Menggugat Peringatan Hari Kartini
Kamis, 19 April 2012 - 11:25 WIB
Wanita itu tiang Negara, dan jika
baik wanitanya maka jayalah Negara tersebut

oleh: Zainal Arifin, S.Pd
BERLEBIHAN rasanya bila sekilas
membaca judul tulisan ini, namun itulah fakta yang semestinya ada apabila kita
ingin dikatakan sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai perjuangan. Seperti
diketahui, tiap bulan April, kelahiran R.A. Kartini (21 April) diperingati
secara nasional, sementara banyak pahlawan wanita yang tidak kalah sumbangsih
perjuangannya dalam melawan penjajah dilupakan bahkan tidak dikenal oleh
generasi bangsa sekarang ini.
Sejauh mana peran Kartini dalam
mengusir penjajah? Sebandingkah dengan perjuangan Cut Nyak Dien, Tengku
Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah yang
terjun langsung ikut berperang melawan penjajahan di Aceh?
Coba telusuri sosok Martha Christina
Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, untuk mengusir
pendudukan pasukan Kape (Belanda). Apabila dibandingkan dengan perjuangan
Kartini yang hanya sebatas perjuangan lewat tulisan, tentu tidak sebanding
dengan perjuangan Martha Christina Tiahahu yang terjun di medan pertempuran. Kodratnya
sebagai perempuan tidak menyurutkan semangat juang dalam melawan tentara
Kolonial meskipun dilengkapi persenjataan canggih. Namun apa yang kita ketahui
saat ini tentang Martha Christina Tiahahu, sangat mungkin generasi sekarang
tidak banyak yang mengenal kepahlawanannya.
Ada lagi perempuan perkasa dari
timur, Herlina Efendi yang dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah
RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda.
Semestinya nama Herlina familiar dengan generasi kita apalagi mereka yang duduk
di bangku pendidikan, kurikulum sejarah idealnya membahas biografi Herlina
Efendi secara detail tanpa manipulasi data. Kenyataannya banyak yang tidak
kenal dengan seorang Srikandi dari Papua ini, sementara jasa beliau telah ikut
mengantarkan Irian menjadi jaya seperti sekarang.
Tinta sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia juga telah menuliskan nama Emmy Saelan sebagai pejuang kemerdekaan RI
di Sulawesi Selatan. Bersama-sama R.W. Mongisidi, Emmy Saelan dapat melumpuhkan
kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan
taktik-taktik cemerlangnya. Bahkan Emmy Saelan berani bunuh diri dengan cara
meledakkan granat ditangannya sehingga menewaskan beberapa serdadu Belanda yang
ingin menangkapnya.
Seharusnya hari kematian Emmy Saelan
ini diperingati secara nasional agar generasi bangsa ini faham arti bunuh diri
yang dibenarkan agama. Bukan mati konyol karena bunuh diri dengan alasan putus
cinta, banyak utang, pengangguran, hidup miskin dan alasan-alasan lainnya yang
tidak substantial.
Uraian tersebut seharusnya mendorong
kita semua untuk berpikir cerdas dan bijaksana, sudah tepatkah pemerintah
menetapkan 21 April sebagai hari Kartini? Lalu bagaimana dengan pejuang-pejuang
perempuan yang telah gugur di medan tempur? Kapan kita dapat mengenang mereka
layaknya R.A. Kartini? Bukankah mereka jauh lebih besar pengorbanannya
dibanding seorang R.A. Kartini? Silakan cari jawabannya dengan berdasar pada
fakta sejarah, dan bukan dogma dari dongeng rekaan Kolonial.
Tersohornya R.A. Kartini sebagai
penggerak emansipasi wanita Indonesia sangat mungkin terjadi akibat propaganda
Orientalis-Belanda yang licik. Hal ini dilihat dari upaya H.H. van Kol, C.Th.
van Deventer, Snouck Hurgronje, Estella Zeehandelaar, Ny. Abendanon dan lainnya
yang merupakan aktifis Orientalis-Belanda dalam mengekspos curhat Kartini
melalui media dan buku-buku untuk menebar pertentangan dan perpecahan (Devide
at Impera). Atau juga sebagai ajang akulturasi nilai-nilai budaya Belanda untuk
menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk bersimpati
kepada kolonial Belanda.
Apologetik yang cukup sukses dari
bangsa Belanda sehingga sampai sekarang meski hampir seabad Indonesia merdeka,
kuku-kuku Kolonialisme masih menancap di tanah air kita ini. Kartini sebagai
kader kolonial (karena banyak berhubungan dengan tokoh Belanda saat itu)
memiliki kegemaran curhat yang sampai detik ini menjadi budaya generasi bangsa
kita.
Sehingga wajar jika Kartini menjadi
pahlawan emansipasi karena kegemarannya yang suka curhat. Sesuatu yang tidak
dilakukan oleh Malahayati, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Laswi, Jo Paramitha,
Siti Aisyah We Tenriolle, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Ny. Sunarjo Mangunpuspito
dan pahlawan wanita lainnya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud
memojokkan siapapun, hanya menyayangkan jika popularitas Kartini sebagai
pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara me-nafi-kan silsilah perjuangan
perempuan lainnya yang jauh lebih prestius sebelum masanya. Karena itu, sangat
disesalkan jika flatform perjuangan perempuan Indonesia terbatas pada
starting-point seorang sosok Kartini yang gemar curhat melalui suratnya.
Sementara Indonesia mempunyai segudang figur pahlawan perempuan yang kuat,
piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas lainnya.
Tidak dapat dipungkiri jika bangsa
Indonesia saat ini merupakan Negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dan
sekaligus menjadi musuh utama Yahudi, doktrin kesetaraan gender yang dibungkus
emansipasi wanita gencar dilakukan demi kehancuran umat dan bangsa ini.
Feminisme dan Kesetaraan Gender
Peringatan hari Kartini juga sering
digunakan kaum feminisme sebagai momentum kebebasan wanita dari aturan hidup
Sang Pencipta. Salah satu upaya nyatanya adalah isu-isu RUU KKG (peraturan
kesetaraan gender) yang diusung kaum feminisme demi mewujudkan kesamaan untuk
memperoleh akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan
laki-laki dalam semua bidang kehidupan.
Kesetaraan gender inilah senjata
ampuh dalam menjajah Indonesia di era modern sekarang, karena bila RUU KKG ini
disahkan maka akan hilang institusi Negara kita. Hilangnya institusi
melumpuhkan fungsi-fungsi struktural dalam suatu lembaga pemerintahan, sehingga
kehancuran bangsa tidak dapat terhindarkan.
Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wassalam telah mengingatkan dalam hadistnya, yang artinya: “Wanita itu tiang
Negara, dan jika baik wanitanya maka jayalah Negara tersebut. Sebaliknya jika
buruk wanitanya maka hancurlah Negara tersebut.” Relakah kita jika Indonesia ini
hancur atau dijajah lagi?
Strategi Belanda dalam melumpuhkan
generasi bangsa kita sudah memasuki berbagai lini kehidupan. Selain paham
gendernya yang terus merebak kini, sejak dahulu Belanda juga melakukan
‘pembaratan’ pejabat elite pribumi melalui dunia pendidikan. Masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam memiliki idealisme yang tinggi,
sehingga aktifis Orientalis-Belanda memanfaatkan keragaman adat dan asosiasi
kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat untuk melemahkan idealisme tersebut.
Hasilnya, fakta sejarah bangsa kita banyak yang berisi rekayasa dengan
tokoh-tokoh pribumi yang telah menjadi boneka Orientalis-Belanda.
Itulah strategi dan taktik nyata
penjajah untuk menaklukkan bangsa kita. Bahkan jika kita cermati, strategi
mereka kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader orientalis dari kalangan
‘saudara kita’ sudah berjubel dan bergentayangan di mana-mana. Hegemoni bangsa
kita yang silau dengan peradaban Barat, langsung atau tidak langsung menyeret
kita ke bawah orbit peradaban yang sekuler.
Sangat ironis, jika ada yang tidak
sadar bahwa label kepahlawanan semu mampu merusak pola pikir generasi bangsa,
dan pada saat yang sama kita tetap mengelu-elukan pahlawan-pahlawan tersebut
atas perjuangan yang tiada noktahnya jua.
Lihat remaja putri atau kaum
perempuan saat ini, kehidupan yang bebas telah menyeret sebagian besar mereka
dalam kubangan seks bebas, aborsi, mabuk-mabukan, diskotik, mengumbar aurat,
serta kehidupan hedon lainnya. Bagi wanita karir yang kebetulan sukses dengan gampangnya
bergonta-ganti suami atau berselingkuh karena merasa telah berjasa menghidupi
diri dan keluarganya. Apakah ini yang dinamakan produk emansipasi perempuan?
Pantaskah bangsa Indonesia yang memiliki norma budaya luhur mengadopsinya?
Distorsi sejarah bangsa Indonesia
sudah membentur tembok krusial dan saatnya direformasi jika tidak ingin kita
terus berada dalam dongeng klasik karya Orientalis-Belanda. Generasi saat ini
menanti dan merindukan pencerahan nasional demi membuka wawasan berpikirnya
membangun bangsa berperadaban. Dan kurikulum pendidikan nasional memikul
tanggung jawab besar dalam proses aufklarung tersebut, karena bangku pendidikan
adalah tempat mendoktrin pemikiran yang efektif.
Sekali lagi tulisan ini tidak ingin
melukai perasaan siapapun, penghargaan tetap kita berikan kepada Kartini baik
yang terdahulu maupun Kartini-kartini masa kini atas jasanya pada umat. Yang
terpenting tidak ada lagi diskriminasi hari atau apapun yang hanya
meng-khusus-kan pada seseorang, walau sebesar apapun pengorbanannya. Karena
besar-kecilnya jasa seseorang telah dan akan mendapat imbalan yang sesuai oleh
Allah yang maha adil baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagaimana firman-Nya yang artinya
: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan
yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki
dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab : 35).*
Diunduh dari http://www.hidayatullah.com/read/22279/19/04/2012/menggugat-peringatan-hari-kartini.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar