad ke 12 atau bahkan ke 13, melainkan pada abad pertama hijriyah atau abad ke -7 M[65].
Sufisme sering dikaitkan dengan penyebaran Islam di Nusantara terutama setalah abad ke 13. Pakar sejarah seperti A.H. Johns mengungkapkan bahwa para syeikh  sufi pengembara yang berasal dari bagian tertentu di Timur Tengah memainkan peranan penting dalam konversi penduduk local ke dalam Islam dalam skala luas sejak masa tersebut dan selanjutnya. Konversi massal dimaksud adalah kemampuan para guru sufi menghadirkan Islam dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan kontinuitas tradisi dari pada perubahan frontal dalam kepercayaan dan praktik tradisi keagamaan local. Oleh karena itu, model Islam yang tersebar pada fase awal  Islam di Nusantara adalah model Islam sufisme-sinkretis[66] yang (kadang) dalam hal-hal tertentu tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam itu sendiri[67].
Menurut Aboebakar Atjeh, pada abad ke-4 dan ke-5 H, paham-paham sufi dan tasawuf sedang tersiar luas dan mendapat perhatian lebih dari masyarakat Islam, maka bersamaan pula Islam & tasawuf tersebut masuk ke Nusantara[68], dan bahkan tasawuf  lebih menarik bagi masyarakat untuk dipelajari dari pada ilmu fiqih, ushul fiqh, manthiq, balaghoh, dan akhlaq[69].
Maka masuk pula paham wihdatul wujud menurut tafsiran Junaid dan Hallaj dan paham lain. Di Jawa ada Wali Songo (ahlus sunnah)[70], pengikut paham Al Hallaj seikh Siti Jenar, Sunan Punggung/Malang Sumirang (putra Sunan Kali Jaga)[71], Seikh Among Raga (pada masa Sultan Agung)[72], dan generasinya Mutamakkin dan berseberangan dengan katib Anom Kudus sebagai pembela syariah[73]. Di Sumatra paham wihdatul wujdu disebarkan oleh Hamzah Fansuri (Aceh)[74] dan Syamsuddin As Sumatrani, di Kalimatan ada Haji Abdul Hamid Abulung dan generasi selanjutnya berpaham wihdatus syuhud adalah Nurudin Ar Raniri (Aceh) dan Abdul Rauf As Singkeli (Aceh) di Pelembang ada Abdus Samad Al Jawi Al Palembangi, Syihadbuddin bin Abdullah Muhammad, Kemas Fakhrudin, Dawud bin Abdillah Al Fatani[75] di Makasar ada Syeikh Yusuf[76] dan Muhammad Arsyad Al Banjari, dan yang lainnya
Adapun tentang aliran/madzhab atau pun thariqat dalam tasawuf serta inti ajarannya, akan penulis cantumkan pada bagian lain buku ini. Intinya adalah kita semestinya memberikan apresiasi tinggi kepada para wali[77] yang menyebarkan Islam di Nusantara –terlepas dari masalah perselisihan tasawuf yang ada didalamnya- yang dapat meng-konversi-kan anatara Islam dengan ajaran/budaya/tradisi local sehingga Islam mudah diterima dan tumbuh subur.

F.       TOKOH-TOKOH TASAWUF
1.       Timur Tengah
a.       Di Irak yang terkenal adalah Hasan Basri (21-110 H/ 642-728 M) Lahir di Madinah dari seorang budak yang dimerdekakan, kemudian tinggal di Bashrah / Irak pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Beliau juga sebagai rawi dalam silsilah sufi/thariqot, juga madzhab ilmu kalam.
b.      Rabi’ah Al Adawiyah (95-185 H/713-801 M) lahir di bashrah dari keluarga sangat miskin dan masa kecilnya diculik, dijual sebagai budak. Ia menjalani kehidupan asketisme yang ekstrem dan mengajarkan pada para pengikutnya tentang mahabbah (cinta kepada Allah) dan uns (kedekatan dengan Tuhan), pendapatnya tentang manusia adalah bahwa eksistensi manusia itu sendiri adalah merupakan sebuah dosa (zanb), sebab yang paling nyata dan benar adalah Tuhan[78].
c.       Abu Hasyim dari Kufah (150 H/761 M) tokoh ini menjalankan kehidupan rohani dengan cara hidup sangat sederhana  dan meninggalkan kemewahan duniawi[79].
d.      Perkembangan selanjutnya, kaum syiah di Kufah pun ikut andil dalam pengembangan tasawuf yang diketuai oleh Abdak As Sufi dan meninggal di Bagdad 825 M.
e.      Diantara tokoh Syiah yang terkenal adalah Jabir bin Hayan 9103-160 H / 721-776 M) seorang ahli kimia[80]. Riwayat lain mengatakan bahwa ia bukan seorang muslim, tetapi Harrarian dari kalangan Harrarian “Sabian” di Syiria Utara, di Eropa terkenal dengan nama Geber[81].
f.        Sufyan Al Tsauri (161 H) tapi lebih intens di bidang fiqih, dan konon karena saking zuhudnya dia menolak tawaran khalifah untuk menjadi hakim.
g.       Di Khurasan, Persia muncul Ibrahim bin Azham (162 H) seorang sufi tersohor yang lahir dari kalangan penguasa Balkh. Ia pertama kali belajar kehidupan sufistik justru pada seorang pendeta yang mengajarkan tentang “ma’rifah” yang bernama Simoen[82].
h.      di Madinah muncul Ja’far al Sadiq (80-148 H/699-765 M) dari ahlil bait,  sebagai ulama ia menguasai ilmu keislaman, mistisme, pakar kosmologi dan juga ahli kimia. Di Madinah mempunya banyak murid termasuk Imam Abu Hanifah dan Malik ibn Anas[83], dan ssebagai sufi besar maka namannya pun masuk dalam sanad silsilah madzhab-mazdhab thareqot termasuk kalangan sunni. Kalangan Syi’ah menyebutnnya seebagai pendiri madzhab fiqh ja’fary, dan dinobatkan sebagai imam ke enam dari Syiah dua belas[84].
i.         Syaqiq Al Balkhi (195 H)
j.        Ma’ruf Al Kharkhi (200 H)
k.       Sari Al Shaqathi (257 H)
l.         Dzun Nun Al Mishri (180-245 H/796-859 M) seorang sufi Mesir yang memiliki kecakapan pengetahuan tentang kimia dan pengetahuan tentang cahaya. Ia terkenal karena memiliki rangkaian silsilah ilmu-ilmu spiritual bangsa Mesir kuno[85].
m.    Abul Qoim ibn Muhammad al Junaid Al Baghdadi (w.297 H/910 M) tokoh sufi pada masa awal yang mengajarkan sufi di Baghdad, dia juga murid dari sufi besar Sari Al Shaqathi. Al Junaid menentang pandangan al Hallaj, Al Bisthami, tentang wihdatul wujud. Ia menyampaikan sufi dengan cara sistematis dan lugas, berusaha memadukan mistisisme dalam kehidupan sehari-hari. Ia berusaha menegakkan ajaran esotorik ortodoks. Ia cenderung pada aspek kesadaran (syuhud) dalam soal pendekatan menuju makrifat[86].
n.      Abu Yazid Al Bisthami (260 H) lahir dan meninggal di Bistam utara Persia, dia sering ddesebut sebagai sufi “yang mabuk” lantaran terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan di dalam dirinya seperti kata subhani (maha suci aku). Ia menganut keyakinan Zoroastria[87].
o.      Abu Thalib Al Makki (386 H)
p.      Abul Qosim Al Qusyari (w.465 H/1072 M) seorang sufi Persia, yang menulis doktrin-doktrin sufisme yang dikenal dengan risalah qusyairiyah.
q.      Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111M)[88] seorang filosof, teolog, ahli hokum dan sufi besar. Di barat dikenal dengan nama “Algazel”, ia lahir dan meninggal di Thus, Persia. Ia pernah mengalami krisis keyakinan dan kesadaran selama empat tahun, ia mengembara  ke Yerusalem, Hebron, Makkah, Madinah dan kemudian memantapkan hati dalam bidang sufisme[89]. Al Ghazali berhasil meredakan pertikaian pandangan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, meluruskan filsafat, dan juga mazdhab-mazdhab sufi.

2.       Indonesia
a.       Di Jawa ada Wali Songo yang diyakini sebagai ahlus sunnah, yang tegas dan konsekwen menentang bid’ah, menolak konsep emanasi[90], panteisme[91], dan menganut tasawuf Al Ghazali dan Abu Syamilli yang menyelaraskan fiqih syara’ dengan tasawuf. Alasannya adalah, mempelajari tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, maka besar kemungkinan menjadi zindiq  dan ingkar, mendekati Allah swt dengan meninggalkan syari’at[92].
b.      Pengikut paham Al Hallaj syeikh Siti Jenar, Sunan Punggung/Malang Sumirang (putra Sunan Kali Jaga)[93], Syeikh Among Raga (pada masa Sultan Agung)[94], dan generasinya Mutamakkin dan berseberangan dengan katib Anom Kudus sebagai pembela syariah[95].
c.       Di Sumatra paham wihdatul wujud disebarkan oleh Hamzah Fansuri (Aceh),[96]
d.      dan Syamsuddin As Sumatrani,
e.      di Kalimatan ada Haji Abdul Hamid Abulung
f.        dan generasi selanjutnya berpaham wihdatus syuhud adalah Nurudin Ar Raniri (Aceh)
g.       dan Abdul Rauf As Singkeli (Aceh)
h.      Abdul wahab Rokan dari Langkat
i.         di Pelembang ada Abdus Samad Al Jawi Al Palembangi,
j.        Syihabuddin bin Abdullah Muhammad,
k.       Kemas Fakhrudin,
l.         Isma’il al Minangkabawi
m.    Ahmad Khathib Sambas Ibn Abdul Ghaffar.
n.      Dawud bin Abdillah Al Fatani[97]
o.      di Makasar ada Syeikh Yusuf[98]
p.      dan Muhammad Arsyad Al Banjari, dan yang lainnya
q.      di Tasikmalaya ada Abdullah al Mubarak Ibn Nur Muhammad dan generasinya adalah KH. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin, di pesantren Suryalaya.
r.        Syekh Muslim ibn Abdul Rahman dari Mranggen Demak, Jawa Tengah
s.       KH. Romly Tamim dari pesantren Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur.





[1] Bani Sudardi, 2003, Sastra Sufistik, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, hal  14
[3]Harun Nasution, 1991, Kedudukan Tasawuf Dalam Islam, dalam Thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyyah sejarah, asal-usul dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, hal 11
[4] Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh jilid 1, hal.34)
[5] Nurcholish Madjid, 1992, Islam doktrin dan peradaban ; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, Paramadina, Jakarta, hal.261
[7] Abdullah Taslim, Hakekat Tasawuf, www.muslim.or.id dan dalam http://dear.to/abusalma.
[8] Bani Sudardi, Op.cit. hal 14
[9] Bani Sudardi.ibid. hal. 14
[10] Aboebakar Atjeh, 1984, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, CV. Ramadhani, Solo, hal 25
[12] Faham yang mempraktikan kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban (KBBI, hal. 71)
[13] Cyril Glasse, 1999, Ensiklopedi Islam (ringkas), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 369.
[14] Abdullah Taslim, Hakekat Tasawuf, www.muslim.or.id dan dalam http://dear.to/abusalma. (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal.13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali)
[15] Abdullah Taslim, op.cit
[16] Bani Sudardi, hal 13.
[17] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1097
[18] Loc.cit. hal 28
[19] Bani Sudardi. Hal 15
[21] Ibn Khaldun, Muqoddimah, penerjemah Ahmadie Thoha, 2000, cet 2, Pustaka Firdaus, Jakarta,  hal. 623
[22] Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit Umat islam Masa Kini Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi), yayasan Al Hakim, Jakarta, hal. 42-43
[23] Mulyadi Kertanegara, 2006, Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta, Erlangga, hal.6-8
[24] Ibn Khaldun, Muqoddimah, penerjemah Ahmadie Thoha, 2000, cet 2, Pustaka Firdaus, Jakarta, hal. 628-629
[25] Aboebakar Atjeh, (1984), Pengantar sejarah sufi & tasawuf, Ramadhani, Solo, hal. 36-37.
[26] Ibib, hal 38
[27] Ibid
[29] Nurcholish Madjid, 1992, Islam doktrin dan peradaban ; sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemodernan, Paramadina, Jakarta,Hal. 260
[30] Tengku Zulkarnain, hal 78
[31] Ibid. hal 93
[32] Nurcholish Madjid, ibid, hal. 266
[33] Ibid. hal 95-96
[34] Harun Naasution, 1991, Kedudukan tasawuf dalam Islam, editor, Thoroqot Qodiriyah naqsabandiyah, sejarah, asal-usul dan perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, hal 7.
[35] Gus AA dan Ziyad At Tubany, 2006, Membaca dan memahami konstruksi Al Quran, Jakarta, Indomediagroup, hal. xiii
[36] Cyril Glasse, 1999, Ensiklopedi Islam (ringkas), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 375. 
[37] Juhaya S. Praja, 1991, TQN Pondok pesantren Suryalaya dan perkembangannya pada masa Abah Anom  (1950-1990), Editor Harun Nasution, Thoriqot Qodiriyah naqsabandiyah, sejarah, asal-usul, dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, Hal.153-154
[38] Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.
[39] Menurut mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[40] Maksudnya: aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.
[41] Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah.
[42] Ahmad Shohibu Wafa Tadjul ‘Arifin, 1991,  Miftahus Shudur Juz 1, fasal 1, Tasikmalaya, hal. 5
[43] Syaikh Zaenudin bin Ali Al malibari dalam kitab Al Azkiya :
ﺃﻟﺸﺭﻴﻌﺔ ﺒﻼ ﺣﻗﻴﻘﺔ ﻋﺎﻄﻟﺔ ﻮﺍﻟﺣﻗﻴﻘﺔ ﺒﻼ ﺸﺭﻴﻌﺔ ﺒﺎﻄﻟﺔ
[44] Abdullah Taslim, www.muslim.or.id dan dalam http://dear.to/abusalma
[45] Bani Sudardi hal. 16
[46] Aboebakar Atjeh, hal 53
[47] Harun Nasution, 1991, Kedudukan Tasawuf Dalam Islam, dalam Thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyyah sejarah, asal-usul dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, hal 6
[48] Bani Sudardi, Ibid, hal 16
[49] Aboebakar Atjeh, Ibid, hal.41
[50]  Bani Sudardi, Ibid.
[51] ﺧﻴر اﻟﻘرﻮﻦ ....اﻟﺦ
[52] Ibn Khaldun, Ibid, hal 624
[53] Ibn Khaldun, ibid, hal 626-627
[54] Aboebakar Atjeh, Ibid, hal. 54-55
[55] Ibid, hal 56-57
[56] Ibid. hal, 58
[57] Ibid, hal 57
[58] Ibid, hal 58
[59] Bani Sudardi, Ibid, hal. 19-20
[61] Bani Sudardi, hal 25-26
[62] Herry Nurdi, Risalah Islam Nusantara,  Sabili, edisi khusus no.9 th.XI 2003 Sejarah Emas Muslim Indonesia, hal 10.
[63] Ibid,  Hal 14.
[64] Aboebakar Atjeh,  hal 369
[65] Azyumardi Azra, 2002,  Islam Nusantara, jaringan global dan local, Mizan, Bandung, hal 24-28.
[66] Islam perpaduan dengan budaya/tradisi keagamaan lokal (Hindu-Budha)
[67] Ibid,  hal 110
[68] Aboebakar Atjeh, hal 369
[69] Azyumardi Azra, hal 111
[70] Hery D. Kurniawan, Dakwah Syariat Islam Wali Sanga, Sabili, edisi khusus no.9 th XI 2003 Sejarah Emas Muslim Indonesia, hal 22.
[72] Azyumadri Azra, hal 117-118
[73] Mark R. WoodWard, 1999, Islam Jawan Kesalehan Normatif versus kebatinan,I Penerjemah Hairus salim, LKiS, Yogyakarta Hal. 153-154
[74] Aboebakar Atjeh, hal 369
[75] Azyumardi Azra, hal 129-130
[76] Bani Sudardi, Hal 42-64
[77] Mohamad Sobary,1996, kebudayaan Rakyat Dimensi Politik dan Agama, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, hal 108
[78]  Cyril Glasse, ibid. Hal. 337
[79] Bani Sudardi, 2003, Sastra Sufistik, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo, hal. 16
[80] Aboebakar Atjeh, 1984, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, CV. Ramadhani, Solo,, hal 53
[81] Cyril Glasse, bid, hal. 189
[82] Cyril Glasse, bid, hal. 157
[83] Cyril Glasse, Ibid,  hal 189-190
[84] Harun Nasution, 1991, Kedudukan Tasawuf Dalam Islam, dalam Thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyyah sejarah, asal-usul dan Perkembangannya, IAILM, Tasikmalaya, hal 6
[85] Cyril Glasse, ibid, hal 454
[86] Cyril Glasse, Ibid, hal 197-198
[87] Cyril Glasse, ibid hal 61-62
[88] Tengku Zulkarnain, 2004, Salah Faham Penyakit Umat Islam Masa Kini Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym (edisi revisi), yayasan Al Hakim, Jakarta, Hal 77-78
[89] Cyril Glasse, Ibid, hal 106-107
[90] Konsep pancaran
[91] Paham wihdatul wujud, paham yang menyamakan Tuhan dengan kekuatan-kekuatan dan hokum-hukum alam semesta.
[92] Hery D. Kurniawan, Dakwah Syariat Islam Wali Sanga, Sabili, edisi khusus, no 9 th xi 2003, hal 22
[94] Azyumardi Azra, 2002,  Islam Nusantara, jaringan global dan local, Mizan, Bandung, hal 117-118
[95] Mark R. WoodWard, 1999, Islam Jawan Kesalehan Normatif versus kebatinan,Penerjemah Hairus salim, LKiS, Yogyakarta Hal. 153-154
[96] Aboebakar Atjeh, hal 369
[97] Azyumardi Azra, hal 129-130
[98] Bani Sudardi, Hal 42-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar