IMPLEMENTASI TQMIE DALAM PENINGKATAN MUTU PAI
(Implementation Total Quality Management
in Quality
Improvement of Islamic Education)
Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Manajemen
Kurikulum Pendidikan Islam
Pengampu : Dr. H. Rahmat Raharjo, M.Ag.
Disusun oleh :
Nama
: SAEBANI HIMAWAN
Kelas
: A
NIRM
: 130126
Prodi
: Manajemen Pendidikan
Islam
PROGRAM PASCA
SARJANA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU)
KEBUMEN
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………… 1
BAB II
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
A. Definisi ………………………………………………………………………………………. 3
B. Komponen Kesuksesan
………………………………………………………………. 4
C. Tujuan dan Manfaat
MBS……………………………………………………………. 5
D. MBS sebagai Pendorong Kesuksesan
…………………………………………. 6
BAB III
SISTEM MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQMIE/MMTP)
A. Konsep Mutu
…………………………………………………………………………….. 7
B. Standar Mutu
…………………………………………………………………………….. 8
C. Prinsip Mutu
………………………………………………………………………………. 10
D. Komponen TQMIE/MMTP …………………………………………………………. 10
E. Strategi Implementasi TQMIE/MMTP
……………………………………….. 10
BAB IV
KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN TERPADU PENDIDIKAN
A. Komitmen Pimpinan …………………………………………………………………. 13
B. Peran Pimpinan Dalam Menuju
Kesuksesan ……………………………… 13
BAB V GUGUS
KENDALI MUTU PEMBELAJARAN PAI
A. Kerjasama Tim
…………………………………………………………………………… 16
B. Tujuan Gusus Kendali Mutu (QCC)
…………………………………………….. 17
C. Strategi Pembentukan Gugus Kendali
Mutu (QCC) …………………… 17
D. Faktor Penghambat kesuksesan
……………………………………………….. 18
E. Kunci Keberhasilan ………………………………………………………………….. 19
F. Hubungan Tim, Peningkatan Mutu PAI
dan Kurikulum 2013 ……. 19
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
……………………………………………………………………………… 20
B. Saran ……………………………………………………………………………………….. 20
DAFTAR
PUSTAKA
IMPLEMENTASI TQMIE DALAM PENINGKATAN MUTU PAI
(Implementation Total Quality Management
in Quality
Improvement of Islamic Education)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thesis :
Pembelajaran PAI di sekolah
tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya manajemen peningkatan mutu. (Saebani)
Hipotesis 1 ; Pembelajaran PAI di sekolah akan
dapat berjalan maksimal dengan dukungan manajemen mutu berbasis sekolah.
Hipotesis 2 ; Manajemen peningkatan mutu akan berjalan
baik dengan system TQMIE
Hipotesis 3 ; Manajemen peningkatan mutu akan
berhasil jika didukung oleh komitmen pimpinan.
Hipotesis 4 ; Peningkatan mutu pembelajaran PAI
akan maksimal dengan adanya peran dari gugus kendali mutu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembahasan ini dapat penulis kelompokkan menjadi empat
bagian, yaitu; Manajmenen peningkatan mutu berbasis sekolah, manajemen mutu
TQMIE, komitmen pimpinan, peran gugus kendali mutu.
Keywords : manajemen berbasis sekolah (MBS),
manajemen mutu (TQMIE), komitmen pimpinan, gugus kendali mutu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara
tentang pelaksanaan sebuah pembelajaran khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI)
tentunya tidak lepas dari beberapa hal, diantaranya berbicara masalah
kualitas/mutu. Ketika sudah berbicara tentang “mutu” maka akan terkait dengan
usaha/proses meraih mutu itu sendiri, yang tentunya ada pemahaman tentang mutu,
dan strategi untuk meraihnya yang terbungkus dalam manajemen peningkatan mutu.
Manajemen
peningkatan mutu menjadi sangat urgen dalam sebuah organisasi / lembaga
pendidikan yang mengeluarkan produk bukan barang mati, melainkan output /produk
itu adalah manusia yang memiliki beberapa dimensi, dan outputnya pun diharapkan
memenuhi standar kriteria kelulusan yang memiliki kompetensi untuk dapat hidup
dan eksis di masyarakat.
Ketika
pembelajaran (khususnya PAI) tidak didasari dengan konsep mutu, maka dapat
dipastikan bahwa proses pembelajaran dan output yang dihasilkan akan berkalitas
rendah dan tidak dapat sesuai dengan harapan kunsumen, dan jika hal ini terjadi tentunya akan merugikan bagi lulusan, dan
masyarakat pengguna pruduk, serta akan berakibat fatal bagi lembaga pendidikan
tersebut.
Selama ini,
pembelajaran PAI di sekolah bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap saja, dengan
fakta bahwa selama ini PAI tidak dijadikan sebagai bagian dari mata pelajaran
yang diuji-nasionalkan. Selain itu, dari segi alokasi waktu dan juga animo
siswa untuk menguasai materi-materi PAI dirasa kurang, dan siswa lebih
cenderung mengikuti les/ privat pada materi-materi yang diuji-nasionalkan.
Belum lagi stigma bahwa pembelajaran PAI berjalan asal jalan yang terkadang
kurang mendapat perhatian dari pihak lembaga/ sekolah. Hal ini bisa saja
terjadi karena tidak adanya konsep mutu dan system manajemen untuk peningkatan
mutu pembelajaran khususnya PAI. Oleh karena itu, manajemen peningkatan mutu
menjadi sangat penting bagi sekolah.
Penulis
beranggapan bahwa “Pembelajaran PAI di sekolah tidak akan berjalan maksimal
tanpa adanya manajemen peningkatan mutu”, di sisi lain penulis juga berasumsi
bahwa pengembangan manajemen peningkatan mutu akan menyangkut pada beberapa
anggapan, anatara lain; pembelajaran PAI di sekolah akan dapat berjalan
maksimal dengan dukungan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah.
Selain itu, manajemen peningkatan mutu akan berjalan baik dengan system
TQMIE/MMTP, dan manajemen peningkatan mutu akan berhasil jika didukung oleh
pemimpin yang komitmen, serta peningkatan mutu pembelajaran PAI akan kurang
maksimal tanpa adanya peran dari gugus kendali mutu.
Berangkat
dari pemikiran tersebut, dapat penulis rumuskan masalah sebagai berikut;
Bagaimana manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dapat mendukung
pelaksanaan pembelajaran PAI dengan baik? Bagaimana system peningkatan mutu
menurut TQMIE/MMTP? Bagaimana peran pimpinan dalam manajemen peningkatan mutu?
Bagaimana peran gugus kendali mutu dalam mendukung pembelajaran PAI di
sekoalah/madrasah? Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan
menjawab beberapa pertanyaan yang telah penulis rumuskan tadi, dengan lebih luas
dan mendalam sehingga dapat dengan mudah
untuk dipahami.
Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan kemudahan pemahaman bagi pembaca yang ingin
meningkatkan mutu pembelajaran PAI di sekolah dan dapat sebagai panduan
sederhana dalam usaha aplikasi manajemen mutu dalam sekolah/madrasah yang
membutuhkan.
BAB II
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah/Madrasah
A.
Definisi
MBS/M
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan nasional (UUSPN) pasal 51 ayat (1) menegaskan maksud MBS adalah
bentuk otonomi manajemen pendidikanpada satuan pendidikan, yang dalam hal ini
Kepala sekolah / Madrasah dan guru dibantu Komite sekolah/madrasah dalam
mengelola pendidikan[1].
Menurut Agus Wibowo, MBS adalah model manajemen yang
memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong penngambilan
keputusan bersama / partisipatif dari semua
warga sekolah dan masyarakat untuk mengelola sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan Nasional[2]. Sedangkan
menurut Jamal Ma’mur Asmani, MBS secara substansial adalah pemberian
wewenang/otoritas kepada sekolah untuk untuk mendayagunakan seluruh potensi
yang ada agar tercapai tujuan sekolah, yaitu menciptakan peserta didik yang
kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif[3].
Pengertian lain diberikan oleh Dadang Dally, MBS
adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi dan kemandirian kepada sekolah
dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung
seluruh warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan
pemerintah[4].
Menurut Darmaningtyas, MBS adalah suatu kerangka kerja
untuk mendemokratisasikkan praktik pendidikan[5]. Menurut
Larry J. Raynolds, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) didefinisikan dengan tiga
komponen utama, yaitu;
1. Delegasi otoritas
decision-making ke pihak sekolah menyangkut program pendidikan
termasuk kepegawaian, anggaran, dan program.
2. Penerapan
model decision-maker bersama pada
pihak sekolah oleh tim manajemen termasuk kepala sekolah, guru, orang tua
siswa, terkadang siswa dan masyarakat lainnya.
3. Ekspetasi
di mana MBS akan mendorong leadership sekolah dalam upaya perbaikan sekolah[6].
Menurut
Darmaningtyas, MBS adalah suatu kerangka kerja untuk mendemokratisasikkan
praktik pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam manajemen
berbasis sekolah (MBS), sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan
tentang pengelolaan sekolah. Dengan melihat kondisi sekolah, kondisi
lingkungan, maka sekolah dapat merencanakan dan menargetkan serta mengarahkan
tujuan sekolah.
B.
Komponen
Kesuksesan
Ada sembilan komponen kunci yang harus
diimplementasikan guna mencapai kesuksesan penerapan manajemen berbasis sekolah
/ madrasah, yaitu; 1) Mengadopsi perspektif system terpadu, 2) Memahami konteks
perubahan, 3) Mengembangkan perspektif dan leadership
skill, 4) Menciptakan visi bersama, 5) Mengembangkan skill perencanaan strategis, 6) Mendefinisikan peran baru, 7) Meningkatkan
suasana kerja, 8) Memahami dinamika kelompok, 9) Memperjelas akuntabilitas.[7]
Adapun menurut Jamal Ma’mur Asmani, mengutip dari buku
Pedoman manajemen Berbasis Sekolah, keberhasilan pelaksanaan MBS sangat
dipengaruhi olehbeberapa factor, baik factor internal dan eksternal, diantara
factor-faktor tersebut antara lain ; 1) Sosialisasi peningkatan kualitas
pendidikan, 2) Gerakan peningkatan kualiotas pendidikan, 3) Gotongroyong dalam
kekeluargaan, 4) Potensi kepala sekolah, 5) Organisasi forml dan optimal, 6) Organisasi
profesi, 7) Harapan terhadap kualitas pendidikan, 8) Input manajemen.
Sementara
dalam buku Pedoman Implementasi MBS terbitan Pulitbang Pendidikan Agama dan
Keagamaan, Jamal mengutip factor pendukung keberhasilan MBS terdiri dari; 1) Kepemimpinan
dan manajemen sekolah yang baik, 2) Keadaan social ekonomi dan pengahayatan
masyarakat terhadap pendidikan, 3) Dukungan pemerintah, 4) Profesionalisme.[8]
Dengan berbagai factor pendukung di atas, dapat
diasumsikan bahwa MBS mempunyai peran penting terhadap peningkatan kualitas
mutu pembelajaran khususnya PAI di sekolah.
C.
Tujuan dan
Manfaat MBS
MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan
sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada ssekolah dalam mengelola
sumberdaya sekolah serta mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat
untuk meningkatkan mutu pendidikan. Secara rinci, Agus Wibowo mengutip dari
Depdikanas, rincian tujuan MBS, sebagai berikut;
1. Meningkatkan
mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi,
transparansi, kerjasama, akuntabilitas, sustainibilitas, dan inisiatif dalam
pengelolaan, pemanfaatan dan pemberdayaan segala sumber daya yang dimiliki.
2. Meningkatkan
taraf keperdulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui musyawarah untuk menghasilkan keputusan mufakat.
3. Meningkatkan
tanggungjawab sekolah terhadap orang tua, masyarakat dan pemerintah (kostumer
eksternal) tentang mutu/kualitas sekolah.
4. Meningkatkkan
kompetisi yang sehat antar sekolah[9].
Menurut Djam’an Satori, adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan
stakeholder-nya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan menerapkan
kaidah-kaidah manajemen pendidikan yang professional[10].
Menurut Nanang Fattah, sebagaimana dikutip oleh Dadang
Dally, bahwa keuntungan dari MBS, antara lain; 1) Kebijakan dan kewenangan
sekolah membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua dan guru, 2) Bertujuan
bagaimana memanfaatkan sumberdaya local, 3) Efektif dalam melakukan pembinaan
peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat
putus sekolah, dan moral guru, 4) Adanya perhatian bersama untuk mengambil
keputusan memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah,
perubahan perencanaan[11].
Menurut Ihsan Dacholfany dan Evi Yuzana, secara
spesifik MBS bermanfaat, antara lain; 1) Memungkinkan adanya orang yang
berkompeten untuk mengambil keputusan yang tepat, 2) Adanya peluang untuk
melibatkan semua warga sekolah dalam pengambilan keputusan, 3) Didukungnya
kreativitas dalam pembelajaran, 4) Dimanfaatkannya semua potensi sumber daya
yang ada, 5) Anggaran sekolah yang realistic dan sesuai dengan kemampuan
sekolah, 6) Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di
semua level.[12]
D.
MBS Sebagai
Pendorong Kesuksesan Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI
Berangkat dari pemahaman konsep MBS, tentunya menjadi
keuntungan tersendiri bagi lembaga/ sekolah / madrasah dalam pengelolaannya.
Hal ini tentunya akan banyak dirasakan bagi sekolah/ madrasah swasta, yang bisa
dikatakan selama ini dengan sangat berat/terpaksa harus mengikuti aturan /
standar operasional prosedur dari pusat yang terkadang kurang pas / cocok
dengan kondisi sekolah/ madrasah dan lingkungannya. Lain halnya bagi sekolah
negeri yang selama ini mengandalkan dan menunggu instruksi dari pusat tentunya
akan banyak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri.
Lain lagi dengan pandangan Darmaningtyas yang
mengkritisi penerapan konsep MBS di Indonesia yang idealnya adalah untuk
mendemokratisasi praktik pendidikan, tetapi justru telah memanipulasi tugas /
tanggung jawab pemerintah kepada komite sekolah. Menurutnya, idealnya
sebagaimana dalam Kepmendikanas no : 044/U/2002 tentang pembentukan Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah, itu berperan sebagai pemberi pertimbangan,
pendukung, pengontrol, serta mediator antara pemerintah dan masyarakat.
Sedangkan fungsinya adalah memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi
dalam penentuan RAPBS, termasuk monitoring dan evaluasi. Namun kenyataan yang
terjadi justru Komite sebagai pelaksana kerja /tugas yang seharusnya menjadi
tanggung jawab pemerintah, khususnya dalam hal penyediaan dana pembangunan
sekolah. Parahnya, komite sekolah menjadi legitimator dan corong sekolah dari
pungutan-pungutan sekolah, sampai-sampai MBS diplesetkan menjadi “masyarakat bayar sendiri”[13].
Terlepas dari kritik di atas, yang jelas konsep MBS
telah memberikan keleluasaan ruang gerak sekolah / madrasah untuk berinovasi,
berkreatifitas dalam rangka meningkatkan eksistensi diri dalam dunia pendidikan
dan turut memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan konsep kemandirian, dan demokratisasi
pendidikan, maka pembelajaran PAI di sekolah tentunya memiliki keluasan ruang
untuk meningkatkan kualitas/mutu pembelajaran PAI, baik dari segi
sarana-prasarana pembelajaran, alokasi waktu, bentuk-bentuk kegiatan keagamaan,
strategi pembelajaran, dan penyesuaian kurikulum PAI dengan kebutuhan
masyarakat.
BAB III
Sistem Manajemen Mutu menurut TQMIE/MMTP
A.
Konsep Mutu
Berbicara tentang sumber kualitas / mutu maka
tidak bisa lepas dari definisi kualitas / mutu itu sendiri dari berbagai
perspektif, criteria sehingga dapat dikatakan bermutu, dan sumber mutu itu
sendiri, dan di sini akan penulis fokuskan pada dunia pendidikan.
Pengertian mutu, Fandy Tjiptono mengutip
pendapat Josep M. Juran, kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian (fitness for use) dimana definisi ini
menekankan pada orientasi pemenuhan harapan pelanggan. Selain itu, Fandy juga
memberikan banyak contoh definisi di bagian awal bukunya, yaitu ; 1) kesesuaian dengan persyaratan/ tuntutan, 2)
kecocokan untuk pemakaian, 3) bebas dari kerusakan/ cacat, 4) pemenuhan
kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat, 5) melakukan segala sesuatu
secara benar sejak awal, dan 6) susuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.[14]
Menurt Husaini Usman, mutu ialah produk dan
atau jasa yang sesuai dengan standar
mutu yang telah ditetapkan dan memuaskan pelanggan. Jika diterapkan dalam dunia
pendidikan menurut Husaini meliputi mutu input,
proses, output, dan outcome.[15]
Sementara menurut Edward Sallis, mutu
merupakan sebuah gagasan yang dinamis, maka untuk memahami konsep mutu
memerlukan pemahaman beberapa hal berikut;
1. Mutu sebagai konsep yang absolute (pemahaman
konsep yang absolute / idealism yang tidak dapat dikompromikan. Misal
kebenaran, kebiakan. Sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standarisasi
yang ketat dan tinggi dan tidak dapat diungguli, sempurna, dan mahal, serta
dapat membuat puas pelanggan. Contoh mobil bermutu = mewah = langka = orang
elit = tempil beda, sehingga mutu dalam hal ini mempunyai keunggulan status dan
posisi serta gengsi tersendiri. à
hight quality / top quality. Dalam
dunia pendidikan = sekolah elit, yang jarang sekali sekolah yang mampu
memberikan pendidikan bermutu tinggi, dan peserta tidak dapat menjangkaunya
dengan berbagai alasan.
2. Mutu sebagai konsep relative ( tidak harus
mahal & ekslusif, tidak harus cantik/ special tetapi wajar, asli dan
familiar)
a) Sesuai dengan spesifikasi à quality
assurance system à ISO9000/ BS5750 à quality
in fact.
b) Memenuhi pelanggan (pelanggan adalah wasit
terhadap mutu, sehingga pemahaman akan kebutuhan pelanggan adalah hal yang
mutlak untuk kemudian diterjemahkan dalam inovasi. Dengan demikian mutu adalah
memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan (quality in perception)[16].
Dari
berbagai definisi di atas, dapat penulis tarik kesimpulan secara sederhana
dalam konteks pendidikan, yaitu mutu adalah tercapainya kepuasan bersama.
B.
Standar
Mutu
1. ISO9000/BS5750
ISO (International
Standardization for Organization) , BS5750 (British Standard 5750) adalah badan standarisasi internasional yang
menangani masalah standarisasi untuk barang dan jasa. Badan ini merupakan
federasi badan-badan standar nasional berbagai Negara. ISO 9000 merupakan salah
satu dari seri standar internasional untuk system manajemen mutu dan penjamin
mutu yang senantiasa berdasarkan pada prinsip planning, controlling and documentation. Untuk Indonesia ada SII
(Standar Industri Indonesia) dan SNI (Standar Nasional Indonesia). Terkait
dunia pendidikan, ISO 9000 memiliki 10 standar yang harus dipenuhi guna
menjamin mutu pendidikan, yaitu; a) Komitmen pucuk pimpinan terhadap mutu, b)
System mutu, c) Penentuan hak dan kewajiban pelanggan pendidikan, d) Dokumen
pengendalian, e) Pembelian sarana dan prasarana, f) Kebijakan peneriman calon,
g) Pelayanan prima terhadap peserta didik, h) Arsip data, i) System penilaian
hasil belajar, j) Pengembangan staf edukatif dan administrative[17].
Menurut Edward Sallis syarat atau standar
ISO9000/BS5750 jika diimplementasikan dalam pendidikan antara lain; a) Komitmen
manajemen terhadap mutu, b) System mutu, c) Kontrak dengan pelanggan internal
dan eksternal, d) Control dokumen, e) Kebijakan seleksi & ujian masuk, f)
Layanan pendukung pelajar, yang mencakup kesejahteraan, konseling pengarahan
tutorial, g) Catatan kemajuan pelajar, h) Pengembangan, desain dan penyampaian
kurikulum, strategi pengajaran dan pembelajaran, i) Penilaian dan tes, j)
Konsistensi metode penelitian, k) Prosedur dan catatan penilaian yang mencakup
catatan prestasi, l) Metode dan prosedur diagnostic untuk mengidentifikasi
kegagalan dan kesalahan, m) Tindakan perbaikan terhadap kegagalan pelajar.
System untuk menghadapi complain dan tuntutan, n) Fasilitas & lingkungan
fisik, o) Catatan mutu, p) Prosedur pengesahan & audit mutu internal, q)
Pelatihan dan pengembangan staf, r)
Metode review, monitoring, dan evaluasi[18].
2. Sumber mutu
TQM di lembaga pendidikan tidak akan dapat
direalisasikan secara total dan baik apa bila tidak didukung oleh sumber-sumber
dalam organisasi yang sehat/ baik. Sumber-sumber kualitas itu diantaranya; a)
Komitmen pemimpin terhadap kualitas/ mutu, b) Sistem informasi manajemen, c)
SDM yang potensial, d) Ketrlibatan semua fungsi, e) Filsafat perbaikan kualitas
secara berkesinambungan.[19]
3. Kriteria Mutu
Sumber
kualitas di atas dapat terlihat dari manifestasinya melalui dimensi-dimensi
kualitas atau criteria berikut; a) Kinerja organisasi, b) Iklim kerja, c) Nilai
tambah, d) Kesesuaian dengan ketentuan (spesifikasi), e) Kualitas pelayanan dan
daya tahan, f) Persepsi masyarakat.[20]
C.
Prinsip
Mutu
Menurut
Hensler dan Brunell sebagaimana dikutip Husaini Usman, ada empat prinsip utama
dalam TQM di sekolah / madrasah, yaitu; 1) kepuasan pelanggan, 2) respek
terhadap setiap orang, 3) manajemen berdasarkan fakta, 4) perbaikan terus menerus
dengan konsep PDCA. Perbedaan TQM dengan pendekatan-pendekatan lain dalam
penyelenggaraan pendidikan,menurut Husaiani, adalah pada aspek komponen dan
bagaimana menggunakan komponen terseput[21].
D.
Komponen TQMIE/MMTP
Menurut
Goetsch & Davis, ada 10 unsur komponen utama dalam TQM dalam dunia pendidikan, yaitu; 1) fokus pada
kepuasan costumer, 2) Obsesi terhadap
mutu, 3) Pendekatan ilmiah, 4) komitmen jangka panjang, 5) kerjasama tim, 6)
perbaikan system secara terus menerus, 7) pendidikan dan pelatihan, 8) kebebasan
yang terkendali, 9) kesatuan tujuan, 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan
guru dan staf tata usaha. Sementara menurut Edward Sallis, komponen-komponen
itu meliputi; 1) kepemimpinan dan strategi yang meliputi komitmen, kebijakan
mutu, analisis organisasional,misi dan renstra; 2) system dan prosedur yang
meliputi efisiensi, administrative, pemaknaan data,ISO9001, dan biaya mutu; 3)
kerja tim yang meliputi pemberdayaan,manajemen diri sendiri, kelompok, alat
mutu yang digunakan; 4) asesmen diri sendiri yang meliputi asesmen diri,
monitoring, dan evakuasi, survey kebutuhan pelanggan, dan pengujian standar[22].
E.
Strategi
Implementasi TQMIE/MMTP
Dalam
mengimplementasikan TQM, W. Edward Deming memiliki 14 pandangan yang dikenal
dengan Deming’s Fourteen Points terhadap
apa yang harus dilakukan dalam rangka transisi positif kualitas bisnis, antara
lain; 1) Ciptakan konstan tujuan dalam rangka perbaikan produk / jasa, 2) Mengadopsi
falsafah baru, 3) Menghentikan ketergantungan pada inspeksi, 4) Hentikan praktik
menghargai kontrak dengan tawaran murah/rendah, 5) Perbaiki secara konstan dan
kontinyu, 6) Lembagakan on the job
training, 7) Lembagakan kepemimpinan, 8) Hapuskan rasa takut, 9) Hilangkakn
dinding pemisah antar departemen, 10) Hilangkan slogan, desakan dan target bagi
tenaga kerja, 11) Hilangkan kuota dan manajemen berdasarkan sasaran, 12) Hilangkan
penghalanng yang dapat merampok kebanggaan karyawan atas keahliannya, 13) Giatkan
program diklat (self improvement),
15) Lakukan transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan mereka untuk
mengerjakannya[23].
Implementasi TQM berdasarkan pendekatan Deming di atas menuntut adanya
pemahaman dan komitmen total dari semua jajaran organisasi .
Agar implementasi
program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan
sebagai berikut: 1) Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen
puncak, 2) Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM, 3) Menyiapkan
dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, 4) Memilih
koordinator (fasilitator) program TQM, 5) Melakukan banchmarking pada
perusahaan lain yang menerapkan TQM, 6) Merumuskan nilai (value), visi (vision)
dan misi (mission), 7) Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk
hambatan, 8) Merencanakan mutasi program TQM.
Dalam rangka
mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis madrasah
ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan
staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan madrasah
harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1. Penyusunan basis
data dan profil madrasah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis
menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan
keuangan.
2. Melakukan evaluasi
diri (self assesment) melalui EDM
untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah/madrasah,
personil madrasah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum
dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan
keterampilan, maupun aspek lainnya.
3. Berdasarkan
analisis SWOT tersebut madrasah harus mengidentifikasikan kebutuhan madrasah
dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang
berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional
yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan
identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana
siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk
indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.
BAB IV
Kepemimpinan dalam Manajemen Mutu Terpadu
Pendidikan
A.
Komitmen Pimpinan
Kepala sekolah
adalah pimpinan tertinggi di sebuah sekolah/madrasah, seorang kepala
sekolah/madrasah pada dasarnya adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai
kepala sekolah/madrasah, dimana kepemimpinannya mencakup cara-cara dan usaha
dalam mempengaruhi, member motivasi, bimbingan, serta menggerakkan guru, staf,
dan siswa serta wali siswa demi tercapainya tujuan sekolah.
Kemandirian
kepala sekolah/madrasah mutlak harus dimiliki, sehingga bebas untuk mengatur
tuntutan kurikulum atau kedinasan sesuai dengan konteks sekolah/madrasah
masing-masing. Pola pikir yang kontekstual seorang kepala sekolah/madrasah
adalah mampu menetapkan kebijakan atau target dengan mendasarkan pada kondisi
dan kemampuan nyata yang dimiliki sekolahnya.
B.
Peran Pimpinan
Dalam Menuju Kesuksesan
Mencurahkan
segala kemampuan untuk meraih apa yang diimpikan adalah kunci utama kepala
sekolah dalam meningkatkan sekolah yang dipimpinnya. Dalam MBS, kepala sekolah/
pimpinan memiliki peran penting, diantaranya; 1) Membuka ruang demokratisasi,
2) Mendorong partisipasi wali murid dan masyarakat, 3) Menyiapkan tenaga
terampil professional, 4) Menyelenggarakan rapat yang berkualitas, 5) Menjadikan peningkatan
kualitas sebagai orientasi utama[24].
Pemimpin berperan
dalam implementasi program TQM mulai dari menetapkan tujuan hingga alokasi
waktu yang cukup. Kepemimpinan adalah unsur penting dalam TQM, pemimpin haruslah
memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang
jelas dan tujuan yang spesifik.[25] Kepemimpinan organisasi yang umum digunakan
dapat dibedakan dalam empat model gaya kepemimpinan yaitu: model autokrasi,
model feodal, model egalitarian, model anarchic.
Adapun model
kepemimpinan yang sangat cocok dengan budaya TQM adalah model egalitarian, karena pada model ini
seorang pemimpin memberikan kebebasan kepada guru dan karyawan untuk bekerja.
Karyawan berkomunikasi ke atas dan ke bawah di dalam departemennya bahkan dapat
melewati departemen yang lain. Tim antar departemen dapat dibentuk untuk
menyelesaikan masalah tertentu, pada model kepemimpinan ini. hasil penelitian
bahwa sistem dan menejemen lebih menentukan keberhasilan perusahaan. Namun,
tanpa dukungan karyawan maka keberhasilan itu tidak akan sempurna.
Menurut Amin
Haedari dan M. Ishom El Saha, kepemimpinan yang efektif dan fleksibel merupakan
salah satu ciri kepemimpinan yang efektif dalam membangun dan mengembangkan
institusi pendidikan Islam. kepemimpinan yang efektif dan fleksibel diantaranya
adalah mau mengambil inisiatif dari bawah dan tindakan yang tepat untuk
mengatasi permasalahan dan tantangan. Pemimpin yang efektif selain mampu
membuat rencana dalam visi, misi, tujuan juga harus mampu memberi pengaruh
nilai pada sikap pengurus, guru, siswa, dan orang tua siswa[26]
guna turut terlibat dalam tanggungjawab eksistensi dan mutu institusi.
Seorang pemimpin
dalam menerapkan TQM harus mampu memberikan keyakinan pada anggotanya bahwa apa
yang diprogramkan adalah sesuatu yang akan banyak memberikan keuntungan /
manfaat, karena sesungguhnya merubah sikap amatlah sulit. Sikap dapat berubah
apa bila sudah tidak lagi memberi keuntungan / kepuasan atau menjanjikan
tersalurkannya aspirasi, cita-cita individu/ kelompok. Ketika memberikan keyakinan diperlukan
pendekatan emosi (pengaruh yang ditekankan pada emosi) dan logika dengan
menghadirkan fakta[27].
Dalam hal
peningkatan mutu pembelajaran PAI di sekolah, baik SD, SMP dan SMA, kepala sekolah
memegang peranan penting, tidak hanya guru PAI saja. Dukungan moral lebih utama
dari pada hanya sekedar dukungan material. Kepercayaan/amanat terhadap guru PAI
akan meemotivasi untuk berkreasi, dan berinovasi untuk meningkatkan mutu
pembelajaran PAI di sekolah.
Melalui kurikulum
2013 pembelajaran PAI (khususnya di SD), mau tidak mau harus terintegrasi
dengan mata pelajaran lainnya menyesuaikan dengan KI1. Artinya, harus ada
kordinasi dengan guru kelas agar terjadi keselarasan tujuan dan tema sehingga
akan terjadi sinergi pembelajaran integrative yang baik. Disini peran kepala
sekolah sangat dibutuhkan untuk menyamakan visi, dan mengkoordinasikan.
Selain itu,
kegiatan pendukung PAI seperti ekstrakurikuler dan kegiatan incidental seperti
kegiatan peringatan Maulid Nabi, Ira Mi’raj, Silaturahim, kegiatan Ramadhan,
shalat dhuha, santapan rohani pagi, lomba rebana/ nasyid, busana muslim,
kaligrafi dan lainya akan dapat berjalan dengan baik dan member dampak positif
jika mendapat dukungan penuh dari kepala sekolah. Selama ini, di tingkat SD,
kegiatan tersebut bisa dikatakan hanya sebatas partisipatif dan respon spontan
atas surat edaran dari UPTD kecamatan untuk mengikuti lomba, sehingga terasa
hanya sekedar formalitas sesaat.
BAB V
Gugus Kendali Mutu Pembelajaran PAI
Sudah menjadi rahasia umum yang mungkin hampir berlaku
disetiap sekolah, baik negeri maupun swasta, yaitu sikap acuh tak acuh
(cuek/tidak perduli) dan persaingan yang tidak sehat antar guru. Pemicunya
banyak factor, adakalanya karena posisi/jabatan, bagian “basah”, atau bahkan
“cari muka”, ada juga karena prestasi kerja dan bisa juga sentiment pribadi. Rasa
acuh tak acuh sering terjadi pada sekolah negeri, dimana ada persepsi negative
“biasa-biasa saja juga tetap digaji” atau “ngoyo-ngoyo
bayarane padha bae”. Antara yang
rajin dan yang malas, yang cuek dan peduli, yang disiplin dan tidak,
yang kreatif dan tidak gajinya tetap. Sementara persaingan tidak sehat sering
terjadi pada swasta. Sesunggunya persaingan internal ini hanya akan
menghabiskan energy yang akan berujung pada rusaknya citra dan suasana hubungan
kerja antar bidang dan akan merugikan sekolah/madrasah.
Dalam organisasi sekolah / madrasah yang
mengaplikasikan manajemen berbasis sekolah/madrasah dengan konsep TQM
menerapkan dan menekankan pentingnya kerja sama tim sehingga kemitran dan
komunikasi dibina, baik antar warga sekolah/madrasah maupun stakeholder.
Gugus Kendali Mutu (Quality
Control Circle) merupakan subsistem dari TQC (Total Quality Control), dimana TQC pada hakekatnya adalah system
untuk mengikutsertakan karyawan dan pimpinan secara gotong royong, kekeluargaa,
dan musyawarah untuk meningkatkan kualitas hasil kerja, dan kepuasan costumer.
Menurut Husaini Usman, idealnya QCC terdiri dari 3-10 anggota dalam unit
pekerjaan sejenis/ serumpun, mengadakan pertemuan rutin untuk membahas,
menganalisa dan memberikan solusi atas masalah yang muncul[28].
A.
Kerjasama
tim (teamwork)
Kerjasama tim yang solid merupakan tim yang efektif
dan menjadi salah satu penentu keberhasilan mencapai tujuan sekolah/madrasah. Namun
perlu dicatat, bahwa efektivitas kerjasama tim tergantung pada tingkat
kematangan tim, yang menurut Tuckman terdiri dari empat fase, yaitu; forming, storming, norming, dan performing. Adapun tim kerja yang
efektif antara lain yaitu:
1. Komitmen
terhadap tujuan dan sasaran merupakan tujuan bekerjasama
2. Ide-ide dan
perasaan-perasaan dikomunikasikan secara akurat dan efektif
3. Menerapkan
partisipasi dan kepemimpinan serta peduli dengan peran kepemimpinan
4. Prosedur
pengambilan keputusan tepat dan efektif serta memiliki metode/pendekatan problem solving
5. Kontroversi
yang produktif
6. Tingkat
saling percaya tinggi, dengan menggunakan kemampuan anggota, dan mendorong
segala kreatifitas dan eksperimen
7. Saling
menerima dan membantu antar anggota, dan mendukung control tim dan prosedur
8. Konflik
sebagai manajemen positif, produktif dan konstruktif.
9. Komunikasi
terbuka dan partisipatori
10. Anggota
menilai fungsi dan prosesnya secara regular
11. Anggota
memahami peranannya masing-masing, bertanggungjawab dan memiliki otoritas
terbatas[29].
B.
Tujuan
Gugus Kendali Mutu (QCC)
Dibentuknya gugus kendali mutu (QCC) menurut Husaini
Usman antara lain; 1) Mengurangi kesalahan dan meningkatkan mutu kerja, 2)
meningkatkan kerjasama dan keterlibatan kerja yang kompak dan efektif serta
efisien, 3) meningkatkan kemampuan problem
solving dan alternative solusi, 4) meningkatkan disiplin dan sikap mental
yang tanggap dan tangguh, 5) memperbaiki komunikasi dan hubungan yang harmonis
secara vertical dan horizontal, 6) mengembangkan kemampuan individual, 7)
membangkitkan dan mengembangkan kesadaran akan mutu hasil, pengalaman,
menampung ide, dan meningkatkan produktifitas, 8) menanamkan kesadaran akan
pentingnya penyelesaian masalah, 9) member kesempatan untuk maju dan
berkembang, 10) meningkatkan motivasi[30].
C.
Strategi
Pembentukan Gugus Kendali Mutu (QCC)
1. Strategi
Usaha pembentukan tim memang harus dimulai oleh kepala
sekolah / madrasah dengan menciptakan iklim yang kondusif, adapun menurut E.
Mulyasa, tindakan umum kepemimpinan yang sukses dalam membentuk tim antara
lain; a) Menciptakan kegiatan yang menantang, b) Menyamakan visi, c) Memberikan
kesempatan untuk melakukan tindakan, d) Mengembangkan model pembelajaran yang
efektif, e) Memberikan motivasi kepada seluruh warga sekolah[31].
2. Tim efektif
Untuk membentuk tim kerja yang efektif, maka sebuah
tim tersebut membutuhkan beberapa hal, yaitu ; a) Peran yang didefinisikan
secara jelas, b) Kejelasan maksud dan tujuan, c) Sumber daya dasar untuk
bekerja, d) Akuntabilitasnya dan batas-batas otoritasnya, e) Sebuah rencana, f)
Seperangkat aturan, g) Cara menggunakan alat yang cocok dalam mengatasi masalah,
h) Pengembangan perilaku tim yang bermanfaat[32].
3. Ten Team Mommandments.
Sepuluh perintah tim (ten team commandments) adalah usaha dari King untuk meningkatkan
kinerja setiap tim dalam rangka menciptakan tujuan. Kesepuluh perintah itu
adalah ; a) Saling ketergantungan, b). Perlusan tugas, c). Penjajaran, d).
Bahasa yang umum, e). Kepercayaan / respek, f). Kepemimpinan / anggota yang
dibagi rata, g). Keterampilan pemecahan masalah, h).Keterampilan menangai
konflik, i). Penilaian / tindakan, j). Perayaan[33].
D.
Faktor
Penghambat Kesuksesan Kerjasama Tim
Sekumpulan orang belum tentu merupakan suatu tim, dan
tidak pula secara otomatis dapat bekerja sama, dan berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Ada beberapa factor penyebabnya, dan yang utama adalah factor
manusia. Factor-faktor tersebut antara lain;
1. Identitas
pribadi anggota tim: (belum merasa cocok dengan tim tersebut)
2. Hubungan
antar anggota tim : (belum saling mengenal dan butuh waktu saling mengenal satu
sama lain)
3. Identitas
tim di dalam organisasi
a. Kesesuaian
atau kecocokan tim dalam organisasi, ada/tidaknya dukungan dari manajemen
puncak.
b. Pengaruh
keanggotan dalam tim dan di luar tim[34].
E.
Kunci
Keberhasilan Kerjsama Tim
Pembentukan suatu tim tidak secara otomatis akan
berjalan sebagaimana yang dihaurapkan. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk
mengatasi factor-faktor penghambat di atas. Setidaknya ada tida factor yang
saling berkaitan dan saling memperngaruhi kinerja dan produktifitas suatu tim,
yaitu;
1. Budaya
organisasai, yang meliputi; a) filosofi organisasi, b) penghargaan dan bagaimana mengelolanya, c) harapan, d) norma.
2. Tim itu
sendiri, yang terdiri atas ; a) manajemen pertemuan, b) peranan dan
tanggungjawab, c) manajemen konflik, d) prosedur operasi, e) pernyataan misi.
3. Para
induvidu anggota tim, yang meliputi; a) kesadaran diri, b) apresiasi terhadap
perbedaan individual, c) empati, d) perhatian.
F.
Hubungan
Tim, Peningkatan Mutu PAI dan Kurikulum 2013
Dalam
kurikulum 2013 yang berbasis integrative, maka mau tidak mau pembelajaran PAI
harus mengkoordinasikan dengan guru kelas / guru mapel lain agar terjadi
keterkaitan materi pembelajaran dan saling mendukung satu dan lainnya yang akan
membentuk sebuah sinergi pembelajaran yang efektif sehingga ketercapaian KI1
lebih terasa dan member kontribusi positif dalam perkembangan jiwa siswa dan
tidak hanya sebatas kesalehan normative belaka.
Bagi guru
PAI di tingkat lanjutan sperti SMP/SMA yang memungkinkan guru PAI lebih dari
satu orang, sudah pasti sangat memerlukan koordinasi sesame guru PAI. Jika ada
tiga orang guru PAI sangat ideal sekali untuk dibentuk tim kendali mutu
pembelajaran PAI secara internal, dan
sangat bagus apabila kepala sekolah membentuk gugus kendali mutu khusus PAI
yang berkomposisikan guru PAI dan guru mapel lain serta melibatkan waka
kurikulum untuk membahas berbagai persoalan yang muncul dan mencarikan berbagai
alternative penyelesaiannya.
Dengan
demikian, sangat terbuka peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PAI
melalui kesatuan visi dan langkah tim yang solid dalam bingkai manajemen mutu
terpadu pendidikan (TQMIE) dibawah komando kepala sekolah /madrasah untuk
mencapai maksud dan tujuan pembelajaran PAI berdasarkan kurikulum 2013.
BAB VI PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian dalam makalah ini, dapat penulis
simpulkan bahwa; 1) Pembelajaran PAI di sekolah dapat berjalan maksimal dengan
adanya implementasi manajemen peningkatan mutu, 2) pembelajaran PAI di sekolah
akan efektif dengan dukungan manajemen berbasis sekolah (MBS), 3) Peningkatan
mutu akan efektif dan berhasil dengan penerapan konsep TQMIE/MMTP, 4) penerapan
manajemen mutu harus didukung dengan komitmen pimpinan /kepala sekolah
/madrasah, 5) Gugus kendali mutu memegang peranan penting untuk pencapaian dan
pengendalian mutu pembelajaran PAI.
B.
Saran
Melalui makalah
ini penulis menyarankan kepada pemangku kepentingan (para pimpinan; kepala
sekolah /madrasah , para waka, guru PAI dan guru kelas / guru mata pelajaran
untuk menjalin komunikasi, membentuk sinergi melalui tim yang solid untuk
peningkatan mutu sekolah dan pembelajaran pada umumnya serta mutu pembelajaran
PAI pada khusunya. Melalui kurikulum 2013 ini, membuka peluang dan mengharuskan
untuk hal tersebut diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Wibowo, 2013, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Praktik
Implementasi), Yogyakarta, Pustaka pelajar.
Amin Haedari dan M. Ishom El Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan
Madrasah Diniyah, (Jakarta, Diva Pustaka, 2008).
Dadang Dally, 2010, Balanced Scorecard, suatu pendekatan dalam implementasi manajemen
berbasis sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, cet I, tkt, Pustaka Yashiba.
E.Mulyasa, 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum
2013, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Edward sallis, 2011, Total
Quality Management in Education, cet X, Penerjemah Ahmad Ali Riyadi dan
fahrurozi, Jogjakarta, IRCiSoD.
Fandy Tjiptono, 2002, Prinsip-prinsip
Total Quality Service, Yogyakarta, Andi.
Hadari Nawawi, 2003, Manajemen
Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, Jogjakarta, Gadjah
Mada University Press, cet ke 2.
Husaini Usman, 2013, Manajemen,
teori, praktik, dan riset pendidikan edisi 4, Jakarta, Bumi Aksara.
Jamal Ma’mur Asmani, 2012, Tips Aplikasi Manajemen Sekolah, Jogjakarta, DivaPress.
Larry J. Reynolds, Kiat Sukses Manajemen Berbasis Sekolah, Pedoman Bagi Praktisi
Pendidikan, penerjemah : Teguh Budiharso dan Adbul Munir, cet. Ke 2,
Jakarta, CV Diva Pustaka.
Mortimer R. Feinbreg, Psikologi yang efektif untuk pemimpin,
pejabat, dan usahaawan, (Penerjemah: R. Turman Sirait, tk., Englewood
Cliffs, 1979).
Tony Bush & Marianne Coleman, 2012, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan, penerjemah Fahrurrozi, Jogjakarta, IRCiSoD.
UUSPN No 20 tahun 2003
[1]
UUSPN No 20 tahun 2003
[2]
Agus Wibowo, 2013, Manajemen Pendidikan
Karakter di Sekolah (Konsep dan Praktik Implementasi), Yogyakarta, Pustaka
pelajar, hal. 116
[3]
Jamal Ma’mur Asmani, 2012, Tips Aplikasi
Manajemen Sekolah, Jogjakarta, DivaPress, hal. 36
[4]
Dadang Dally, 2010, Balanced Scorecard,
suatu pendekatan dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, Bandung,
Remaja Rosdakarya, hal. 10
[5]
Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi
Racun Pendidikan, cet I, tkt, Pustaka Yashiba, hal. 171
[6]
Larry J. Reynolds, Kiat Sukses Manajemen
Berbasis Sekolah, Pedoman Bagi Praktisi Pendidikan, (penerjemah : Teguh
Budiharso dan Adbul Munir, cet. Ke 2, Jakarta, CV Diva Pustaka), hal. 3
[7]
Larry J. Reynolds, ibid, hal. 9
[8]
Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal.149-154
[9]
Agus Wibowo, Ibid, hal. 116-117
[10]
Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal. 48
[11]
Dadang Dally, ibid, hal. 11-12
[12]
Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal. 55
[13]
Darmaningtyas, ibid, hal.171-172
[15]
Husiani Usman, ibid, hal. 543
[16]
Edward Sallis, ibid, hal 51-57
[17]
Husaini Usman, ibid, hal. 579-580
[18]
Edward Sallis, ibid, hal 129-130
[19] Hadari
Nawawi, Manajemen Strategik Organisasi
Non Profit Bidang Pemerintahan, (Jogjakarta, Gadjah Mada University Press,
cet ke 2, 2003), hal 138-141
[20]
Hadari Nawawi, ibid, hal. 142-144
[21]
Husaini Usman, ibid, hal.607-609
[23]
Fandy Tjiptono, ibid, hal. 78-79
[24]
Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal.
189-192
[25]
Edward Sallis, ibid, hal 169
[26]
Amin Haedari dan M. Ishom El Saha, Peningkatan
Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta, Diva Pustaka, 2008),
hal 36.
[27] Mortimer R. Feinbreg, Psikologi yang efektif untuk pemimpin, pejabat, dan usahaawan, (Penerjemah:
R. Turman Sirait, tk., Englewood Cliffs, 1979), hal. 218-219
[28]
Husaini Usman, ibid, hal. 562
[29]
Husaini Usman, ibid., hal. 615-616
[30]
Husaini Usman, ibid, hal. 562-563
[31]
E. Mulyasa, 2013, Pengembangan dan
Implementasi Kurikulum 2013, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 203.
[32]
Edward Sallis, ibid, hal. 187190
[33]
Fandy Tjiptono, ibid, hal 106-107
[34]
Fandy Tjiptono, ibid, hal, 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar