Rabu, 12 Maret 2014

TQM dan PAI



IMPLEMENTASI  TQMIE DALAM PENINGKATAN MUTU PAI
(Implementation Total Quality Management
 in Quality  Improvement of Islamic Education)
Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Manajemen Kurikulum  Pendidikan Islam
Pengampu       : Dr. H. Rahmat Raharjo, M.Ag.





 













Disusun oleh :


Nama                : SAEBANI HIMAWAN
Kelas                 : A
NIRM               : 130126
Prodi                 : Manajemen Pendidikan Islam



PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(STAINU) KEBUMEN
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………   1
BAB II MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU BERBASIS SEKOLAH
A.      Definisi  ……………………………………………………………………………………….  3
B.      Komponen Kesuksesan ……………………………………………………………….    4
C.      Tujuan dan Manfaat MBS…………………………………………………………….  5
D.     MBS sebagai Pendorong Kesuksesan ………………………………………….   6
BAB III SISTEM MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQMIE/MMTP)
A.      Konsep Mutu ……………………………………………………………………………..    7
B.      Standar Mutu ……………………………………………………………………………..   8
C.      Prinsip Mutu ……………………………………………………………………………….   10
D.     Komponen TQMIE/MMTP ………………………………………………………….    10
E.      Strategi Implementasi TQMIE/MMTP ………………………………………..   10
BAB IV KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN TERPADU PENDIDIKAN
A.      Komitmen Pimpinan  ………………………………………………………………….   13
B.      Peran Pimpinan Dalam Menuju Kesuksesan ………………………………    13
BAB V GUGUS KENDALI MUTU PEMBELAJARAN PAI
A.      Kerjasama Tim ……………………………………………………………………………   16
B.      Tujuan Gusus Kendali Mutu (QCC) ……………………………………………..   17
C.      Strategi Pembentukan Gugus Kendali Mutu (QCC) ……………………     17
D.     Faktor Penghambat kesuksesan ………………………………………………..     18
E.      Kunci Keberhasilan  …………………………………………………………………..     19
F.       Hubungan Tim, Peningkatan Mutu PAI dan Kurikulum 2013 …….     19
BAB VI PENUTUP
A.      Kesimpulan ………………………………………………………………………………      20
B.      Saran ………………………………………………………………………………………..     20
DAFTAR PUSTAKA


IMPLEMENTASI  TQMIE DALAM PENINGKATAN MUTU PAI
(Implementation Total Quality Management
 in Quality  Improvement of Islamic Education)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Thesis :
Pembelajaran PAI di sekolah tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya manajemen peningkatan mutu. (Saebani)
Hipotesis 1 ; Pembelajaran PAI di sekolah akan dapat berjalan maksimal dengan dukungan manajemen mutu berbasis sekolah.
Hipotesis 2 ; Manajemen peningkatan mutu akan berjalan baik dengan system TQMIE
Hipotesis 3 ; Manajemen peningkatan mutu akan berhasil jika didukung oleh komitmen pimpinan.
Hipotesis 4 ; Peningkatan mutu pembelajaran PAI akan maksimal dengan adanya peran dari gugus kendali mutu.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pembahasan ini dapat penulis kelompokkan menjadi empat bagian, yaitu; Manajmenen peningkatan mutu berbasis sekolah, manajemen mutu TQMIE, komitmen pimpinan, peran gugus kendali mutu.
Keywords : manajemen berbasis sekolah (MBS), manajemen mutu (TQMIE), komitmen pimpinan, gugus kendali mutu.
-------------------------------------------------------------------------------------------------


BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang pelaksanaan sebuah pembelajaran khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI) tentunya tidak lepas dari beberapa hal, diantaranya berbicara masalah kualitas/mutu. Ketika sudah berbicara tentang “mutu” maka akan terkait dengan usaha/proses meraih mutu itu sendiri, yang tentunya ada pemahaman tentang mutu, dan strategi untuk meraihnya yang terbungkus dalam manajemen peningkatan mutu.
Manajemen peningkatan mutu menjadi sangat urgen dalam sebuah organisasi / lembaga pendidikan yang mengeluarkan produk bukan barang mati, melainkan output /produk itu adalah manusia yang memiliki beberapa dimensi, dan outputnya pun diharapkan memenuhi standar kriteria kelulusan yang memiliki kompetensi untuk dapat hidup dan eksis di masyarakat.
Ketika pembelajaran (khususnya PAI) tidak didasari dengan konsep mutu, maka dapat dipastikan bahwa proses pembelajaran dan output yang dihasilkan akan berkalitas rendah dan tidak dapat sesuai dengan harapan kunsumen, dan jika hal ini terjadi  tentunya akan merugikan bagi lulusan, dan masyarakat pengguna pruduk, serta akan berakibat fatal bagi lembaga pendidikan tersebut.
Selama ini, pembelajaran PAI di sekolah bisa dikatakan hanya sebagai pelengkap saja, dengan fakta bahwa selama ini PAI tidak dijadikan sebagai bagian dari mata pelajaran yang diuji-nasionalkan. Selain itu, dari segi alokasi waktu dan juga animo siswa untuk menguasai materi-materi PAI dirasa kurang, dan siswa lebih cenderung mengikuti les/ privat pada materi-materi yang diuji-nasionalkan. Belum lagi stigma bahwa pembelajaran PAI berjalan asal jalan yang terkadang kurang mendapat perhatian dari pihak lembaga/ sekolah. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak adanya konsep mutu dan system manajemen untuk peningkatan mutu pembelajaran khususnya PAI. Oleh karena itu, manajemen peningkatan mutu menjadi sangat penting bagi sekolah.
Penulis beranggapan bahwa “Pembelajaran PAI di sekolah tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya manajemen peningkatan mutu”, di sisi lain penulis juga berasumsi bahwa pengembangan manajemen peningkatan mutu akan menyangkut pada beberapa anggapan, anatara lain; pembelajaran PAI di sekolah akan dapat berjalan maksimal dengan dukungan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrasah. Selain itu, manajemen peningkatan mutu akan berjalan baik dengan system TQMIE/MMTP, dan manajemen peningkatan mutu akan berhasil jika didukung oleh pemimpin yang komitmen, serta peningkatan mutu pembelajaran PAI akan kurang maksimal tanpa adanya peran dari gugus kendali mutu.
Berangkat dari pemikiran tersebut, dapat penulis rumuskan masalah sebagai berikut; Bagaimana manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dapat mendukung pelaksanaan pembelajaran PAI dengan baik? Bagaimana system peningkatan mutu menurut TQMIE/MMTP? Bagaimana peran pimpinan dalam manajemen peningkatan mutu? Bagaimana peran gugus kendali mutu dalam mendukung pembelajaran PAI di sekoalah/madrasah? Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menjawab beberapa pertanyaan yang telah penulis rumuskan tadi, dengan lebih luas dan mendalam  sehingga dapat dengan mudah untuk dipahami.
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kemudahan pemahaman bagi pembaca yang ingin meningkatkan mutu pembelajaran PAI di sekolah dan dapat sebagai panduan sederhana dalam usaha aplikasi manajemen mutu dalam sekolah/madrasah yang membutuhkan.


BAB II
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah
A.     Definisi MBS/M
Dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN) pasal 51 ayat (1) menegaskan maksud MBS adalah bentuk otonomi manajemen pendidikanpada satuan pendidikan, yang dalam hal ini Kepala sekolah / Madrasah dan guru dibantu Komite sekolah/madrasah dalam mengelola pendidikan[1].
Menurut Agus Wibowo, MBS adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong penngambilan keputusan bersama / partisipatif dari semua  warga sekolah dan masyarakat untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan Nasional[2]. Sedangkan menurut Jamal Ma’mur Asmani, MBS secara substansial adalah pemberian wewenang/otoritas kepada sekolah untuk untuk mendayagunakan seluruh potensi yang ada agar tercapai tujuan sekolah, yaitu menciptakan peserta didik yang kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif[3].
Pengertian lain diberikan oleh Dadang Dally, MBS adalah model pengelolaan yang memberikan otonomi dan kemandirian kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung seluruh warga sekolah sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditentukan pemerintah[4].
Menurut Darmaningtyas, MBS adalah suatu kerangka kerja untuk mendemokratisasikkan praktik pendidikan[5]. Menurut Larry J. Raynolds, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) didefinisikan dengan tiga komponen utama, yaitu;
1.      Delegasi otoritas decision-making  ke pihak sekolah menyangkut program pendidikan termasuk kepegawaian, anggaran, dan program.
2.      Penerapan model decision-maker bersama pada pihak sekolah oleh tim manajemen termasuk kepala sekolah, guru, orang tua siswa, terkadang siswa dan masyarakat lainnya.
3.      Ekspetasi di mana MBS akan mendorong leadership  sekolah dalam upaya perbaikan sekolah[6].
Menurut Darmaningtyas, MBS adalah suatu kerangka kerja untuk mendemokratisasikkan praktik pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa dalam manajemen berbasis sekolah (MBS), sekolah memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan sekolah. Dengan melihat kondisi sekolah, kondisi lingkungan, maka sekolah dapat merencanakan dan menargetkan serta mengarahkan tujuan sekolah.
B.      Komponen Kesuksesan
Ada sembilan komponen kunci yang harus diimplementasikan guna mencapai kesuksesan penerapan manajemen berbasis sekolah / madrasah, yaitu; 1) Mengadopsi perspektif system terpadu, 2) Memahami konteks perubahan, 3) Mengembangkan perspektif dan leadership skill, 4) Menciptakan visi bersama, 5) Mengembangkan skill perencanaan strategis, 6) Mendefinisikan peran baru, 7) Meningkatkan suasana kerja, 8) Memahami dinamika kelompok, 9) Memperjelas akuntabilitas.[7]
Adapun menurut Jamal Ma’mur Asmani, mengutip dari buku Pedoman manajemen Berbasis Sekolah, keberhasilan pelaksanaan MBS sangat dipengaruhi olehbeberapa factor, baik factor internal dan eksternal, diantara factor-faktor tersebut antara lain ; 1) Sosialisasi peningkatan kualitas pendidikan, 2) Gerakan peningkatan kualiotas pendidikan, 3) Gotongroyong dalam kekeluargaan, 4) Potensi kepala sekolah, 5) Organisasi forml dan optimal, 6) Organisasi profesi, 7) Harapan terhadap kualitas pendidikan, 8) Input manajemen.
Sementara dalam buku Pedoman Implementasi MBS terbitan Pulitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jamal mengutip factor pendukung keberhasilan MBS terdiri dari; 1) Kepemimpinan dan manajemen sekolah yang baik, 2) Keadaan social ekonomi dan pengahayatan masyarakat terhadap pendidikan, 3) Dukungan pemerintah, 4) Profesionalisme.[8]
Dengan berbagai factor pendukung di atas, dapat diasumsikan bahwa MBS mempunyai peran penting terhadap peningkatan kualitas mutu pembelajaran khususnya PAI di sekolah.

C.      Tujuan dan Manfaat MBS
MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada ssekolah dalam mengelola sumberdaya sekolah serta mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Secara rinci, Agus Wibowo mengutip dari Depdikanas, rincian tujuan MBS, sebagai berikut;
1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, transparansi, kerjasama, akuntabilitas, sustainibilitas, dan inisiatif dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pemberdayaan segala sumber daya yang dimiliki.
2.      Meningkatkan taraf keperdulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui musyawarah untuk menghasilkan keputusan mufakat.
3.      Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orang tua, masyarakat dan pemerintah (kostumer eksternal) tentang mutu/kualitas sekolah.
4.      Meningkatkkan kompetisi yang sehat antar sekolah[9].
Menurut Djam’an Satori, adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholder-nya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan menerapkan kaidah-kaidah manajemen pendidikan yang professional[10].
Menurut Nanang Fattah, sebagaimana dikutip oleh Dadang Dally, bahwa keuntungan dari MBS, antara lain; 1) Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada siswa, orang tua dan guru, 2) Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumberdaya local, 3) Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan moral guru, 4) Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah, perubahan perencanaan[11].
Menurut Ihsan Dacholfany dan Evi Yuzana, secara spesifik MBS bermanfaat, antara lain; 1) Memungkinkan adanya orang yang berkompeten untuk mengambil keputusan yang tepat, 2) Adanya peluang untuk melibatkan semua warga sekolah dalam pengambilan keputusan, 3) Didukungnya kreativitas dalam pembelajaran, 4) Dimanfaatkannya semua potensi sumber daya yang ada, 5) Anggaran sekolah yang realistic dan sesuai dengan kemampuan sekolah, 6) Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.[12]

D.     MBS Sebagai Pendorong Kesuksesan Peningkatan Mutu Pembelajaran PAI
Berangkat dari pemahaman konsep MBS, tentunya menjadi keuntungan tersendiri bagi lembaga/ sekolah / madrasah dalam pengelolaannya. Hal ini tentunya akan banyak dirasakan bagi sekolah/ madrasah swasta, yang bisa dikatakan selama ini dengan sangat berat/terpaksa harus mengikuti aturan / standar operasional prosedur dari pusat yang terkadang kurang pas / cocok dengan kondisi sekolah/ madrasah dan lingkungannya. Lain halnya bagi sekolah negeri yang selama ini mengandalkan dan menunggu instruksi dari pusat tentunya akan banyak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri.
Lain lagi dengan pandangan Darmaningtyas yang mengkritisi penerapan konsep MBS di Indonesia yang idealnya adalah untuk mendemokratisasi praktik pendidikan, tetapi justru telah memanipulasi tugas / tanggung jawab pemerintah kepada komite sekolah. Menurutnya, idealnya sebagaimana dalam Kepmendikanas no : 044/U/2002 tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, itu berperan sebagai pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol, serta mediator antara pemerintah dan masyarakat. Sedangkan fungsinya adalah memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi dalam penentuan RAPBS, termasuk monitoring dan evaluasi. Namun kenyataan yang terjadi justru Komite sebagai pelaksana kerja /tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, khususnya dalam hal penyediaan dana pembangunan sekolah. Parahnya, komite sekolah menjadi legitimator dan corong sekolah dari pungutan-pungutan sekolah, sampai-sampai MBS diplesetkan menjadi “masyarakat bayar sendiri”[13].
Terlepas dari kritik di atas, yang jelas konsep MBS telah memberikan keleluasaan ruang gerak sekolah / madrasah untuk berinovasi, berkreatifitas dalam rangka meningkatkan eksistensi diri dalam dunia pendidikan dan turut memberikan kontribusi besar bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan konsep kemandirian, dan demokratisasi pendidikan, maka pembelajaran PAI di sekolah tentunya memiliki keluasan ruang untuk meningkatkan kualitas/mutu pembelajaran PAI, baik dari segi sarana-prasarana pembelajaran, alokasi waktu, bentuk-bentuk kegiatan keagamaan, strategi pembelajaran, dan penyesuaian kurikulum PAI dengan kebutuhan masyarakat.

BAB III
Sistem Manajemen Mutu menurut TQMIE/MMTP
A.     Konsep Mutu
Berbicara tentang sumber kualitas / mutu maka tidak bisa lepas dari definisi kualitas / mutu itu sendiri dari berbagai perspektif, criteria sehingga dapat dikatakan bermutu, dan sumber mutu itu sendiri, dan di sini akan penulis fokuskan pada dunia pendidikan.
Pengertian mutu, Fandy Tjiptono mengutip pendapat Josep M. Juran, kualitas adalah kecocokan untuk pemakaian (fitness for use) dimana definisi ini menekankan pada orientasi pemenuhan harapan pelanggan. Selain itu, Fandy juga memberikan banyak contoh definisi di bagian awal bukunya, yaitu ;  1) kesesuaian dengan persyaratan/ tuntutan, 2) kecocokan untuk pemakaian, 3) bebas dari kerusakan/ cacat, 4) pemenuhan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat, 5) melakukan segala sesuatu secara benar sejak awal, dan 6) susuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.[14]
Menurt Husaini Usman, mutu ialah produk dan atau jasa  yang sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dan memuaskan pelanggan. Jika diterapkan dalam dunia pendidikan menurut Husaini meliputi mutu input, proses, output, dan outcome.[15] Sementara menurut  Edward Sallis, mutu merupakan sebuah gagasan yang dinamis, maka untuk memahami konsep mutu memerlukan pemahaman beberapa hal berikut;
1.      Mutu sebagai konsep yang absolute (pemahaman konsep yang absolute / idealism yang tidak dapat dikompromikan. Misal kebenaran, kebiakan. Sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standarisasi yang ketat dan tinggi dan tidak dapat diungguli, sempurna, dan mahal, serta dapat membuat puas pelanggan. Contoh mobil bermutu = mewah = langka = orang elit = tempil beda, sehingga mutu dalam hal ini mempunyai keunggulan status dan posisi serta gengsi tersendiri. à hight quality / top quality. Dalam dunia pendidikan = sekolah elit, yang jarang sekali sekolah yang mampu memberikan pendidikan bermutu tinggi, dan peserta tidak dapat menjangkaunya dengan berbagai alasan.
2.      Mutu sebagai konsep relative ( tidak harus mahal & ekslusif, tidak harus cantik/ special tetapi wajar, asli dan familiar)
a)      Sesuai dengan spesifikasi à quality assurance system à ISO9000/ BS5750 à quality in fact.
b)      Memenuhi pelanggan (pelanggan adalah wasit terhadap mutu, sehingga pemahaman akan kebutuhan pelanggan adalah hal yang mutlak untuk kemudian diterjemahkan dalam inovasi. Dengan demikian mutu adalah memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan (quality in perception)[16].
Dari berbagai definisi di atas, dapat penulis tarik kesimpulan secara sederhana dalam konteks pendidikan, yaitu mutu adalah tercapainya kepuasan bersama.

B.      Standar Mutu
1.      ISO9000/BS5750
ISO (International Standardization for Organization) , BS5750 (British Standard 5750) adalah badan standarisasi internasional yang menangani masalah standarisasi untuk barang dan jasa. Badan ini merupakan federasi badan-badan standar nasional berbagai Negara. ISO 9000 merupakan salah satu dari seri standar internasional untuk system manajemen mutu dan penjamin mutu yang senantiasa berdasarkan pada prinsip planning, controlling and documentation. Untuk Indonesia ada SII (Standar Industri Indonesia) dan SNI (Standar Nasional Indonesia). Terkait dunia pendidikan, ISO 9000 memiliki 10 standar yang harus dipenuhi guna menjamin mutu pendidikan, yaitu; a) Komitmen pucuk pimpinan terhadap mutu, b) System mutu, c) Penentuan hak dan kewajiban pelanggan pendidikan, d) Dokumen pengendalian, e) Pembelian sarana dan prasarana, f) Kebijakan peneriman calon, g) Pelayanan prima terhadap peserta didik, h) Arsip data, i) System penilaian hasil belajar, j) Pengembangan staf edukatif dan administrative[17].
Menurut Edward Sallis syarat atau standar ISO9000/BS5750 jika diimplementasikan dalam pendidikan antara lain; a) Komitmen manajemen terhadap mutu, b) System mutu, c) Kontrak dengan pelanggan internal dan eksternal, d) Control dokumen, e) Kebijakan seleksi & ujian masuk, f) Layanan pendukung pelajar, yang mencakup kesejahteraan, konseling pengarahan tutorial, g) Catatan kemajuan pelajar, h) Pengembangan, desain dan penyampaian kurikulum, strategi pengajaran dan pembelajaran, i) Penilaian dan tes, j) Konsistensi metode penelitian, k) Prosedur dan catatan penilaian yang mencakup catatan prestasi, l) Metode dan prosedur diagnostic untuk mengidentifikasi kegagalan dan kesalahan, m) Tindakan perbaikan terhadap kegagalan pelajar. System untuk menghadapi complain dan tuntutan, n) Fasilitas & lingkungan fisik, o) Catatan mutu, p) Prosedur pengesahan & audit mutu internal, q) Pelatihan dan pengembangan staf,  r) Metode review, monitoring, dan evaluasi[18].
2.      Sumber mutu
TQM di lembaga pendidikan tidak akan dapat direalisasikan secara total dan baik apa bila tidak didukung oleh sumber-sumber dalam organisasi yang sehat/ baik. Sumber-sumber kualitas itu diantaranya; a) Komitmen pemimpin terhadap kualitas/ mutu, b) Sistem informasi manajemen, c) SDM yang potensial, d) Ketrlibatan semua fungsi, e) Filsafat perbaikan kualitas secara berkesinambungan.[19]
3.      Kriteria Mutu
Sumber kualitas di atas dapat terlihat dari manifestasinya melalui dimensi-dimensi kualitas atau criteria berikut; a) Kinerja organisasi, b) Iklim kerja, c) Nilai tambah, d) Kesesuaian dengan ketentuan (spesifikasi), e) Kualitas pelayanan dan daya tahan, f) Persepsi masyarakat.[20]

C.      Prinsip Mutu
Menurut Hensler dan Brunell sebagaimana dikutip Husaini Usman, ada empat prinsip utama dalam TQM di sekolah / madrasah, yaitu; 1) kepuasan pelanggan, 2) respek terhadap setiap orang, 3) manajemen berdasarkan fakta, 4) perbaikan terus menerus dengan konsep PDCA. Perbedaan TQM dengan pendekatan-pendekatan lain dalam penyelenggaraan pendidikan,menurut Husaiani, adalah pada aspek komponen dan bagaimana menggunakan komponen terseput[21].

D.     Komponen TQMIE/MMTP
Menurut Goetsch & Davis, ada 10 unsur komponen utama dalam TQM dalam  dunia pendidikan, yaitu; 1) fokus pada kepuasan costumer, 2) Obsesi terhadap mutu, 3) Pendekatan ilmiah, 4) komitmen jangka panjang, 5) kerjasama tim, 6) perbaikan system secara terus menerus, 7) pendidikan dan pelatihan, 8) kebebasan yang terkendali, 9) kesatuan tujuan, 10) adanya keterlibatan dan pemberdayaan guru dan staf tata usaha. Sementara menurut Edward Sallis, komponen-komponen itu meliputi; 1) kepemimpinan dan strategi yang meliputi komitmen, kebijakan mutu, analisis organisasional,misi dan renstra; 2) system dan prosedur yang meliputi efisiensi, administrative, pemaknaan data,ISO9001, dan biaya mutu; 3) kerja tim yang meliputi pemberdayaan,manajemen diri sendiri, kelompok, alat mutu yang digunakan; 4) asesmen diri sendiri yang meliputi asesmen diri, monitoring, dan evakuasi, survey kebutuhan pelanggan, dan pengujian standar[22].

E.      Strategi Implementasi TQMIE/MMTP
Dalam mengimplementasikan TQM, W. Edward Deming memiliki 14 pandangan yang dikenal dengan Deming’s Fourteen Points terhadap apa yang harus dilakukan dalam rangka transisi positif kualitas bisnis, antara lain; 1) Ciptakan konstan tujuan dalam rangka perbaikan produk / jasa, 2) Mengadopsi falsafah baru, 3) Menghentikan ketergantungan pada inspeksi, 4) Hentikan praktik menghargai kontrak dengan tawaran murah/rendah, 5) Perbaiki secara konstan dan kontinyu, 6) Lembagakan on the job training, 7) Lembagakan kepemimpinan, 8) Hapuskan rasa takut, 9) Hilangkakn dinding pemisah antar departemen, 10) Hilangkan slogan, desakan dan target bagi tenaga kerja, 11) Hilangkan kuota dan manajemen berdasarkan sasaran, 12) Hilangkan penghalanng yang dapat merampok kebanggaan karyawan atas keahliannya, 13) Giatkan program diklat (self improvement), 15) Lakukan transformasi pekerjaan setiap orang dan siapkan mereka untuk mengerjakannya[23]. Implementasi TQM berdasarkan pendekatan Deming di atas menuntut adanya pemahaman dan komitmen total dari semua jajaran organisasi .
Agar implementasi program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan sebagai berikut: 1) Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen puncak, 2) Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM, 3) Menyiapkan dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, 4) Memilih koordinator (fasilitator) program TQM, 5) Melakukan banchmarking pada perusahaan lain yang menerapkan TQM, 6) Merumuskan nilai (value), visi (vision) dan misi (mission), 7) Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk hambatan, 8) Merencanakan mutasi program TQM.
Dalam rangka mengimplementasikan konsep manajemen peningkatan mutu yang berbasis madrasah ini, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan madrasah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:
1.      Penyusunan basis data dan profil madrasah lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistimatis menyangkut berbagai aspek akademis, administratif (siswa, guru, staf), dan keuangan.
2.      Melakukan evaluasi diri (self assesment) melalui EDM untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah/madrasah, personil madrasah, kinerja dalam mengembangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.
3.      Berdasarkan analisis SWOT tersebut madrasah harus mengidentifikasikan kebutuhan madrasah dan merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai. Hal penting yang perlu diperhatikan sehubungan dengan identifikasi kebutuhan dan perumusan visi, misi dan tujuan adalah bagaimana siswa belajar, penyediaan sumber daya dan pengeloaan kurikulum termasuk indikator pencapaian peningkatan mutu tersebut.



BAB IV
Kepemimpinan dalam Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
A.     Komitmen Pimpinan
Kepala sekolah adalah pimpinan tertinggi di sebuah sekolah/madrasah, seorang kepala sekolah/madrasah pada dasarnya adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah, dimana kepemimpinannya mencakup cara-cara dan usaha dalam mempengaruhi, member motivasi, bimbingan, serta menggerakkan guru, staf, dan siswa serta wali siswa demi tercapainya tujuan sekolah.
Kemandirian kepala sekolah/madrasah mutlak harus dimiliki, sehingga bebas untuk mengatur tuntutan kurikulum atau kedinasan sesuai dengan konteks sekolah/madrasah masing-masing. Pola pikir yang kontekstual seorang kepala sekolah/madrasah adalah mampu menetapkan kebijakan atau target dengan mendasarkan pada kondisi dan kemampuan nyata yang dimiliki sekolahnya.

B.      Peran Pimpinan Dalam Menuju Kesuksesan
Mencurahkan segala kemampuan untuk meraih apa yang diimpikan adalah kunci utama kepala sekolah dalam meningkatkan sekolah yang dipimpinnya. Dalam MBS, kepala sekolah/ pimpinan memiliki peran penting, diantaranya; 1) Membuka ruang demokratisasi, 2) Mendorong partisipasi wali murid dan masyarakat, 3) Menyiapkan tenaga terampil professional, 4) Menyelenggarakan rapat  yang berkualitas, 5) Menjadikan peningkatan kualitas sebagai orientasi utama[24].
Pemimpin berperan dalam implementasi program TQM mulai dari menetapkan tujuan hingga alokasi waktu yang cukup. Kepemimpinan adalah unsur penting dalam TQM, pemimpin haruslah memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang jelas dan tujuan yang spesifik.[25]  Kepemimpinan organisasi yang umum digunakan dapat dibedakan dalam empat model gaya kepemimpinan yaitu: model autokrasi, model feodal, model egalitarian, model anarchic.
Adapun model kepemimpinan yang sangat cocok dengan budaya TQM adalah model egalitarian, karena pada model ini seorang pemimpin memberikan kebebasan kepada guru dan karyawan untuk bekerja. Karyawan berkomunikasi ke atas dan ke bawah di dalam departemennya bahkan dapat melewati departemen yang lain. Tim antar departemen dapat dibentuk untuk menyelesaikan masalah tertentu, pada model kepemimpinan ini. hasil penelitian bahwa sistem dan menejemen lebih menentukan keberhasilan perusahaan. Namun, tanpa dukungan karyawan maka keberhasilan itu tidak akan sempurna.
Menurut Amin Haedari dan M. Ishom El Saha, kepemimpinan yang efektif dan fleksibel merupakan salah satu ciri kepemimpinan yang efektif dalam membangun dan mengembangkan institusi pendidikan Islam. kepemimpinan yang efektif dan fleksibel diantaranya adalah mau mengambil inisiatif dari bawah dan tindakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan dan tantangan. Pemimpin yang efektif selain mampu membuat rencana dalam visi, misi, tujuan juga harus mampu memberi pengaruh nilai pada sikap pengurus, guru, siswa, dan orang tua siswa[26] guna turut terlibat dalam tanggungjawab eksistensi dan mutu institusi.
Seorang pemimpin dalam menerapkan TQM harus mampu memberikan keyakinan pada anggotanya bahwa apa yang diprogramkan adalah sesuatu yang akan banyak memberikan keuntungan / manfaat, karena sesungguhnya merubah sikap amatlah sulit. Sikap dapat berubah apa bila sudah tidak lagi memberi keuntungan / kepuasan atau menjanjikan tersalurkannya aspirasi, cita-cita individu/ kelompok.  Ketika memberikan keyakinan diperlukan pendekatan emosi (pengaruh yang ditekankan pada emosi) dan logika dengan menghadirkan fakta[27].
Dalam hal peningkatan mutu pembelajaran PAI di sekolah, baik SD, SMP dan SMA, kepala sekolah memegang peranan penting, tidak hanya guru PAI saja. Dukungan moral lebih utama dari pada hanya sekedar dukungan material. Kepercayaan/amanat terhadap guru PAI akan meemotivasi untuk berkreasi, dan berinovasi untuk meningkatkan mutu pembelajaran PAI di sekolah.
Melalui kurikulum 2013 pembelajaran PAI (khususnya di SD), mau tidak mau harus terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya menyesuaikan dengan KI1. Artinya, harus ada kordinasi dengan guru kelas agar terjadi keselarasan tujuan dan tema sehingga akan terjadi sinergi pembelajaran integrative yang baik. Disini peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk menyamakan visi, dan mengkoordinasikan.
Selain itu, kegiatan pendukung PAI seperti ekstrakurikuler dan kegiatan incidental seperti kegiatan peringatan Maulid Nabi, Ira Mi’raj, Silaturahim, kegiatan Ramadhan, shalat dhuha, santapan rohani pagi, lomba rebana/ nasyid, busana muslim, kaligrafi dan lainya akan dapat berjalan dengan baik dan member dampak positif jika mendapat dukungan penuh dari kepala sekolah. Selama ini, di tingkat SD, kegiatan tersebut bisa dikatakan hanya sebatas partisipatif dan respon spontan atas surat edaran dari UPTD kecamatan untuk mengikuti lomba, sehingga terasa hanya sekedar formalitas sesaat.



BAB V
Gugus Kendali Mutu Pembelajaran PAI
Sudah menjadi rahasia umum yang mungkin hampir berlaku disetiap sekolah, baik negeri maupun swasta, yaitu sikap acuh tak acuh (cuek/tidak perduli) dan persaingan yang tidak sehat antar guru. Pemicunya banyak factor, adakalanya karena posisi/jabatan, bagian “basah”, atau bahkan “cari muka”, ada juga karena prestasi kerja dan bisa juga sentiment pribadi. Rasa acuh tak acuh sering terjadi pada sekolah negeri, dimana ada persepsi negative “biasa-biasa saja juga tetap digaji” atau “ngoyo-ngoyo bayarane padha bae”. Antara yang  rajin dan yang malas, yang cuek dan peduli, yang disiplin dan tidak, yang kreatif dan tidak gajinya tetap. Sementara persaingan tidak sehat sering terjadi pada swasta. Sesunggunya persaingan internal ini hanya akan menghabiskan energy yang akan berujung pada rusaknya citra dan suasana hubungan kerja antar bidang dan akan merugikan sekolah/madrasah.
Dalam organisasi sekolah / madrasah yang mengaplikasikan manajemen berbasis sekolah/madrasah dengan konsep TQM menerapkan dan menekankan pentingnya kerja sama tim sehingga kemitran dan komunikasi dibina, baik antar warga sekolah/madrasah maupun stakeholder.
Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle) merupakan subsistem dari TQC (Total Quality Control), dimana TQC pada hakekatnya adalah system untuk mengikutsertakan karyawan dan pimpinan secara gotong royong, kekeluargaa, dan musyawarah untuk meningkatkan kualitas hasil kerja, dan kepuasan costumer. Menurut Husaini Usman, idealnya QCC terdiri dari 3-10 anggota dalam unit pekerjaan sejenis/ serumpun, mengadakan pertemuan rutin untuk membahas, menganalisa dan memberikan solusi atas masalah yang muncul[28].

A.     Kerjasama tim (teamwork)
Kerjasama tim yang solid merupakan tim yang efektif dan menjadi salah satu penentu keberhasilan mencapai tujuan sekolah/madrasah. Namun perlu dicatat, bahwa efektivitas kerjasama tim tergantung pada tingkat kematangan tim, yang menurut Tuckman terdiri dari empat fase, yaitu; forming, storming, norming, dan performing. Adapun tim kerja yang efektif antara lain yaitu:
1.      Komitmen terhadap tujuan dan sasaran merupakan tujuan bekerjasama
2.      Ide-ide dan perasaan-perasaan dikomunikasikan secara akurat dan efektif
3.      Menerapkan partisipasi dan kepemimpinan serta peduli dengan peran kepemimpinan
4.      Prosedur pengambilan keputusan tepat dan efektif serta memiliki metode/pendekatan problem solving
5.      Kontroversi yang produktif
6.      Tingkat saling percaya tinggi, dengan menggunakan kemampuan anggota, dan mendorong segala kreatifitas dan eksperimen
7.      Saling menerima dan membantu antar anggota, dan mendukung control tim dan prosedur
8.      Konflik sebagai manajemen positif, produktif dan konstruktif.
9.      Komunikasi terbuka dan partisipatori
10.  Anggota menilai fungsi dan prosesnya secara regular
11.  Anggota memahami peranannya masing-masing, bertanggungjawab dan memiliki otoritas terbatas[29].

B.      Tujuan Gugus Kendali Mutu (QCC)
Dibentuknya gugus kendali mutu (QCC) menurut Husaini Usman antara lain; 1) Mengurangi kesalahan dan meningkatkan mutu kerja, 2) meningkatkan kerjasama dan keterlibatan kerja yang kompak dan efektif serta efisien, 3) meningkatkan kemampuan problem solving dan alternative solusi, 4) meningkatkan disiplin dan sikap mental yang tanggap dan tangguh, 5) memperbaiki komunikasi dan hubungan yang harmonis secara vertical dan horizontal, 6) mengembangkan kemampuan individual, 7) membangkitkan dan mengembangkan kesadaran akan mutu hasil, pengalaman, menampung ide, dan meningkatkan produktifitas, 8) menanamkan kesadaran akan pentingnya penyelesaian masalah, 9) member kesempatan untuk maju dan berkembang, 10) meningkatkan motivasi[30].

C.      Strategi Pembentukan Gugus Kendali Mutu (QCC)
1.      Strategi
Usaha pembentukan tim memang harus dimulai oleh kepala sekolah / madrasah dengan menciptakan iklim yang kondusif, adapun menurut E. Mulyasa, tindakan umum kepemimpinan yang sukses dalam membentuk tim antara lain; a) Menciptakan kegiatan yang menantang, b) Menyamakan visi, c) Memberikan kesempatan untuk melakukan tindakan, d) Mengembangkan model pembelajaran yang efektif, e) Memberikan motivasi kepada seluruh warga sekolah[31].

2.      Tim efektif
Untuk membentuk tim kerja yang efektif, maka sebuah tim tersebut membutuhkan beberapa hal, yaitu ; a) Peran yang didefinisikan secara jelas, b) Kejelasan maksud dan tujuan, c) Sumber daya dasar untuk bekerja, d) Akuntabilitasnya dan batas-batas otoritasnya, e) Sebuah rencana, f) Seperangkat aturan, g) Cara menggunakan alat yang cocok dalam mengatasi masalah, h) Pengembangan perilaku tim yang bermanfaat[32].

3.      Ten Team Mommandments.
Sepuluh perintah tim (ten team commandments) adalah usaha dari King untuk meningkatkan kinerja setiap tim dalam rangka menciptakan tujuan. Kesepuluh perintah itu adalah ; a) Saling ketergantungan, b). Perlusan tugas, c). Penjajaran, d). Bahasa yang umum, e). Kepercayaan / respek, f). Kepemimpinan / anggota yang dibagi rata, g). Keterampilan pemecahan masalah, h).Keterampilan menangai konflik, i). Penilaian / tindakan, j). Perayaan[33].


D.     Faktor Penghambat Kesuksesan Kerjasama Tim
Sekumpulan orang belum tentu merupakan suatu tim, dan tidak pula secara otomatis dapat bekerja sama, dan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ada beberapa factor penyebabnya, dan yang utama adalah factor manusia. Factor-faktor tersebut antara lain;
1.      Identitas pribadi anggota tim: (belum merasa cocok dengan tim tersebut)
2.      Hubungan antar anggota tim : (belum saling mengenal dan butuh waktu saling mengenal satu sama lain)
3.      Identitas tim di dalam organisasi
a.      Kesesuaian atau kecocokan tim dalam organisasi, ada/tidaknya dukungan dari manajemen puncak.
b.      Pengaruh keanggotan dalam tim dan di luar tim[34].
E.      Kunci Keberhasilan Kerjsama Tim
Pembentukan suatu tim tidak secara otomatis akan berjalan sebagaimana yang dihaurapkan. Oleh karena itu diperlukan usaha untuk mengatasi factor-faktor penghambat di atas. Setidaknya ada tida factor yang saling berkaitan dan saling memperngaruhi kinerja dan produktifitas suatu tim, yaitu;
1.      Budaya organisasai, yang meliputi; a) filosofi organisasi, b) penghargaan  dan bagaimana mengelolanya, c) harapan, d) norma.
2.      Tim itu sendiri, yang terdiri atas ; a) manajemen pertemuan, b) peranan dan tanggungjawab, c) manajemen konflik, d) prosedur operasi, e) pernyataan misi.
3.      Para induvidu anggota tim, yang meliputi; a) kesadaran diri, b) apresiasi terhadap perbedaan individual, c) empati, d) perhatian.

F.       Hubungan Tim, Peningkatan Mutu PAI dan Kurikulum 2013
Dalam kurikulum 2013 yang berbasis integrative, maka mau tidak mau pembelajaran PAI harus mengkoordinasikan dengan guru kelas / guru mapel lain agar terjadi keterkaitan materi pembelajaran dan saling mendukung satu dan lainnya yang akan membentuk sebuah sinergi pembelajaran yang efektif sehingga ketercapaian KI1 lebih terasa dan member kontribusi positif dalam perkembangan jiwa siswa dan tidak hanya sebatas kesalehan normative belaka.
Bagi guru PAI di tingkat lanjutan sperti SMP/SMA yang memungkinkan guru PAI lebih dari satu orang, sudah pasti sangat memerlukan koordinasi sesame guru PAI. Jika ada tiga orang guru PAI sangat ideal sekali untuk dibentuk tim kendali mutu pembelajaran PAI secara  internal, dan sangat bagus apabila kepala sekolah membentuk gugus kendali mutu khusus PAI yang berkomposisikan guru PAI dan guru mapel lain serta melibatkan waka kurikulum untuk membahas berbagai persoalan yang muncul dan mencarikan berbagai alternative penyelesaiannya.
Dengan demikian, sangat terbuka peluang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PAI melalui kesatuan visi dan langkah tim yang solid dalam bingkai manajemen mutu terpadu pendidikan (TQMIE) dibawah komando kepala sekolah /madrasah untuk mencapai maksud dan tujuan pembelajaran PAI berdasarkan kurikulum 2013.


BAB VI PENUTUP
A.     Kesimpulan
Berdasarkan kajian dalam makalah ini, dapat penulis simpulkan bahwa; 1) Pembelajaran PAI di sekolah dapat berjalan maksimal dengan adanya implementasi manajemen peningkatan mutu, 2) pembelajaran PAI di sekolah akan efektif dengan dukungan manajemen berbasis sekolah (MBS), 3) Peningkatan mutu akan efektif dan berhasil dengan penerapan konsep TQMIE/MMTP, 4) penerapan manajemen mutu harus didukung dengan komitmen pimpinan /kepala sekolah /madrasah, 5) Gugus kendali mutu memegang peranan penting untuk pencapaian dan pengendalian mutu pembelajaran PAI.

B.      Saran
Melalui  makalah ini penulis menyarankan kepada pemangku kepentingan (para pimpinan; kepala sekolah /madrasah , para waka, guru PAI dan guru kelas / guru mata pelajaran untuk menjalin komunikasi, membentuk sinergi melalui tim yang solid untuk peningkatan mutu sekolah dan pembelajaran pada umumnya serta mutu pembelajaran PAI pada khusunya. Melalui kurikulum 2013 ini, membuka peluang dan mengharuskan untuk hal tersebut diatas.


DAFTAR PUSTAKA
Agus Wibowo, 2013, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Praktik Implementasi), Yogyakarta, Pustaka pelajar.
Amin Haedari dan M. Ishom El Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta, Diva Pustaka, 2008).
Dadang Dally, 2010, Balanced Scorecard, suatu pendekatan dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, cet I, tkt, Pustaka Yashiba.
E.Mulyasa, 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Edward sallis, 2011, Total Quality Management in Education, cet X, Penerjemah Ahmad Ali Riyadi dan fahrurozi, Jogjakarta, IRCiSoD.
Fandy Tjiptono, 2002, Prinsip-prinsip Total Quality Service, Yogyakarta, Andi.
Hadari Nawawi, 2003, Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, Jogjakarta, Gadjah Mada University Press, cet ke 2.
Husaini Usman, 2013, Manajemen, teori, praktik, dan riset pendidikan edisi 4,  Jakarta, Bumi Aksara.
Jamal Ma’mur Asmani, 2012, Tips Aplikasi Manajemen Sekolah, Jogjakarta, DivaPress.
Larry J. Reynolds, Kiat Sukses Manajemen Berbasis Sekolah, Pedoman Bagi Praktisi Pendidikan, penerjemah : Teguh Budiharso dan Adbul Munir, cet. Ke 2, Jakarta, CV Diva Pustaka.
Mortimer R. Feinbreg, Psikologi yang efektif untuk pemimpin, pejabat, dan usahaawan, (Penerjemah: R. Turman Sirait, tk., Englewood Cliffs, 1979).
Tony Bush & Marianne Coleman, 2012, Manajemen Mutu Kepemimpinan Pendidikan,  penerjemah Fahrurrozi, Jogjakarta, IRCiSoD.
UUSPN No 20 tahun 2003





[1] UUSPN No 20 tahun 2003
[2] Agus Wibowo, 2013, Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah (Konsep dan Praktik Implementasi), Yogyakarta, Pustaka pelajar, hal. 116
[3] Jamal Ma’mur Asmani, 2012, Tips Aplikasi Manajemen Sekolah, Jogjakarta, DivaPress, hal. 36
[4] Dadang Dally, 2010, Balanced Scorecard, suatu pendekatan dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 10
[5] Darmaningtyas, 2008, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, cet I, tkt, Pustaka Yashiba, hal. 171
[6] Larry J. Reynolds, Kiat Sukses Manajemen Berbasis Sekolah, Pedoman Bagi Praktisi Pendidikan, (penerjemah : Teguh Budiharso dan Adbul Munir, cet. Ke 2, Jakarta, CV Diva Pustaka), hal. 3
[7] Larry J. Reynolds, ibid, hal. 9
[8] Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal.149-154
[9] Agus Wibowo, Ibid, hal. 116-117
[10] Jamal Ma’mur Asmani, ibid,  hal. 48
[11] Dadang Dally, ibid,  hal. 11-12
[12] Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal. 55
[13] Darmaningtyas, ibid, hal.171-172
[14] Fandy Tjiptono, Prinsip-prinsip Total Quality Service, (Yogyakarta, Andi, 2002), hal. 2 dan 11
[15] Husiani Usman, ibid, hal. 543
[16] Edward Sallis, ibid, hal 51-57
[17] Husaini Usman, ibid,  hal. 579-580
[18] Edward Sallis, ibid, hal 129-130
[19] Hadari Nawawi, Manajemen Strategik Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan, (Jogjakarta, Gadjah Mada University Press, cet ke 2, 2003), hal 138-141
[20] Hadari Nawawi, ibid, hal. 142-144
[21] Husaini Usman, ibid, hal.607-609
[22] Husaini Usman,ibid,  hal  609-613
[23] Fandy Tjiptono, ibid, hal. 78-79
[24] Jamal Ma’mur Asmani, ibid, hal. 189-192
[25] Edward Sallis, ibid, hal 169
[26] Amin Haedari dan M. Ishom El Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta, Diva Pustaka, 2008), hal 36.
[27]  Mortimer R. Feinbreg, Psikologi yang efektif untuk pemimpin, pejabat, dan usahaawan, (Penerjemah: R. Turman Sirait, tk., Englewood Cliffs, 1979), hal. 218-219
[28] Husaini Usman, ibid, hal. 562
[29] Husaini Usman, ibid., hal. 615-616
[30] Husaini Usman, ibid, hal. 562-563
[31] E. Mulyasa, 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 203.
[32] Edward Sallis, ibid, hal. 187190
[33] Fandy Tjiptono, ibid, hal 106-107
[34] Fandy Tjiptono, ibid, hal, 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar